Friday, February 27, 2009

Musibah

Sesungguhnya sudah menjadi sunnatullah dalam kehidupan kita bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menguji setiap hamba-hamba-Nya dengan berbagai macam cobaan/ujian seperti adanya rasa takut, kekurangan akan harta benda, baik itu sandang maupun pangan, kehilangan orang yang kita cintai dan berpisah dengannya seoerti halnya seorang suami berpisah dengan istrinya, bapak berpisah dengan anaknya, gempa, banjir dan lain sebagainya. Adanya ujian/musibah tersebut sebenarnya bukanlah sesuatu yang asing bagi syari'at kita dan bukanlah suatu hal yang aneh karena semuanya telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam al-Qurân yaitu:
"Sungguh akan Kami uji kalian dengan adanya rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan kekurangan buah-buahan dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan; Innaa lillahi wa innaa ilaihi rooji'un. (QS. al-Baqarah: 155-156)

Allah Subhanahu wa Ta'ala timpakan kepada kita ujian ataupun musibah bukan berarti Allah Subhanahu wa Ta'ala benci kepada kita, bahkan menunjukkan Allah 'Azza wa Jalla sayang kepada kita, sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadits shahih dari Anas ibnu Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda;

"Besarnya pahala tergantung besarnya ujian dan sesungguhnya apabila Allah menyenangi suatu kaum, Dia mengujinya. Barangsiap ridho maka Allahpun ridho, dan barangsiapa yang marah, maka Dia Marah." (HR. Shahih Ibnu Majah 2/373)

Dalam riwayat yang lain,"Apabila Allah menginginkan kebaikan pada diri seorang hamba, maka Allah datangkan ujian kepada hamba tersebut." (HR. Bukhari)

Maksud dari hadits di atas adalah apabila Allah 'Azza wa Jalla menginginkan kebaikan pada diri seorang hamba maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan uji mereka terlebih dahulu yaitu dengan menurunkan musibah dengan syarat mereka sabar dan mengharapkan ridho Allah Subhanahu wa Ta'ala. Adapun jika ia tidak sabar maka tidak ada kebaikan terhadapnya dan Allah Subhanahu wa Ta'ala juga tidak menginginkan baginya kebaikan.

Demikian juga Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menguji para hambanya agar terlihat jelas siapa diantara hamba-hamba-Nya yang beriman dan siapa yang dusta dalam keimanan, siapa diantara mereka yang bersyukur dan siapa yang kufur, juga siapa yang sabar dan yang tidak sabar, sebagaimana Allah Ta'ala katakan dalam al-Qurân;

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja ketika mereka mendakwakan diri mereka (kami telah beriman), sedangkan mereka belum diuji. Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar imannya dan siapa yang dusta." (QS. al-Ankabuut: 2-3)

Sikap Kita Sebagai Seorang Muslim dalam Menghadapi Musibah

Ada dua bentuk sikap seorang muslim yang wajib diperhatikan dalam menghadapi musibah:

A. Sikap Ketika Musibah Itu Belum Terjadi.

Dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya:

1. Kapan akan terjadinya suatu musibah adalah suatu perkara yang ghaib, yang mengetahuinya hanyalah Allah 'Azza wa Jalla.
Siapapun tidak akan bisa meramal tentang apa-apa yang akan terjadi besok secara pasti, karena ilmu pengetahuan mengenai hal itu hanya milik Allah 'Azza wa Jalla.
Sebagai contoh yang jelas dan gamblang bagi kita adalah seorang yang mengalami kecelakan kendaraan di hari Senin apakah ia bisa mengetahui sehari sebelumnya terjadi kecelakaan tersebut. Jawabannya tentulah tidak !! Jangankan untuk perhitungan perhari, hitungan perjam pun manusia tidak akan bisa memprediksi apa yang akan terjadi setelahnya.
Bahkan di dalam al-Qurân Allah Subhanahu wa Ta'ala telah membantah ramalan-ramalan orang-orang tentang kejadian hari esok, tentang tempat dimana seseorang akan mati, dan apa yang ada dalam rahim manusia yaitu;
"Sesungguhnya hanya di sisi Allah pengetahuan tentang hari kiamat dan Dialah yang menurunkan hujan dan di sisi-Nyalah ilmunya dan mengetahui apa yang ada di dalam rahim manusia dan tiada seorangpun yang bisa mengetahui apa yang akan ia usahakan besok dan tidak seorangpun bisa mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Luqman: 24)
Sungguh kita merasa sangat prihatin dengan kondisi kaum muslimin sekarang ini, mereka lebih percaya kepada ramalan-ramalan manusia dan isu-isu yang disebarkan manusia dibandingkan dengan keyakinannya tehadap ajaran agama mereka sendiri yaitu agama Islam.
Sebagian kaum muslimin telah diperbodoh dengan isu yang baru-baru ini tersebar dari salah seorang yang mengaku sebagai Profesor dari Brazil dimana ia mengatakan bahwa akan terjadi gempa besar dengan skala sekitar 9 SR di pantai barat pulau Sumatera (Mentawai) dan ini akan terjadi pada tanggal 23 Desember 2007 dan akan diikuti dengan gelombang tsunami.
Ternyata ramalan itu telah membuat resah sebagian kaum muslimin yang tinggal di kota Padang terutama daerah-daerah pesisir pantai. Sehingga akhirnya mereka terprovokasi dengan isu tersebut dan pergi meninggalkan kota Padang, atau pergi pulang kampung dan ada diantaranya menjual rumahnya hanya gara-gara isu dan sebuah mimpi. Bahkan disebutkan juga bahwa ada salah seorang kepala daerah di Bengkulu yang ikut terprovokasi dengan isu ini sampai berencana mengevakuasi masyarakat sebelum tanggal 23 Desember 2007. Na'udzubillahi min dzalik.
Dimanakah keimanan kita ? Dimanakah aqidah kita sebagai seorang yang mengaku sebagai seorang muslim ? sehingga mudah terpedaya dengan isu murahan yang hanya bersumber dari mimpi si Profesor.

2. Menyadari tentang hakikat hidup sesungguhnya
Tujuan penciptaan kita di muka bumi hanyalah untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana firman Allah Ta'ala di dalam al-Quran:
"Dan tiadalah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyaat: 56)
Memperbaiki aqidah kita yaitu dengan menjauhi setiap perbuatan syirik dengan memurnikan ibadah kita hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Mu'adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Hai Mu'adz tahukah kamu apa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya dan apa hak para hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah ? Mu'adz menjawab Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi pun bersabda; hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya ialah supaya mereka beribadah kepada-Nya saja dan tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya, sedangkan hak para hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah adalah bahwa Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya." (HR. Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih mereka)
Sesungguhnya hidup tidak terlepas dari yang namanya ujian. Setiap jiwa, setiap diri kita pasti akan diuji dengan berbagai macam bentuk ujian dan berbagai bentuk permasalahan. sehingga kita tidak perlu merasa takut akan kehidupan ini karena hidup adalah ujian itu sendiri. Allah Ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kamu, dan agar Kami menyatakan baik-buruknya hal ihwalmu." (QS. Muhammad: 31)

Di dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran)." (QS. al-A'rof: 168)

3. Memperbanyak bekal amal ibadah dan keta'atan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sebelum ajal menjemput.
Bekal kita sebelum ajal menjemput kita adalah dengan memperbaiki amal perbuatan kita, memperbaiki tata cara/sistem mua'malah kita, memperbaiki ibadah setelah sebelumnya bertaubat dari setiap kesalahan dan dosa yang pernah kita lakukan dengan cara melepaskan diri dari ma'shiyat dan menyesalinya karena telah melakukan perbuatan dosa lalu bertekad untuk tidak mengulanginya kembali. Setelah itu, mari kita memperbanyak amal ibadah dan semakin rajin melaksanakan keta'atan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat." (QS. Hud: 114)
Selain itu kita juga dianjurkan untuk memperbanyak istighfar kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Wahai manusia, bertaubatlah kepada Allah. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah dalam sehari seratus kali." (HR. Muslim, no. 6799)

4. Bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berserah diri kepada-Nya.
Allah Ta'ala berfirman: "Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah cukupkan keperluannya." (QS. at-Thalaq: 3)

5. Menjauhi perbuatan dosa dan ma'shiyat karena penyebab terbesar datangnya suatu musibah adalah ketika kaum muslimin telah bergelimang dengan dosa dan ma'shiyat

B. Sikap Ketika Musibah Itu Datang.

Disamping hal yang telah disebutkan di atas maka ada beberapa hal yang perlu kita tambahkan yaitu:
1. Mengimani bahwasanya apapun bentuk musibah yang menimpa seseorang, semuanya telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman; "Tiada satupun bencana yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh al-Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah perkara yang mudah bagi Allah." (QS. al-Hadiid: 22)

2. Bersabar dalam menghadapi musibah tersebut.
Orang yang sabar dalam menghadapi musibah maka dia akan menahan dirinya dari kemurkaan dan kemarahan baik itu dalam bentuk perbuatan maupun perkataan. Ia akan mengharapkan pahala dari sisi Allah 'Azza wa Jalla dan menyadari bahwa nikmat yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala karuniakan lebih luas dibandingkan dengan musibah yang ia dapatkan. Orang yang sabar baginya bantuan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, menolongnya dan memberikan pahala baginya tanpa hisab.
Dari Suhaib radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; "Amat menakjubkan keadaan orang yang beriman karena semua urusannya baik, dan tidaklah dapat meraihnya melainkan orang yang beriman. Jika ia mendapatkan kegembiraan dia bersyukur dan hal itu baik bagi. Dan jika ia ditimpa musibah dia bersabar, maka itu baik baginya". (HR. Muslim 5318)

3. Beriman kepada qadha dan qadhar dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Diriwayatkan dalam Musnad dan Sunan dari Ibnu Dailami, ia menuturkan, Aku datang kepada Ubay bin Ka'ab radhiyallahu ‘anhu dan kukatakan kepadanya, ada suatu keraguan dalam diriku tentang masalah qadar, maka tuturkanlah kepadaku suatu hadits dengan harapan semoga Allah menghilangkan keraguan itu di hatiku. Maka ia (Ubay bin Ka'ab) berkata, "Seandainya kamu menginfaqkan emas sebesar gunung uhud, Allah tidak akan menerimanya darimu sebelum engkau beriman kepada qadar, dan kamu meyakini bahwa apa yang telah ditaqdirkan mengenai dirimu pasti tidak akan meleset dan apa yang tidak mengenai dirimu pasti tidak akan menimpamu. Sedangkan kalau kamu mati tidak dalam keyakinan ini pasti kamu akan menjadi penghuni neraka".

Kata Ibnu ad-Dailami selanjutnya, lalu akupun mendatangi Abdullah bin Mas'ud, Hudzaifah bin Yaman dan Zaid bin Tsabit, seluruhnya menuturkan kepadaku hadits tersebut dari Nabi shallallahu' alaihi wa sallam. (Hadits shahih, diriwayatkan pula oleh al-Hakim dalam Shahihnya­)

4. Selalu optimis di dalam hidup dan tidak pernah berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana firman Allah Ta'ala;
"tidak ada orang yang berputus asa dari Rahmat Rabbnya kecuali orang yang sesat." (QS. al-Hijr: 56)

5. Bekali diri dengan ilmu dan amal, karena dengan ilmu dan amal akan mengantarkan seseorang kepada kesabaran dan membawa seorang muslim kepada keta'atan dan mengantarkan seorang Muslim kepada surga milik Allah Subhanahu wa Ta'ala.

6. Bersegeralah kepada ampunan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak menunda-nundanya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman;
"Dan bersegeralah kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa." (QS. Ali 'Imran: 133)

7. Mengambil ibrah dari kisah-kisah orang-orang yang terdahulu seperti para Nabi, para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, taabi'in dan orang-orang yang shaleh yang mengikuti mereka.
Kesabaran mereka dalam menghadapi ujian patut kita jadikan tauladan, seperti kisah Nabi Nuh 'alaihissalaam menghadapi kaumnya dan keluarganya, kisah Nabi Ibrahim 'alaihissalaam dalam mendakwahi bapaknya, kesabaran Nabi Ismail 'alaihissalaam ketika datangnya perintah untuk menyembelihnya, kisah Nabi Yusuf 'alaihissalaam, azab yang Allah Subhanahu wa Ta'ala timpakan kepada umat Nabi Nuh 'alaihissalaam yang telah mendurhakainya, Kaum 'Ad dan Tsamud, Fir'aun dan bala tentaranya yang ditenggelamkan karena durhaka kepada Allah 'Azza wa Jalla. Semua kisah di atas pantas untuk kita jadikan ibrah dalam kehidupan kita dalam menghadapi musibah.

Penyebab terjadinya bencana

Hal ini dijelaskan dalam banyak hadits, diantaranya hadits dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
"Hai orang-orang Muhajirin; lima perkara, jika kamu ditimpa lima perkara ini, aku mohon perlindungan kepada Allah agar kamu tidak mendapatkannya.

- Tidaklah muncul perbuatan keji (seperti bakhil, zina, minum khamar, judi, merampok, dan lainnya) pada suatu masyarakat, sehingga mereka melakukannya terang-terangan, niscaya akan tersebar penyakit-penyakit lainnya yang tidak ada pada orang-orang sebelum mereka.
- Tidaklah orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan disiksa dengan paceklik, kehidupan yang susah, dan kezholiman pemerintah.
- Tidaklah orang-orang yang menahan zakat hartanya, kecuali hujan akan ditahan dari mereka. Seandainya bukan karena hewan-hewan, manusia tidak akan diberi hujan.
- Tidaklah orang-orang yang membatalkan janji mereka terhadap Allah dan perjanjian Rasul-Nya kecuali Allah akan jadikan musuh selain mereka (orang-orang kafir) menguasai mereka dan merampas sebagian yang ada di tangan mereka.
- Dan selama pemimpin-pemimpin (negara, masyarakat) tidak berhukum dengan kitab Allah dan memilih-milih sebagian apa yang Allah turunkan, kecuali Allah menjadikan permusuhan yang keras diantara mereka." (HR. Ibnu Majah, no. 4019, al-Bazaar, al-Baihaqi dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 106, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no. 764)

Sesungguhnya sebab yang telah menjerumuskan umat ini ke dalam belitan bencana dan ujian ini sangat banyak dan beragam. Akan tetapi semuanya bermuara pada dua bahaya besar yang telah menimpa agama umat ini, petunjuk bagi umat dalam menangani urusan mereka yaitu kebodohan karena tidak mengerti dengan din (agama) dan tidak mengetahui syari'at Rabbul ‘Alamin.

Dalam kitab hadits shahihain dari shahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu dia berkata bahwa Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda; "Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu (dari manusia) secara langsung, tetapi Dia mencabut ilmu dengan mematikan ulama. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alimpun, orang-orang mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, lalu orang-orang bertanya kepada mereka, lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan." (HR. Bukhari, no. 100)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; "Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu, orang yang berdusta dibenarkan, orang yang benar didustakan, orang yang berkhianat diberi amanat, orang yang amanah dianggap berkhianat dan Ruwaibidhoh akan berbicara pada masa itu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: Apakah Ruwaibidhoh ? Beliau menjawab, seorang yang hina lagi bodoh (berbicara tentang) urusan orang banyak." (HR. Ibnu Majah, no. 4036. dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)

Maka sudah menjadi kewajiban bagi kita sebagai seorang muslim untuk menuntut ilmu yaitu ilmu tentang syari'at agama Islam agar tidak ikut terombang-ambing oleh gelombang kehidupan dunia ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; "Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim."

oleh : Abu Afifah Faishal Abdurrahman, Lc

Tuesday, February 24, 2009

10 Pembatal ke Islaman

Segala puji untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah memberikan hidayah kepada hamba-hamba-Nya dalam mentaati perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Shalawat beserta salam tercurahkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang mengikutinya dengan kebaikan sampai Hari pembalasan.

Sesungguhnya sebagai seorang Muslim wajib baginya untuk berpegang teguh dengan agamanya, dengan mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai seorang muslim Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan bagi setiap muslim untuk masuk kedalam agama Islam ini secara menyeluruh (Kaffah) dalam semua aspek, baik aspek aqidah, ibadah, mu'amalah serta akhlak sebagaimana seruan Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al-Qurân:
"Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan, sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu". (QS. al-Baqarah: 208).
Demikian juga sebagai seorang muslim dilarang baginya untuk berpaling dari menta'ati Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, karena yang demikian itu akan membawanya kepada kesengsaraan hidup dan penyesalan di akhirat, sebagaimana yang dijelaskan di dalam Al-Qurân:

"Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya di Hari Kiamat dalam keadaan buta, lalu ia berkata : Ya Tuhanku, mengapa engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang dapat melihat. Lalu Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan". (QS. Thoha: 124-126)

Oleh karena itu seorang Muslim wajib menjaga agamanya dari apa-apa yang akan merusak, membatalkan keislamannya yang secara tidak langsung tanpa disadarinya dia telah melakukan suatu perkara yang telah merusak keislamannya bahkan bisa mengeluarkannya dari agama Islam. Untuk mengingatkan kaum muslimin agar tidak terjerumus kepada hal demikian, maka Insya Allah Ta'ala pada tulisan kali ini akan dibahas hal-hal yang akan membatalkan keislaman seseorang. Jika salah seorang muslim terperosok kepada salah satu dari pembatal keislaman ini maka dia bisa keluar dari agama Islam, dan wajib baginya bersegera untuk bertaubat kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Ada sepuluh perkara Pembatal keislaman, dan hal ini telah banyak terjadi serta tersebar di tengah-tengah masyarakat:

1. Syirik dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Syirik merupakan induk dari segala dosa, sebagaimana yang dijelaskan dalam firman-Nya:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa Syirik dan Dia akan mengampuni segala dosa selain dari (syrik) itu, bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiap yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar". (QS. an-Nisa': 48)

Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengharamkan Surga bagi orang-orang Musyrik, sebagaimana firman-Nya:
"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan Surga baginya, dan tempatnya ialah neraka, dan tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorangpun penolong". (QS. al-Maidah: 72)

Bahkan perbuatan syirik akan menghapus amal seseorang sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qurân:
"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu; Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan hapuslah amalmu, dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi". (QS. az-Zumar: 65)

Syirik juga adalah kezhaliman yang menduduki peringkat pertama dari dosa-dosa yang lain, sebagaimana yang Allah Ta'ala khabarkan di dalam Al-Qurân:
"Sesungguhnya syirik (mempersekutukan Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang sangat besar". (QS. Luqman ayat 13)

Diantara bentuk-bentuk Kesyirikan seperti: Berdo'a kepada orang-orang yang telah mati, meminta tolong kepada manusia dalam urusan-urusan yang manusia tidak mampu melakukannya, beristighatsah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, bernazar, menyembelih kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla, mendatangi tukang ramal, dukun, tukang sihir dan lain-lainnya.

Begitu besar dan banyaknya bahaya syirik ini maka pantaslah seseorang yang terjatuh ke lembah kesyirikan ini menjadi rusak dan batal keislamannya.

2. Menjadikan/membuat perantara antara dirinya dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Seseorang berdoa dan meminta Syafa'at melalui perantara-perantara agar do'anya disampaikan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Demikian juga bertawakkal kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla, hal ini merupakan salah satu bentuk kekufuran, karena perbuatan ini adalah bentuk kesyirikan orang-orang musyrik jahiliyah terdahulu, yang telah dijelaskan dan digambarkan dalam Al-Qurân:
"Ingatlah !!! hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): kami tidaklah menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya". (QS. az-Zumar ayat 3)

Allah Ta'ala tidak menjadikan antara dirinya dan hamba-Nya perantara dalam beribadah kepadanya, karena Allah itu dekat, sebagaimana yang telah difirmankan-Nya dalam Al-Qurân:
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi semua perintah-Ku, dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran". (QS. al-Baqarah ayat 186)

Contoh: wahai Syaikh (fulan) mintakanlah kepada Allah agar aku selamat atau wahai penunggu kubur melalui perantaraanmu, mohonkanlah kepada Allah agar aku sehat.

Oleh karena itu apabila kita meminta, mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, apabila kita berdoa, maka berdoalah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala secara langsung.

3. Tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau ragu dengan kekafiran mereka atau membenarkan keyakinannya dan mazhabnya.

Di dalam Al-Qurân Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menghukumi orang-orang yahudi, nashrani dan penyembah berhala sebagai orang-orang kafir. Maka barang siapa yang tidak mau menghukumi mereka sebagai kafir, maka berarti dia telah menafikan hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan mendustakan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala kabarkan dalam kitab-Nya, dan barang siapa ragu dengan kekafiran mereka, maka berarti mereka telah meragukan kabar dari Allah ‘Azza wa Jalla beserta hukum-hukum-Nya.

Contoh: Abu Jahal itukan juga muslim, buktinya dia juga berdoa kepada Tuhan atau adanya anggapan bahwa semua agama itu sama, yang berbeda hanya caranya sedangkan tujuannya sama. Yahudi adalah baik, nashrani juga baik. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengkafirkan mereka di dalam Al-Qurân. Diantara contoh yang lain adalah: menganggap faham komunis itu ada juga baiknya.

4. Meyakini bahwa petunjuk yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada Nabi-Nya tidak sempurna dan meyakini bahwa petunjuk yang dibuat oleh manusia lebih sempurna dan lebih baik, atau hukum yang dibuat manusia lebih baik dari hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Apabila hal seperti diatas ada pada diri seorang muslim, maka telah jelas akan rusaknya dan batalnya keislamannya. Hal ini disebabkan bahwa apa yang disampaikan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya merupakan wahyu dari Allah Ta'ala sebagaimana firman-Nya:
"dan tidaklah ia (Nabi Muhammad) itu bicara melalui hawa nafsunya, melainkan itu adalah wahyu yang diwahyukan Allah (kepadanya)". (QS. an-Najm: 3-4)

Diantara hal yang wajib diyakini oleh seorang muslim bahwa petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Syariat yang dibawa oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, khabar yang telah ia sampaikan, lebih baik dan sempurna dari petunjuk, syariat, dan khabar selainnya.

Oleh karena itu siapa yang ragu akan hal-hal yang disebutkan diatas maka sungguh dia telah jatuh kepada kekufuran. Untuk lebih meyakinkan hati terhadap hal diatas silahkan para pembaca mebuka dan membaca ayat-ayat di dalam Al-Qurân berikut ini: Surat al-Maidah ayat 5, surat Shod ayat 26, Surat an-Nisa' ayat 60.

Diantara contohnya: seseorang yang meyakini undang-undang yang dibuat oleh manusia lebih baik dari hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala, lebih baik daripada Al-Qurân atau sama derajatnya, atau dengan mengatakan mengamalkan undang-undang ini sama dengan mengamalkan hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala.

5. Membenci Syariat Islam

Siapa yang membenci sesuatu yang datang dari Rasul, walaupun dia mengamalkannya maka sungguh dia telah jatuh kepada lembah kekufuran. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka membenci kepada apa yang diturunkan Allah lalu a Allah menghapus (pahala-pahala) amal-amal mereka". (QS. Muhammad: 9)

Sesungguhnya mencintai Syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah suatu tanda mencintai Allah Subhanahu wa Ta'ala dan benci terhadap Syariat Allah ‘Azza wa Jalla sebagai tanda benci kepada Allah Ta'ala. Orang yang beriman adalah orang yang sangat cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Barang siapa yang cinta kepada Allah Ta'ala, maka dia akan mencintai apa yang Allah ‘Azza wa Jalla perintahkan dan barang siapa yang membenci perintah Allah ‘Azza wa Jalla sama dengan membenci Allah Ta'ala, dan tidak ada manfaat amal yang dilakukannya selama dia membenci Syariat Allah Ta'ala, keadaannya sama dengan orang-orang munafik.

Diantara contoh-contoh sikap benci kepada Syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah: benci kepada perempuan yang berhijab (memakai Jilbab yang Syar'i), benci kepada orang yang mendakwahkan tauhid, benci kepada orang yang mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seperti seseorang yang memelihara jenggotnya, benci kepada seseorang yang celananya diatas mata kaki, benci kepada hukum Islam dalam warisan dan pandangan sinis kepada ajaran Islam. Semua bentuk kebencian yang disebutkan diatas apabila dilakukan oleh seorang muslim diikuti dengan i'tiqad di dalam hatinya maka hal ini akan membatalkan keislamannya, dan sudah sepantasnya seorang mukmin mencintai Allah Ta'ala, karena mencintai-Nya merupakan pokok-pokok keimanan.

Sesungguhnya iman seseorang tidak akan sempurna sampai mereka mau berhukum dengan Syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala, tunduk dan patuh kepada-Nya. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya".(QS. an-Nisa': 65)

Ayat diatas menjelaskan kepada kita bahwasanya Wajib bagi seorang mukmin untuk menjadikan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hakim dalam setiap perselisihan yang terjadi antar sesama mereka, namun disamping itu setiap mu'min juga dituntut untuk memiliki kerelaan dan kecintaan di dalam hatinya atas setiap perkara yang diputuskan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya meskipun bertentangan dengan hawa nafsunya.

Satu hal yang tidak boleh kita meragukan kebenarannya, bahwa membenci Syariat merupakan sebesar-besarnya dosa yang ada pada jiwa manusia, karena kebencian ini akan membuahkan penolakan, dan penolakan akan mengantarkan pelakunya keluar dari ajaran/agama Islam.

Syariat Islam yang mulia ini harus diagungkan, dihormati kebesarannya, karena pengagungan Syariat adalah tanda dari baiknya agama seseorang dan juga sebagai tanda dari jiwa yang bertaqwa sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta'ala jelaskan dalam Al-Qurân:

"Barang siapa yang mengagungkan Syariat-syariat Allah maka sesungguhnya hal itu adalah sebagai tanda hati yang taqwa."

Syaikh al-Hafizh Ibnu Ahmad al-Hakami rahimahullah, ketika beliau ditanya tentang tentang tanda seorang hamba yang cinta kepada Robbnya, maka beliau menjawab; tanda seorang hamba yang cinta kepada Robbnya adalah apabila hamba tersebut mencintai apa yang dicintai oleh Allah Ta'ala, membenci apa yang dibenci oleh Allah, melaksanakan perintah-Nya, meninggalkan larangan-Nya, mencintai orang yang mencintai Allah (para walinya), memusuhi orang yang memusuhi Allah, oleh karena itu sekuat-kuat urat nadi iman adalah: cinta pada agama Allah dan benci pada apa-apa yang Allah benci.

Tanda tanda seseorang mencintai Syariat Allah.

1. Tunduk, berserah diri dan patuh kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan perintah Rasul-Nya.
2. Menjadikan Al-Qurân dan Sunnah sebagai pedoman.
3. Mempelajari dan menuntut ilmu agamanya dengan giat melalui berbagai sarana yang dibolehkan syari'at.
4. Mendahulukan/lebih mengutamakan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya dari perintah selainnya.
5. Mengadakan pembelaan kepada Syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala ketika syariat tersebut dicaci, dihina, dan direndahkan oleh manusia.
6. Bersegera kepada kebaikan yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
7. Menghormati dan memuliakan para ulama rahimahumullah ‘alihim ajma'in.
8. Mencintai apa yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta'ala dan membenci apa yang dibenci Allah Ta'ala.
9. Cintanya didasari karena Allah ‘Azza wa Jalla dan benci juga karena Allah Subhanahu wa Ta'ala.
10. Menghiasi diri dengan Akhlak yang mulia dan menjauhkan dirinya dari akhlak tercela.

Adapun tanda-tanda seseorang benci kepada syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah kebalikan atau lawan dari tanda-tanda diatas.

6. Berolok-olok terhadap syariat Allah.

Barang siapa yang berolok-olok tentang sesuatu yang berkenaan dengan agama Islam, Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, pahala-Nya atau siksaan-Nya maka sungguh dia telah kufur, inilah yang telah difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al-Qurân yang artinya: "Katakanlah apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu berolok-olok. Tidak usah kamu minta ma'af, karena kamu telah kafir sesudah beriman." (QS. at-Taubah: 65-66)

Ayat yang mulia diatas diturunkan berkenaan dengan perkataan orang-orang munafik yang mencela Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat-sahabatnya pada perang Tabuk dengan perkataannya yang kufur: "Kami tidak melihat seperti mereka-mereka para qari (yang dimaksud adalah nabi dan sahabat-sahabatnya) yang rakus dan pendusta-pendusta dan yang paling penakut ketika bertemu dengan musuh." Diantara sahabat ada yang tahu dengan kejadian tersebut lalu dia mengkhabarkan hal itu kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, lalu tiba-tiba mereka (orang-orang munafiq tadi) datang kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta maaf dan mohon untuk diberi uzur sambil mengatakan: "Kami hanya bercanda dan bersenda gurau dan tidak ada maksud kami untuk mencela dan berolok-olok." Lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala menyangkal perkataan mereka dan tidak menerima uzur mereka atas dusta mereka tersebut dengan firman-Nya: "Katakanlah apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu berolok-olok dan tidak ada ma'af bagimu sungguh kamu telah kafir sesudah beriman."

Syaikh Abdurrahman Nasir as-Sa'di rahimahullah menyimpulkan beberapa pelajaran dalam ayat diatas: "Sesungguhnya beristihza' (berolok-olok) dengan Allah dan Rasul-Nya adalah kufur dan salah satu hal yang akan menyebabkan seseorang keluar dari agama Islam, karena landasan agama Islam dibina diatas pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, pengagungan kepada agama-Nya dan kepada Rasul-Nya, sehingga tatkala seorang muslim beristihza' (berolok-olok) kepada Allah ‘Azza wa Jalla, terhadap agama-Nya dan Rasul-Nya maka ini adalah suatu pertanda bahwa orang tersebut telah meruntuhkan dan meniadakan landasan dasar agama ini sehingga pantaslah dia menjadi kufur dan bisa mengeluarkan pelakunya dari ajaran Islam ini.

Contoh istihza' yang sering terjadi di masyarakat seperti orang-orang yang memperolok-olokkan saudaranya yang mengamalkan sunnah dengan mengatakan wahai jenggot, wahai kambing, atau seperti orang yang memperolok-olokkan wanita yang berhijab atau bercadar seperti dengan mengatakan ninja, kolot atau ketinggalan zaman, atau berolok-olok terhadap dakwah yang mengajak kepada yang haq seperti mengatakan dakwah salaf ini tidak relevan lagi, atau hanya mementingkan tauhid dan mengenyampingkan yang lain.

Semua istihza' (berolok-olok) dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rasul-Nya, atau sesuatu yang berkaitan dengan syariat Allah ‘Azza wa Jalla, pada akhirnya akan membawa kepada kekufuran. Apapun tujuannya tetap dihukum sama, apakah dia bercanda, atau serius, ataupun untuk menjadikan bahan tertawaan, apakah istihza' itu dilakukan dengan perkataan atau perbuatan, atau dalam bentuk isyarat dan gerakan-gerakan.

Oleh karena itu hendaknya seorang muslim yang ingin memyelamatkan dirinya dari azab Allah ‘Azza wa Jalla menjauhi perkara-perkara diatas, dan mengagungkan syariat Allah Ta'ala ini dengan ikhlas dan berserah diri.

7. Sihir

Sihir adalah perbuatan kufur, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Dan mereka mengikuti apa-apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidaklah kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, sebab itu janganlah kamu kafir". (QS. al-Baqarah: 102)
Sesungguhnya sihir tidak akan memperoleh kemenangan sebagaimana firman Allah Ta'ala: "Dan tidak akan mendapatkan kemenangan tukang sihir dari mana saja mereka datang". (QS. Thahaa: 69)

Segala sesuatu yang ada kaitannya dengan sihir seperti mengajarkannya, mempelajarinya, atau menghilangkan sihir dengan sihir, hal tersebut adalah kufur.

Contoh-contoh sihir:
- Sihir di zaman Nabi Musa ‘alaihissalam: tongkat tukang sihir Fir'aun menjadi ular.
- Sihir Mahabbah yaitu menyihir seseorang agar jatuh cinta kepadanya dengan cara-cara perdukunan.
- Sihir perceraian suami-istri, yang berawal dari cinta, kemudian benci sampai kepada perceraian.
- Sihir takhyil yaitu sesesorang mengkhayalkan dirinya berada pada suatu tempat padahal dalam kenyataannya tidaklah demikian.
- Sihir penyakit yaitu melalui sihir ini seseorang menderita penyakit yang tidak kunjung-kunjung sembuh.
- dll.

Setiap sihir ada kaitannya dengan jin, syetan dan bintang-bintang. Gangguan sihir tersebut Insya Allah dapat dicegah melalui zikir-zikir yang disyariatkan, baik dari al-Quran maupun Sunnah dan melalui ibadah-ibadah yang Allah Subhanahu wa Ta'ala fardhukan dan juga menjauhi segala bentuk maksiat dan dosa.

8. Mengadakan pembelaan (tolong-menolong) dengan orang-orang musyrik

Sesungguhnya tolong menolong dengan orang musyrik dan membantu mereka untuk memerangi kaum muslimin adalah diantara pembatal keislaman, inilah yang telah dijelaskan oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan nasrani sebagai penolong, sebagian mereka adalah penolong atas sebagiannya, siapa diantara kalian yang menjadikan mereka sebagai penolong maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka, sesungguhnya Allah tidak akan menunjuki kaum yang zalim." (QS.al-Maidah: 51)

Hasil dari sifat seperti ini adalah membantu kaum musyrikin untuk mengalahkan kaum muslimin, atau mengangkat bendera mereka, mengagung-agungkan budaya mereka dan salut serta kagum terhadap mereka. Jelaslah bagi kita bahwa hal-hal tersebut adalah perbuatan kufur yang wajib untuk kita jauhi.

9. Bolehnya seseorang keluar dari aturan syariat

Merupakan sesuatu yang qath'i (pasti), apabila manusia meyakini bahwa sebagian manusia boleh bagi mereka untuk keluar dari aturan syariat yang Allah Subhanahu wa Ta'ala turunkan kepada nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, maka keyakinan seperti itu adalah kafir sesuai dengan firman Allah: "Barang siapa yang mencari din (agama) selain dari Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi." (QS. ali Imran: 85)

Diantara contohya adalah seperti keyakinan sebagian kaum sufi terhadap masyayikh (guru-guru) mereka yang bebas dari taklif untuk mengamalkan syariat, bahkan boleh untuk meninggalkannya, atau tanpa merasa berdosa dan bersalah ketika dia terjatuh kepada perbuatan haram, maka jelaslah bahwa keyakinan seperti ini adalah salah satu bentuk kekufuran yang wajib kita jauhi.

10. Berpaling dari syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala

Maksudnya adalah tidak mempelajari, tidak pula beramal dengannya sebagaimana Allah Ta'ala berfirman: "Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang diperingatkan dengan ayat-ayat Robb-Nya, kemudian dia berpaling darinya ? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berbuat dosa." (QS. As-Sajadah: 22)

Betapa banyak kita dapatkan pada hari ini kaum muslimin yang tidak peduli sama sekali dengan agamanya, mereka menganggap remeh urusan agama dan melecehkannya serta tidak mementingkan urusan akhirat dan hal inilah yang menjadi penyebab mundurnya umat Islam yaitu saat dimana kita tidak mengerti lagi dengan agama Islam.

Dan yang tidak termasuk berpaling dari syariat adalah kemalasan dalam menuntut ilmu atau melalaikan sebagian kewajiban atau melalaikan sebagian yang diharamkan, walaupun yang demikian itu mendapatkan dosa akan tetapi sesuai dengan apa yang dia lakukan atau yang ia tinggalkan dan hal yang demikian tidaklah mengeluarkan mereka dari Islam.

Penutup

Demikianlah sepuluh pembatal keislaman yang penting diketahui, dijauhi oleh setiap individu muslim sehingga tidak terjebak oleh perkara-perkara yang akan merusak dan membatalkan keislaman. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menunjuki hati kita dan setiap individu muslim, sehingga kita tidak terjibak oleh perkara-perkara yang akan merusak dan membatalkan keislaman kita. Mudah-mudahan Allah ‘Azza wa Jalla menunjuki hati kita dan memberikan taufiknya untuk menempuh jalan yang lurus dan diridhai oleh-Nya. Wallahu a'lam

Faishal Abdurrahman, LC

Maraji':
- Kitab al-Itman bi Syarhi al ‘Aqidatil Ashohihah wal Qowaaidul Islam oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz wa Abdul Aziz Fathi_mu Ibnu Sayyid ‘Iddun Nada.

Monday, February 23, 2009

Tauhid

MediaMuslim.Info. Tauhid adalah sesuatu yang sudah akrab di telinga kita. Namun tidak ada salahnya kita mengingat beberapa keutamaannya. Karena dengan begitu bisa menambah keyakinan kita atau meluruskan tujuan sepak terjang kita yang selama ini yang mungkin keliru. Karena melalaikan masalah tauhid akan berujung pada kehancuran dunia dan akhirat.

Tujuan Diciptakannya Makhluk Adalah Untuk Bertauhid
Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman, yang artinya: “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS: Adz Dzariyaat: 56). Imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata, yaitu tujuan mereka Kuciptakan adalah untuk Aku perintah agar beribadah kepada-Ku, bukan karena Aku membutuhkan mereka (Tafsir Al Qur’anul ‘Adzhim, Tafsir surat Adz Dzariyaat). Makna menyembah-Ku dalam ayat ini adalah mentauhidkan Aku, sebagaimana ditafsirkan oleh para ulama terdahulu yang sholeh.

Tujuan Diutusnya Para Rosul Adalah Untuk Mendakwahkan Tauhid
Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman, , yang artinya: “Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rosul (yang mengajak) sembahlah Alloh dan tinggalkanlah thoghut.” (QS: An Nahl: 36). Thoghut adalah sesembahan selain Alloh ‘Azza wa Jalla. Syaikh As Sa’di berkata, Alloh ‘Azza wa Jalla memberitakan bahwa hujjah-Nya telah tegak kepada semua umat, dan tidak ada satu umatpun yang dahulu maupun yang belakangan, kecuali Alloh telah mengutus dalam umat tersebut seorang Rosul. Dan seluruh Rosul itu sepakat dalam menyerukan dakwah dan agama yang satu yaitu beribadah kepada Alloh saja yang tidak boleh ada satupun sekutu bagi-Nya (Taisir Karimirrohman, Tafsir surat An Nahl). Beribadah kepada Alloh dan mengingkari thoghut itulah hakekat makna tauhid.

Tauhid Adalah Kewajiban Pertama dan Terakhir
Rosul memerintahkan para utusan dakwahnya agar menyampaikan tauhid terlebih dulu sebelum yang lainnya. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal rodhiyallohu ta’ala ‘anhu, yang artinya: “Jadikanlah perkara yang pertama kali kamu dakwahkan ialah agar mereka mentauhidkan Alloh.” (HR: Bukhori dan Muslim). Nabi juga bersabda, yang artinya: “Barang siapa yang perkataan terakhirnya Laa ilaaha illalloh niscaya masuk surga.” (HR: Abu Dawud, Ahmad dan Hakim dihasankan Al Albani dalam Irwa’ul Gholil).

Tauhid Adalah Kewajiban Yang Paling Wajib
Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya Alloh tidak mengampuni dosa syirik, dan Alloh mengampuni dosa selain itu bagi orang-orang yang Dia kehendaki.” (QS: An Nisaa’: 116). Sehingga syirik menjadi larangan yang terbesar. Sebagaimana syirik adalah larangan terbesar maka lawannya yaitu tauhid menjadi kewajiban yang terbesar pula. Alloh ‘Azza wa Jalla menyebutkan kewajiban ini sebelum kewajiban lainnya yang harus ditunaikan oleh hamba.

Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman, yang artinya: “Sembahlah Alloh dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah pada kedua orang tua.” (QS: An Nisaa’: 36).

Kewajiban ini lebih wajib daripada semua kewajiban, bahkan lebih wajib daripada berbakti kepada orang tua. Sehingga seandainya orang tua memaksa anaknya untuk berbuat syirik maka tidak boleh ditaati. Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman, yang artinya: “Dan jika keduanya (orang tua) memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya…” (QS: Luqman: 15)

Hati Yang Saliim Adalah Hati Yang Bertauhid
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Ketahuilah di dalam tubuh itu ada segumpal daging, apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (HR: Bukhori dan Muslim).

Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman, yang artinya: “Hari dimana harta dan keturunan tidak bermanfaat lagi, kecuali orang yang menghadap Alloh dengan hati yang saliim (selamat).” (QS: Asy Syu’araa’: 88-89). Imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata, yaitu hati yang selamat dari dosa dan kesyirikan (Tafsir Al Qur’anul ‘Adzhim, Tafsir surat Asy Syu’araa’). Maka orang yang ingin hatinya bening hendaklah ia memahami tauhid dengan benar.

Tauhid Adalah Hak Alloh Yang Harus Ditunaikan Hamba
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Hak Alloh yang harus ditunaikan hamba yaitu mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun…” (HR: Bukhori dan Muslim).

Menyembah Alloh ‘Azza wa Jalla dan tidak menyekutukan-Nya artinya mentauhidkan Alloh dalam beribadah. Tidak boleh menyekutukan Alloh ‘Azza wa Jalla dengan sesuatu apapun dalam beribadah, sehingga wajib membersihkan diri dari syirik dalam ibadah. Orang yang tidak membersihkan diri dari syirik maka belumlah dia dikatakan sebagai orang yang beribadah kepada Alloh saja (diringkas dari Fathul Majid).

Ibadah adalah hak Alloh ‘Azza wa Jalla semata, maka barangsiapa menyerahkan ibadah kepada selain Alloh maka dia telah berbuat syirik. Maka orang yang ingin menegakkan keadilan dengan menunaikan hak kepada pemiliknya sudah semestinya menjadikan tauhid sebagai ruh perjuangan mereka.

Tauhid Adalah Sebab Kemenangan di Dunia dan di Akhirat

Para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshor rodhiyallohu ta’ala ‘anhum adalah bukti sejarah atas hal ini. Keteguhan para sahabat dalam mewujudkan tauhid sebagai ruh kehidupan mereka adalah contoh sebuah generasi yang telah mendapatkan jaminan surga dari Alloh ‘Azza wa Jalla serta telah meraih kemenangan dalam berbagai medan pertempuran, sehingga banyak negeri takluk dan ingin hidup di bawah naungan Islam. Inilah generasi teladan yang dianugerahi kemenangan oleh Alloh di dunia dan di akhirat.

Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman, yang artinya: “Orang-orang yang terdahulu (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Alloh telah ridho kepada mereka dan mereka pun telah ridho kepada Alloh. Alloh telah menyiapkan bagi mereka surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS: At Taubah: 100)

Namun sangat disayangkan, kenyataan umat Islam di zaman ini yang diliputi kebodohan bahkan dalam masalah tauhid! Maka pantaslah kalau kekalahan demi kekalahan menimpa pasukan Islam di masa ini. Ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam akidah. Wallohu A’lam bish showaab.

(Sumber Rujukan: Kitab Tauhid, Taisir Karimirrohman dan Fathul Majid)

Friday, February 20, 2009

Shalat Khusyu' Menurut Tuntunan Rasulullah

Sesungguhnya Ibadah Shalat merupakan sebaik-baiknya amal, ia mempunyai kedudukan yang mulia di sisi Allah Subhânahu wa Ta'âla, ibadah inilah yang membedakan antara orang mukmin dan kafir. Ia merupakan ibadah yang mampu melebur dosa seseorang. Ketika seorang mukmin mengetahui betapa pentingnya shalat dan begitu mulianya kedudukannya di sisi Allah Subhânahu wa Ta'âla, maka tentu sebagai seorang muslim kita harus melaksanakannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh aturan Syariat kita, yaitu Islam. Shalat khusyu' merupakan dambaan setiap kita, bahkan berbagai macam cara yang dilakukan seseorang untuk menggapai Shalat khusyu', diantara mereka ada yang mematikan lampu ketika shalat, ada yang memejamkan matanya, ada yang mengosongkan semua fikirannya, ada yang merasakan terbangnya rohnya ketika shalat, bahkan untuk menggapai kekhusyukan mereka membuat pelatihan-pelatihan shalat khusyu'. Tentunya semua hal ini menimbulkan suatu pertanyaan, apakah memang seperti itu shalat khusyu'? Apakah cara-cara seperti tersebut sudah sesuai menurut tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam? Insya Allah melalui beberapa edisi buletin ini kita akan kupas kenapa pentingnya shalat khusyu'? Apa definisi khusyu' ? Apa hukumnya dan apa kiat-kiat untuk menggapainya?

Pentingnya Khusyu' dalam Shalat.

Khusyu' merupakan perkara agung, cepat sirnanya dan jarang keberadaanya ditemukan, khususnya di akhir zaman ini yang penuh dengan berbagai macam fitnah dan godaan, baik godaan dari manusia maupun godaan dari syetan yang berupaya memalingkan manusia dari kekhusyukan.

Jauhnya manusia dari kekhusyukan dalam melaksanakan shalat, hal ini adalah benar adanya, bahkan seorang sahabat besar yang bernama Huzaifah ibnu Yaman radhiyallahu 'anhu telah menggambarkan: "Yang pertama kali yang akan hilang dari agamamu adalah khusyuk', dan hal yang terakhir yang akan hilang dari agamamu adalah shalat. Betapa banyak orang shalat tetapi tiada kebaikan padanya, hampir saja engkau memasuki masjid, sementara tidak ditemukan diantara mereka orang yang khusyuk." (Madarijussalikin, Imam Ibnul Qayyim 1/521)

Bila kita tanyakan dan kita pantau shalat yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, maka jawabannya adalah mereka jauh dari kekhusyukan. Fikiran mereka menerawang entah kemana, hati mereka lalai, bahkan was-was dari syetanpun muncul tatkala mereka melaksanakan shalat, Oleh karena itu pembahasan seputar tentang shalat khusyuk ini merupakan pembahasan yang sangat penting sekali, dan dibutuhkan oleh kaum muslimin yang ingin meningkatkan kualitas ibadah shalatnya. Dimana hal ini akan membawa mereka kepada kebahagian dan kemenangan, sebagaimana yang telah disebutkan Allah Subhânahu wa Ta'âla di dalam al-Qurân: "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang yang khusyu' dalam shalatnya." (QS. al-Mu'minuun: 1-2)

Makna Khusyu'

Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan bahwa Khusyu' adalah: "Ketenangan, tuma'ninah, pelan-pelan, ketetapan hati, tawadhu', serta merasa takut dan selalu merasa diawasi oleh Allah ‘Azza wa Jalla."

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa Khusyu' adalah: "Menghadapnya hati di hadapan Robb ‘Azza wa Jalla dengan sikap tunduk dan rendah diri." (Madarijusslikin 1/520 )

Definisi lain dari khusyu' dalam shalat adalah: "Hadirnya hati di hadapan Allah Subhânahu wa Ta'âla, sambil mengkonsertasikan hati agar dekat kepada Allah Subhânahu wa Ta'âla, dengan demikian akan membuat hati tenang, tenangnya gerakan-gerakannya, beradab di hadapan Robbnya, konsentrasi terhadap apa yang dia katakan dan yang dilakukan dalam shalat dari awal sampai akhir, jauh dari was-was syaithan dan pemikiran yang jelek, dan ia merupakan ruh shalat. Shalat yang tidak ada kekhusyukan adalah shalat yang tidak ada ruhnya." (Tafsir Taisir Karimirrahman, oleh Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa'di)

Letak Khusyu'

Tempat khusyu' adalah di hati, sedangkan buahnya akan tampak pada anggota badan. Anggota badan hanya akan mengikuti hati, jika kekhusyukan rusak akibat kelalaian dan kelengahan, serta was-was, maka rusaklah ‘ubudiyah anggota badan yang lain. Sebab hati adalah ibarat raja, sedangkan anggota badan yang lainnya sebagai pasukan dan bala tentaranya. Kepadanya-lah mereka ta'at dan darinya-lah sumber segala perintah, jika sang raja dipecat dengan bentuk hilangnya penghambaan hati, maka hilanglah rakyat yaitu anggota-anggota badan.

Dengan demikian, menampakkan kekhusyukkan dengan anggota badan, atau melalui gerakan-gerakan, supaya orang menyangka bahwa si fulan khusyu', maka hal itu adalah sikap yang tercela, sebab diantara tanda-tanda keikhlasan adalah menyembunyikan kekhusyukan.

Suatu ketika Huzaifah bin Yaman radhiyallahu 'anhu berkata: "Jauhilah oleh kalian kekhusyukan munafik, lalu ditanyakan kepadanya: Apa yang dimaksud kekhusyukan munafik? Ia menjawab: "Engkau melihat jasadnya khusyu' sementara hatinya tidak".

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah membagi khusyu' kepada dua macam, yaitu khusyu' nifaq dan khusyuk iman.

Khusyu' nifaq adalah: "Khusyu' yang tampak pada permukaan anggota badan saja dalam sifatnya, yang dipaksakan dan dibuat-buat, sementara hatinya tidak khusyuk."

Khusyuk iman adalah: "Khusyuknya hati kepada Allah Subhânahu wa Ta'âla dengan sikap mengagungkan, memuliakan, sikap tenang, takut dan malu. Hatinya terbuka untuk Allah Subhânahu wa Ta'âla, dengan keterbukaan yang diliputi kehinaan karena khawatir, malu bercampur cinta menyaksikan nikmat-nikmat Allah ‘Azza wa Jalla dan kejahatan dirinya sendiri. Dengan demikian secara otomatis hati menjadi khusyu' yang kemudian diikuti khusyu'nya anggota badan."

Hukum Khusyu' dalam Shalat.

Menurut pendapat yang kuat, bahwa khusyu' dalam shalat hukumnya wajib. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam menafsirkan firman Allah Ta'âla: "Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu lebih berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'." (QS. al-Baqarah: 45)

Beliau rahimahullah mengomentari ayat tersebut dengan mengatakan: "Ayat tersebut mengandung celaan atas orang-orang yang tidak khusyu' dalam shalat, celaan tidak akan terjadi kecuali karena meninggalkan perkara-perkara penting atau wajib, atau karena keharaman yang dilakukan".

Kemudian bila kita lihat dalam al-Qurân Allah Subhânahu wa Ta'âla menjelaskan sifat-sifat calon penghuni surga firdaus: "Sungguh beruntunglah orang yang beriman, yaitu mereka yang khusyu' dalam shalatnya." (QS. al-Mu'minuun: 1-2), pada ayat ke 11 Allah Subhânahu wa Ta'âla memberikan isyarat, (bagi orang yang khusyu'), dengan mengatakan: "Mereka itulah, orang-orang yang mewarisi Surga Firdaus, mereka kekal di dalamnya." (QS. al-Mu'minuun: 11)

Melalui ayat tersebut Allah Subhânahu wa Ta'âla mengabarkan bahwa mereka (orang yang khusyu') adalah calon pewaris Jannatul Firdaus. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa selain mereka tidak layak mewarisinya. Meraih surga bagi seorang muslim hukumnya adalah wajib, maka jalan atau wasilah untuk mencapai surga tersebut hukumnya juga wajib, dan shalat yang khusyu' hukumnya ikut menjadi wajib karena merupakan salah satu sarana untuk meraih surga firdaus.

Kiat-Kiat Meraih Shalat Khusyu' Menurut Tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam .

Dalam meraih shalat khusyu' Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan kiat-kiat yang jelas, bahkan para ulama telah membuat bab-bab dalam kitab-kitab mereka, seperti Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah membuat Bab Anjuran Khusyu' dalam Shalat.

Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Munajjid rahimahullah dalam kitab beliau "33 Kiat Mencapai Khusyu' dalam Shalat" menjelaskan; bahwa untuk mencapai khusyu' dalam shalat ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan:

1. Memperhatikan hal-hal yang mendatangkan kekhusyukan dalam shalat.

2. Menolak hal-hal yang menghilangkan kekhusyukan dan melemahkannya.


Ad1. Memperhatikan hal-hal yang mendatangkan kekhusyukan dalam shalat

Untuk mencapai hal-hal yang akan mendatangkan kekhusyukan ada beberapa kiat yang dijelaskan dalam hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, diantaranya:

a. Mempersiapkan diri sepenuhnya untuk shalat

Adapun bentuk-bentuk persiapannya yaitu: ikut menjawab azan yang dikumandangkan oleh muazin, kemudian diikuti dengan membaca do'a yang disyariatkan, bersiwak karena hal ini akan membersihkan mulut dan menyegarkannya, kemudian memakai pakaian yang baik dan bersih, sebagaimana firman Allah Ta'âla: "Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki masjid, makanlah dan minumlah. Jangan berlebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan." (QS. al-A'raaf: 31)

Diantara bentuk persiapan lain adalah berjalan ke masjid dengan penuh ketenangan dan tidak tergesa-gesa, lalu setelah sampai di depan masjid, maka masuk dengan membaca do'a dan keluar darinya juga membaca do'a, melaksanakan shalat sunnat Tahiyyatul masjid ketika telah berada di dalam masjid, merapatkan dan meluruskan shaf, karena syetan berupaya untuk mencari celah untuk ditempatinya dalam barisan shaf shalat.

Dengan melakukan bentuk persiapan tersebut maka Insya Allah akan membantu dalam kekhusyukan.

b. Tuma'ninah

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selalu tuma'ninah dalam shalatnya, sehingga seluruh anggota badannya menempati posisi semula, bahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan orang yang buruk shalatnya supaya melakukan tuma'ninah sebagaimana sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam: "Tidak sempurna shalat salah seorang diantara kalian, kecuali dengannya (tuma'ninah)."

Bahkan di dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyamakan orang yang tidak tuima'ninah tersebut dengan orang yang mencuri dalam shalatnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qatadah radhiyallahu 'anhu: "Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Seburuk-buruk pencurian yang dilakukan manusia adalah orang yang mencuri shalatnya." Qatadah berkata: "Ya Rasulullah, bagaimana seseorang tersebut di katakan mencuri shalatnya? Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Ia tidak menyempurnakan ruku' dan sujudnya." (HR. Ahmad dan al-Hakim 1/229)

Orang yang tidak tuma'ninah dalam shalatnya, tentu tidak akan merasakan kekhusyukan, sebab menunaikan shalat dengan cepat akan menghilangkan kekhusyukan, sedangkan shalat seperti mematuk burung, maka hal itu akan menghilangkan pahala.

Oleh karena itulah karena pentingnya tuma'ninah, maka wajib bagi seorang muslim untuk tuma'ninah dalam shalatnya sehingga shalatnya diterima oleh Allah Ta'âla.



C. Mengingat mati ketika shalat

Hal ini berdasarkan wasiat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Apabila engkau shalat maka shalatlah seperti orang yang hendak berpisah (mati)". (HR. Ahmad V/412, Shahihul Jami', no. 742)

Jelaslah bahwasanya hal ini akan mendorong setiap orang untuk bersungguh-sungguh dalam shalatnya, karena orang yang akan berpisah tentu akan merasa kehilangan dan tidak akan berjumpa kembali, sehingga akan muncul upaya dari dalam dirinya untuk bersungguh-sungguh, dan hal ini seolah-olah baginya merupakan kesempatan terakhir untuk shalat.

D. Menghayati makna bacaan shalat

Al-Qurân diturunkan agar direnungkan dan dihayati maknanya, sebagaimana firman-Nya ‘Azza wa Jalla: "Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran". (QS. Shaad: 29)

Sikap penghayatan tidak akan terwujud kecuali dengan memahami makna swetiap yang kita baca. Dengan memahami maknanya, maka seseorang akan dapat menghayati dan berfikir tentangnya, sehingga mengucurlah air matanya, karena pengaruh makna yang mendalam sampai ke lubuk hatinya. Dalam hal ini Allah Subhânahu wa Ta'âla berfirman: "Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Robb mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang yang tuli dan buta". (QS. al-Furqan: 73)

Di dalam ayat yang mulia ini Allah Subhânahu wa Ta'âla menjelaskan betapa pentingnya memperhatikan makna dari ayat yang dibaca. al-Imam Ibnu Jarir rahimahullah berkata: "Sesungguhnya saya sangat heran kepada orang yang membaca al-Qurân, sementara dia tidak mengetahui maknanya. Bagaimana mungkin dia akan mendapatkan kelezatan ketika dia membacanya? (Muqaddimah Tafsir at-Thobari karya Muhammad Syakir)

E. Membaca surat sambil berhenti pada tiap ayat

Hal ini merupakan kebiasaan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana yang dikisahkan oleh Ummu Salamah radhiyallahu 'anha tentang bagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam membaca al-fatihah, yaitu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam membaca Basmalah, kemudian berhenti, kemudian membaca ayat berikutnya lalu berhenti. Demikian seterusnya sampai selesai (HR. Abu Daud, no. 4001)

F. Membaca al-Qurân dengan tartil

Hal ini berdasarkan firman Allah Subhânahu wa Ta'âla: "Dan bacalah al-Qurân dengan perlahan-lahan". (QS. al-Muzammil: 4)

Dan diriwayatkan dengan shahih bahwa bacaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah perlahan-lahan serta satu huruf-satu huruf (Musnad Ahmad 6/294 dengan sanad shahih, Shifatus sholah: 105)

Membaca dengan perlahan dan tartil lebih bisa membantu untuk merenungi ayat-ayat yang dibaca dan mendatangkan kekhusyu'an. Adapun membaca dengan ketergesa-gesaan akan menjauhkan hati dari kekhusyukan.

G. Meyakini bahwa Allah Subhânahu wa Ta'âla akan mengabulkan permintaannya ketika seorang hamba sedang melaksanakan shalat

Dalam hal ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Qudsi: "Allah Subhânahu wa Ta'âla berfirman: ‘Aku membagi Shalatku dengan hamba-Ku-menjadi dua bagian, dan bagi hambaku setiap apa yang dia minta. Jika hamba-Ku mengucapkan Alhamdu lillahi Robbil'âlamin, Allah Subhânahu wa Ta'âla berfirman: ‘hamba-Ku telah menyanjung-Ku. Jika ia mengucapkan Mâ likiyaumiddin, Allah Subhânahu wa Ta'âla berfirman: ‘Hamba-Ku telah memuliakan dan mengagungkan-Ku". (Shahih Muslim, Kitabus Shalat, Bab Wajibnya Membaca al-Fatihah dalam Setiap Rakaat)

Hadits yang mulia ini menjelaskan kepada kita bahwa seseorang yang sedang melaksanakan shalat, yaitu ketika ia membaca al-Fatihah maka bacaan tersebut mendapat balasan langsung dari Allah ‘Azza wa Jalla, maka ini akan menjadi pendorong kita dalam mencapai kekhusyukan.

H. Meletakkan sutrah.(tabir pembatas) dan mendekatkan diri kepadanya

Hal ini lebih bertujuan untuk memperpendek dan menjaga penglihatan orang yang sedang melaksankan Shalat, sekaligus menjaga dirinya dari syetan. Disamping itu juga dapat menjauhkan diri dari lalu lalangnya orang yang lewat di sekitar kita, karena lewatnya orang lain secara hilir mudik dapat mengganggu kekhusyukan shalat.

Dalam hal ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Jika salah seorang diantara kalian melaksanakan Shalat dengan menggunakan tabir, maka hendaklah ia mendekat padanya, sehingga syetan tidak akan memotong Shalatnya".(HR. Abu Daud, no. 446/1695)

Adapun jarak antara seseorang dengan tabir (sutrah) adalah tiga kali panjang lengan, dan antara tabir dengan tempat sujudnya adalah, seluas tempat lewatnya seekor kambing, sebagaimana yang banyak disebut dalam hadits-hadits shahih. (lihat Fathul Bari 1/574-579)

I. Meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri di dada

"Adalah Rasulullah jika sedang Shalat,beliau meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri". (HR. Muslim )

Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Para ulama berkata: ‘Hikmah dari sikap tersebut (meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri di dada)-pen merupakan bentuk sifat dari seseorang yang meminta-minta dengan perasaan hina, sikap tersebut lebih mampu menghindarkan sifat main-main, dan lebih dekat kepada kekhusyukan". (lihat Fathul Bari 2/224)

J. Melihat kearah tempat sujud

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu 'anha: "Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam jika sedang shalat, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menundukkan kepala serta mengarahkan pandangannya ke tanah (tempat sujud)". (HR. al-Hakim 1/479, dia berkata shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim, disepakati juga oleh al-Albani dalam buku shifatus Shalatin Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hal 89)

Dari sini jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Shalat melihat ke arah tempat sujud dan tidak memejamkan matanya, maka orang yang memejamkan matanya berarti amalannya bertentangan dengan sunnah.

K. Memohon perlindungan kepada Allah Subhânahu wa Ta'âla dari godaan syetan

Godaan syetan akan selalu datang kepada siapa saja yang akan menghadap Allah Subhânahu wa Ta'âla, oleh karena itu seorang hamba hendaknya tegar dalam beribadah kepada Allah Ta'âla, seraya tetap melakukan amalan-amalan zikir ataupun shalat,dan jangan sampai goyah, sebab dengan selalu menekuni hal-hal tersebut,godaan dan tipu daya syetan akan hilang dengan sendirinya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: "Sesungguhnya tipu daya syetan itu adalah lemah.(QS. an-Nisa': 76)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Jika seorang diantara kalian berdiri shalat, maka datanglah syetan, kemudian ia mengacaukannya (mengacaukan shalatnya dan memasukkan padanya keraguan) sehingga tidak mengetahui berapa rakaat ia shalat. Jika salah seorang diantara kalian mendapati hal demikian, maka hendaklah ia bersujud dua kali ketika dia sedang duduk". (HR. Bukhari)

Itulah diantara hal-hal yang membantu kekhusyukan, yang tidak bisa kami sebutkan semuanya karena keterbatasan tempat, namun setidak-tidaknya ini sebagai suatu jalan bagi kita untuk menuju khusyu'.

Adapun faktor yang kedua dari hal-hal yang akan membawa kekhusyukan adalah dengan mengetahui penghalang-penghalang kekhusyukan dan menolaknya. Adapun penghalang-penghalang kekhusyukan adalah sebagai berikut:

A. Menghilangkan sesuatu yang mengganggu di tempat shalat

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, dia berkata: "Adalah ‘Aisyah memiliki selembar kain yang berwarna-warni yang digunakan untuk menutupi bagian samping rumahnya. Melihat itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya: "Hilangkan itu dari pandanganku, sebab gambar-gambarnya selalu terbayang dan menggoda pandanganku pada waktu shalat". (HR. Bukhari/lihat Fathul Bari 10/391). Dan termasuk perkara yang harus dihindari adalah Shalat di tempat lalu lalang manusia, tempat yang ramai dan gaduh serta berisik, di dekat orang yang sedang bercakap-cakap.

B. Tidak shalat di tempat yang terlalu dingin atau terlalu panas, jika hal tersebut memungkinkan

Karena hal ini jelas akan mengganggu kekhusyukan dalam shalat.

C. Menghindari shalat di dekat makanan yang disukai

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak baik Shalat dilaksanakan di hadapan (di dekat) makanan yang telah dihidangkan". (HR. Muslim, no. 560). Jika makanan yang telah dihidangkan dan berada dihadapannya, maka ia berhak mendahulukan makan, sebab jika ia tidak makan dan meninggalkannya (tidak makan terlebih dahulu), ia tidak akan merasa khusyu' dan hatinya akan selalu teringat pada makanan tersebut, bahkan seyogyanya dia tidak tergesa-gesa dalam makannya sehingga betul-betul terpenuhi hajatnya.

D.Menghindari shalat dalam kondisi mengantuk

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Jika salah seorang dari kalian merasa mengantuk dalam shalat, hendaklah ia tidur terlebih dahulu, sehingga ia mengetahui apa yang diucapkannya". (HR. Bukhari, no. 210)

E. Jangan shalat di belakang orang-orang yang bercakap-cakap ataupun tidur

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah Shalat di belakang orang yang sedang tidur dan juga orang-orang yang sedang bercakap-cakap". (HR. Abu Daud, no. 694)

Karena suara orang-orang yang sedang bercakap-cakap dapat merusak konsentrasi seseorang yang sedang Shalat.

F. Menghindari shalat dalam keadaan menahan buang air besar ataupun kecil

Karena hal ini jelas akan mengganggu kekhusyukan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang seseorang shalat dalam kondisi Haaqin yaitu menahan buang air kecil dan besar. (HR. Ibnu Majah dalam Sunannya no. 617)

G. Tidak menyibukkan diri untuk membersihkan debu

H. Dimakruhkan mengusap dahi dan hidung dalam shalat

I. Tidak boleh mengganggu orang yang sedang shalat dengan mengeraskan bacaan

J. Tidak boleh menoleh ke kiri dan ke kanan ketika shalat

K. Tidak mengarahkan pandangan ke langit

L. Jangan meludah ke depan ketika sedang shalat

M. Berusaha untuk tidak menguap ketika shalat

N. Tidak mencontoh gerakan atau tingkah laku binatang

Driwayatkan dalam hadits bahwasanya: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang tiga perkara dalam Shalat, yaitu perilaku mematuk seperti burung gagak, duduk seperti duduknya binatang buas, mengambil tempat tertentu sebagaimana unta mengambil tempat duduknya (menderum)". (HR. Ahmad 3/428)


Demikianlah beberapa kiat-kiat dalam meraih Shalat Khusyu, semoga dengan mengetahuinya akan mengantarkan kita menuju Shalat yang khusyu', yang pada intinya sangat praktis, mudah dan ekonomis tanpa membutuhkan biaya yang besar. Wallahu a'lam

Sumber :
Dar El Iman
Faishal Abdurrahman, Lc

Followers