Sesungguhnya sudah menjadi sunnatullah dalam kehidupan kita bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menguji setiap hamba-hamba-Nya dengan berbagai macam cobaan/ujian seperti adanya rasa takut, kekurangan akan harta benda, baik itu sandang maupun pangan, kehilangan orang yang kita cintai dan berpisah dengannya seoerti halnya seorang suami berpisah dengan istrinya, bapak berpisah dengan anaknya, gempa, banjir dan lain sebagainya. Adanya ujian/musibah tersebut sebenarnya bukanlah sesuatu yang asing bagi syari'at kita dan bukanlah suatu hal yang aneh karena semuanya telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam al-Qurân yaitu:
"Sungguh akan Kami uji kalian dengan adanya rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan kekurangan buah-buahan dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan; Innaa lillahi wa innaa ilaihi rooji'un. (QS. al-Baqarah: 155-156)
Allah Subhanahu wa Ta'ala timpakan kepada kita ujian ataupun musibah bukan berarti Allah Subhanahu wa Ta'ala benci kepada kita, bahkan menunjukkan Allah 'Azza wa Jalla sayang kepada kita, sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadits shahih dari Anas ibnu Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda;
"Besarnya pahala tergantung besarnya ujian dan sesungguhnya apabila Allah menyenangi suatu kaum, Dia mengujinya. Barangsiap ridho maka Allahpun ridho, dan barangsiapa yang marah, maka Dia Marah." (HR. Shahih Ibnu Majah 2/373)
Dalam riwayat yang lain,"Apabila Allah menginginkan kebaikan pada diri seorang hamba, maka Allah datangkan ujian kepada hamba tersebut." (HR. Bukhari)
Maksud dari hadits di atas adalah apabila Allah 'Azza wa Jalla menginginkan kebaikan pada diri seorang hamba maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan uji mereka terlebih dahulu yaitu dengan menurunkan musibah dengan syarat mereka sabar dan mengharapkan ridho Allah Subhanahu wa Ta'ala. Adapun jika ia tidak sabar maka tidak ada kebaikan terhadapnya dan Allah Subhanahu wa Ta'ala juga tidak menginginkan baginya kebaikan.
Demikian juga Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menguji para hambanya agar terlihat jelas siapa diantara hamba-hamba-Nya yang beriman dan siapa yang dusta dalam keimanan, siapa diantara mereka yang bersyukur dan siapa yang kufur, juga siapa yang sabar dan yang tidak sabar, sebagaimana Allah Ta'ala katakan dalam al-Qurân;
"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja ketika mereka mendakwakan diri mereka (kami telah beriman), sedangkan mereka belum diuji. Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar imannya dan siapa yang dusta." (QS. al-Ankabuut: 2-3)
Sikap Kita Sebagai Seorang Muslim dalam Menghadapi Musibah
Ada dua bentuk sikap seorang muslim yang wajib diperhatikan dalam menghadapi musibah:
A. Sikap Ketika Musibah Itu Belum Terjadi.
Dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya:
1. Kapan akan terjadinya suatu musibah adalah suatu perkara yang ghaib, yang mengetahuinya hanyalah Allah 'Azza wa Jalla.
Siapapun tidak akan bisa meramal tentang apa-apa yang akan terjadi besok secara pasti, karena ilmu pengetahuan mengenai hal itu hanya milik Allah 'Azza wa Jalla.
Sebagai contoh yang jelas dan gamblang bagi kita adalah seorang yang mengalami kecelakan kendaraan di hari Senin apakah ia bisa mengetahui sehari sebelumnya terjadi kecelakaan tersebut. Jawabannya tentulah tidak !! Jangankan untuk perhitungan perhari, hitungan perjam pun manusia tidak akan bisa memprediksi apa yang akan terjadi setelahnya.
Bahkan di dalam al-Qurân Allah Subhanahu wa Ta'ala telah membantah ramalan-ramalan orang-orang tentang kejadian hari esok, tentang tempat dimana seseorang akan mati, dan apa yang ada dalam rahim manusia yaitu;
"Sesungguhnya hanya di sisi Allah pengetahuan tentang hari kiamat dan Dialah yang menurunkan hujan dan di sisi-Nyalah ilmunya dan mengetahui apa yang ada di dalam rahim manusia dan tiada seorangpun yang bisa mengetahui apa yang akan ia usahakan besok dan tidak seorangpun bisa mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Luqman: 24)
Sungguh kita merasa sangat prihatin dengan kondisi kaum muslimin sekarang ini, mereka lebih percaya kepada ramalan-ramalan manusia dan isu-isu yang disebarkan manusia dibandingkan dengan keyakinannya tehadap ajaran agama mereka sendiri yaitu agama Islam.
Sebagian kaum muslimin telah diperbodoh dengan isu yang baru-baru ini tersebar dari salah seorang yang mengaku sebagai Profesor dari Brazil dimana ia mengatakan bahwa akan terjadi gempa besar dengan skala sekitar 9 SR di pantai barat pulau Sumatera (Mentawai) dan ini akan terjadi pada tanggal 23 Desember 2007 dan akan diikuti dengan gelombang tsunami.
Ternyata ramalan itu telah membuat resah sebagian kaum muslimin yang tinggal di kota Padang terutama daerah-daerah pesisir pantai. Sehingga akhirnya mereka terprovokasi dengan isu tersebut dan pergi meninggalkan kota Padang, atau pergi pulang kampung dan ada diantaranya menjual rumahnya hanya gara-gara isu dan sebuah mimpi. Bahkan disebutkan juga bahwa ada salah seorang kepala daerah di Bengkulu yang ikut terprovokasi dengan isu ini sampai berencana mengevakuasi masyarakat sebelum tanggal 23 Desember 2007. Na'udzubillahi min dzalik.
Dimanakah keimanan kita ? Dimanakah aqidah kita sebagai seorang yang mengaku sebagai seorang muslim ? sehingga mudah terpedaya dengan isu murahan yang hanya bersumber dari mimpi si Profesor.
2. Menyadari tentang hakikat hidup sesungguhnya
Tujuan penciptaan kita di muka bumi hanyalah untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana firman Allah Ta'ala di dalam al-Quran:
"Dan tiadalah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyaat: 56)
Memperbaiki aqidah kita yaitu dengan menjauhi setiap perbuatan syirik dengan memurnikan ibadah kita hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Mu'adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Hai Mu'adz tahukah kamu apa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya dan apa hak para hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah ? Mu'adz menjawab Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi pun bersabda; hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya ialah supaya mereka beribadah kepada-Nya saja dan tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya, sedangkan hak para hamba yang pasti dipenuhi oleh Allah adalah bahwa Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya." (HR. Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih mereka)
Sesungguhnya hidup tidak terlepas dari yang namanya ujian. Setiap jiwa, setiap diri kita pasti akan diuji dengan berbagai macam bentuk ujian dan berbagai bentuk permasalahan. sehingga kita tidak perlu merasa takut akan kehidupan ini karena hidup adalah ujian itu sendiri. Allah Ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kamu, dan agar Kami menyatakan baik-buruknya hal ihwalmu." (QS. Muhammad: 31)
Di dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran)." (QS. al-A'rof: 168)
3. Memperbanyak bekal amal ibadah dan keta'atan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sebelum ajal menjemput.
Bekal kita sebelum ajal menjemput kita adalah dengan memperbaiki amal perbuatan kita, memperbaiki tata cara/sistem mua'malah kita, memperbaiki ibadah setelah sebelumnya bertaubat dari setiap kesalahan dan dosa yang pernah kita lakukan dengan cara melepaskan diri dari ma'shiyat dan menyesalinya karena telah melakukan perbuatan dosa lalu bertekad untuk tidak mengulanginya kembali. Setelah itu, mari kita memperbanyak amal ibadah dan semakin rajin melaksanakan keta'atan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat." (QS. Hud: 114)
Selain itu kita juga dianjurkan untuk memperbanyak istighfar kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Wahai manusia, bertaubatlah kepada Allah. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah dalam sehari seratus kali." (HR. Muslim, no. 6799)
4. Bertawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berserah diri kepada-Nya.
Allah Ta'ala berfirman: "Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah cukupkan keperluannya." (QS. at-Thalaq: 3)
5. Menjauhi perbuatan dosa dan ma'shiyat karena penyebab terbesar datangnya suatu musibah adalah ketika kaum muslimin telah bergelimang dengan dosa dan ma'shiyat
B. Sikap Ketika Musibah Itu Datang.
Disamping hal yang telah disebutkan di atas maka ada beberapa hal yang perlu kita tambahkan yaitu:
1. Mengimani bahwasanya apapun bentuk musibah yang menimpa seseorang, semuanya telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman; "Tiada satupun bencana yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh al-Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah perkara yang mudah bagi Allah." (QS. al-Hadiid: 22)
2. Bersabar dalam menghadapi musibah tersebut.
Orang yang sabar dalam menghadapi musibah maka dia akan menahan dirinya dari kemurkaan dan kemarahan baik itu dalam bentuk perbuatan maupun perkataan. Ia akan mengharapkan pahala dari sisi Allah 'Azza wa Jalla dan menyadari bahwa nikmat yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala karuniakan lebih luas dibandingkan dengan musibah yang ia dapatkan. Orang yang sabar baginya bantuan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, menolongnya dan memberikan pahala baginya tanpa hisab.
Dari Suhaib radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; "Amat menakjubkan keadaan orang yang beriman karena semua urusannya baik, dan tidaklah dapat meraihnya melainkan orang yang beriman. Jika ia mendapatkan kegembiraan dia bersyukur dan hal itu baik bagi. Dan jika ia ditimpa musibah dia bersabar, maka itu baik baginya". (HR. Muslim 5318)
3. Beriman kepada qadha dan qadhar dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Diriwayatkan dalam Musnad dan Sunan dari Ibnu Dailami, ia menuturkan, Aku datang kepada Ubay bin Ka'ab radhiyallahu ‘anhu dan kukatakan kepadanya, ada suatu keraguan dalam diriku tentang masalah qadar, maka tuturkanlah kepadaku suatu hadits dengan harapan semoga Allah menghilangkan keraguan itu di hatiku. Maka ia (Ubay bin Ka'ab) berkata, "Seandainya kamu menginfaqkan emas sebesar gunung uhud, Allah tidak akan menerimanya darimu sebelum engkau beriman kepada qadar, dan kamu meyakini bahwa apa yang telah ditaqdirkan mengenai dirimu pasti tidak akan meleset dan apa yang tidak mengenai dirimu pasti tidak akan menimpamu. Sedangkan kalau kamu mati tidak dalam keyakinan ini pasti kamu akan menjadi penghuni neraka".
Kata Ibnu ad-Dailami selanjutnya, lalu akupun mendatangi Abdullah bin Mas'ud, Hudzaifah bin Yaman dan Zaid bin Tsabit, seluruhnya menuturkan kepadaku hadits tersebut dari Nabi shallallahu' alaihi wa sallam. (Hadits shahih, diriwayatkan pula oleh al-Hakim dalam Shahihnya)
4. Selalu optimis di dalam hidup dan tidak pernah berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana firman Allah Ta'ala;
"tidak ada orang yang berputus asa dari Rahmat Rabbnya kecuali orang yang sesat." (QS. al-Hijr: 56)
5. Bekali diri dengan ilmu dan amal, karena dengan ilmu dan amal akan mengantarkan seseorang kepada kesabaran dan membawa seorang muslim kepada keta'atan dan mengantarkan seorang Muslim kepada surga milik Allah Subhanahu wa Ta'ala.
6. Bersegeralah kepada ampunan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak menunda-nundanya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman;
"Dan bersegeralah kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa." (QS. Ali 'Imran: 133)
7. Mengambil ibrah dari kisah-kisah orang-orang yang terdahulu seperti para Nabi, para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, taabi'in dan orang-orang yang shaleh yang mengikuti mereka.
Kesabaran mereka dalam menghadapi ujian patut kita jadikan tauladan, seperti kisah Nabi Nuh 'alaihissalaam menghadapi kaumnya dan keluarganya, kisah Nabi Ibrahim 'alaihissalaam dalam mendakwahi bapaknya, kesabaran Nabi Ismail 'alaihissalaam ketika datangnya perintah untuk menyembelihnya, kisah Nabi Yusuf 'alaihissalaam, azab yang Allah Subhanahu wa Ta'ala timpakan kepada umat Nabi Nuh 'alaihissalaam yang telah mendurhakainya, Kaum 'Ad dan Tsamud, Fir'aun dan bala tentaranya yang ditenggelamkan karena durhaka kepada Allah 'Azza wa Jalla. Semua kisah di atas pantas untuk kita jadikan ibrah dalam kehidupan kita dalam menghadapi musibah.
Penyebab terjadinya bencana
Hal ini dijelaskan dalam banyak hadits, diantaranya hadits dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
"Hai orang-orang Muhajirin; lima perkara, jika kamu ditimpa lima perkara ini, aku mohon perlindungan kepada Allah agar kamu tidak mendapatkannya.
- Tidaklah muncul perbuatan keji (seperti bakhil, zina, minum khamar, judi, merampok, dan lainnya) pada suatu masyarakat, sehingga mereka melakukannya terang-terangan, niscaya akan tersebar penyakit-penyakit lainnya yang tidak ada pada orang-orang sebelum mereka.
- Tidaklah orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan disiksa dengan paceklik, kehidupan yang susah, dan kezholiman pemerintah.
- Tidaklah orang-orang yang menahan zakat hartanya, kecuali hujan akan ditahan dari mereka. Seandainya bukan karena hewan-hewan, manusia tidak akan diberi hujan.
- Tidaklah orang-orang yang membatalkan janji mereka terhadap Allah dan perjanjian Rasul-Nya kecuali Allah akan jadikan musuh selain mereka (orang-orang kafir) menguasai mereka dan merampas sebagian yang ada di tangan mereka.
- Dan selama pemimpin-pemimpin (negara, masyarakat) tidak berhukum dengan kitab Allah dan memilih-milih sebagian apa yang Allah turunkan, kecuali Allah menjadikan permusuhan yang keras diantara mereka." (HR. Ibnu Majah, no. 4019, al-Bazaar, al-Baihaqi dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 106, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no. 764)
Sesungguhnya sebab yang telah menjerumuskan umat ini ke dalam belitan bencana dan ujian ini sangat banyak dan beragam. Akan tetapi semuanya bermuara pada dua bahaya besar yang telah menimpa agama umat ini, petunjuk bagi umat dalam menangani urusan mereka yaitu kebodohan karena tidak mengerti dengan din (agama) dan tidak mengetahui syari'at Rabbul ‘Alamin.
Dalam kitab hadits shahihain dari shahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu dia berkata bahwa Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda; "Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu (dari manusia) secara langsung, tetapi Dia mencabut ilmu dengan mematikan ulama. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alimpun, orang-orang mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, lalu orang-orang bertanya kepada mereka, lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan." (HR. Bukhari, no. 100)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; "Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu, orang yang berdusta dibenarkan, orang yang benar didustakan, orang yang berkhianat diberi amanat, orang yang amanah dianggap berkhianat dan Ruwaibidhoh akan berbicara pada masa itu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: Apakah Ruwaibidhoh ? Beliau menjawab, seorang yang hina lagi bodoh (berbicara tentang) urusan orang banyak." (HR. Ibnu Majah, no. 4036. dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)
Maka sudah menjadi kewajiban bagi kita sebagai seorang muslim untuk menuntut ilmu yaitu ilmu tentang syari'at agama Islam agar tidak ikut terombang-ambing oleh gelombang kehidupan dunia ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; "Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim."
oleh : Abu Afifah Faishal Abdurrahman, Lc
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment