Allah Subhanahu wa Ta'aala telah memberikan suatu nikmat yang sangat besar bagi manusia, dimana Allah ‘Azza wa Jalla telah menurunkan bagi mereka syari'at yang mengatur segala aspek kehidupan, syari'at yang bertujuan untuk kebahagian manusia di dunia dan di akhirat, syari'at yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana, yang mengetahui segala sesuatu yang berguna bagi manusia dan segala apa yang dapat membahayakan mereka. Diturunkannya syari'at adalah salah satu tanda kasih sayang Allah Tabaaraka wa Ta'aala terhadap hamba-Nya, karena dengan syari'atlah manusia dapat hidup dengan penuh kasih sayang dan kedamaian. Kalaulah kita melihat dan merenungkan kondisi bangsa Arab sebelum Allah Subhanahu wa Ta'aala mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dimana mereka adalah umat yang tidak menganut agama samawi, umat yang diperbudak oleh berhala dan syetan, yang kuat menindas yang lemah, wanita kehilangan harkat dan derajatnya, maka kita akan dapat mengetahui begitu besarnya nikmat yang telah diberikan Allah Tabaaraka wa Ta'aala kepada kita semua dengan mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai penutup dari para rasul yang membawa syari'at yang paling sempurna, sehingga mereka tidak perlu lagi menambah atau mengurangi sesuatu dari syari'at yang telah diturunkan Allah Ta'ala tersebut. Akan tetapi walaupun agama yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah sempurna, syetan tidak akan pernah membiarkan manusia menikmati kesempurnaan tersebut, bahkan akan selalu berusaha untuk menghancurkan dan membinasakan manusia. Banyak cara yang ditempuh oleh syetan untuk mewujudkan tujuannya tersebut, di antaranya adalah menggoda manusia dari sisi syahwat duniawi. Adapun mereka yang tidak mempan dengan godaan ini maka ia (syetan) akan berusaha untuk menggodanya dengan berlebih-lebihan di dalam agama, sehingga mereka pun terjatuh kedalam perbuatan bid'ah. Sebagian manusia -semoga Allah Ta'ala memberikan petunjuk kepadanya-apabila mendengar kata bid'ah ia akan langsung antipati, sikap seperti ini seharusnya tidak dimiliki oleh seorang muslim, karena mengenal bid'ah merupakan bagian dari agama Islam. Oleh karena itu, marilah kita mencari tahu apa sebenarnya defenisi bid'ah tersebut.
Definisi Bid'ah
Bid'ah secara bahasa adalah membuat suatu hal yang belum pernah ada. Seperti firman Allah Ta'ala:
badii'ussamaawaati wal ardhi. Yang artinya: (Allah) pencipta langit dan bumi. (QS. Al-Baqarah 117)
Adapun bid'ah secara syar'i sebagaimana diungkapkan oleh Imam As-Syathiby rahimahullah di dalam kitabnya Al-I'tishom yaitu: "Suatu jalan atau perkara baru yang terdapat di dalam agama yang menyerupai syari'at Islam yang bertujuan untuk berlebih-lebihan dalam ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'aala".
Defenisi ini mencakup segala hal yang dibuat-buat di dalam agama yang tidak mempunyai landasan syar'i. Adapun yang mempunyai landasan syar'i maka tidaklah dinamakan sebagai bid'ah secara syar'i , walaupun secara bahasa bisa dikatakan sebagai bid'ah.
Inilah makna dari perkataan sebagian salaf terhadap beberapa bentuk ibadah "ni'matil bid'atu hadzihi" artinya: ini adalah bid'ah yang baik, seperti perkataan Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu ketika beliau mengumpulkan manusia di masjid untuk shalat malam pada waktu bulan Ramadhan dengan diimami seorang imam, dan beliaupun keluar dan melihat mereka sedang melaksanakan shalat, maka beliaupun berkata: "ni'matil bid'atu hadzihi" artinya ini adalah bid'ah yang baik. Karena shalat tarawih berjama'ah pada bulan Ramadhan ada landasannya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengimami para shahabat pada bulan Ramadhan selama dua atau tiga malam, akan tetapi kemudian beliau meninggalkan hal tersebut karena khawatir hal itu akan diwajibkan atas umatnya sedangkan mereka tidak mampu untuk melaksanakannya.
Hal ini juga karena perbuatan Umar bin Khattab dan para khulafa' ar-raasyidun semuanya adalah merupakan sunnah sebagaimana ditetapkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi dari hadits 'Irbadh bin Sariah yang di dalamnya terdapat sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada para shahabatnya: "karena sesungguhnya siapa di antara kalian yang masih hidup sesudahku, maka dia akan melihat pertentangan yang sangat banyak sekali, maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan juga sunnah para khulafaaur raasyidin al-mahdiyyin". Hadits ini dengan jelas menerangkan bahwa amal perbuatan mereka adalah merupakan sunnah dan bukan merupakan suatu bid'ah.
Pembagian bid'ah kepada bid'ah haqiqiyyah dan bid'ah idhofiyyah.
Adapun yang dimaksud dengan bid'ah haqiqiyyah adalah segala macam bentuk perkara bid'ah yang tidak mempunyai landasan syar'i, baik dalil dari Al-Quran, As-Sunnah ataupun Ijma'.
Contohnya adalah: mengharamkan sesuatu yang halal, berlandaskan kepada sebuah syubhat tanpa adanya 'udzur syar'i, atau tujuan yang benar. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari rahimahullah di dalam kitab shahihnya dari Qais bin Abi Hazim bahwa dia berkata: Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu masuk menemui seorang wanita dari Ahmas yang bernama Zainab, dan dia melihatnya tidak mau berbicara, lantas ia pun berkata: kenapa ia tidak mau bicara? Kemudian mereka pun mengatakan bahwa ia melakukan haji tanpa bicara sedikit pun. Maka kemudian beliaupun (Abu Bakar) berkata: Bicaralah! Sesungguhnya hal ini tidak diperbolehkan, ini adalah merupakan bentuk perbuatan jahiliyah. Maka wanita itu pun bicara dan kemudian berkata: Siapa anda? Abu Bakar berkata: Salah seorang dari kaum Muhajirin.
Dan di antara contoh yang lain adalah membuat suatu ibadah yang tidak pernah diajarkan dan diturunkan oleh Allah Ta'ala, seperti melakukan shalat Dzuhur dengan dua kali ruku' di dalam setiap raka'at, atau shalat Dzuhur tanpa thaharah, atau mengingkari sunnah, atau mengedepankan akal fikiran dari pada dalil-dalil naqli serta menjadikannya sebagai pokok landasan dan menjadikan dalil naqli sebagai cabang.
Adapun bid'ah idhofiyyah, dia memiliki dua sisi: sisi yang masyru', akan tetapi seorang mubtadi' (yang membuat suatu bid'ah) memasukkan kedalam sisi yang masyru' ini suatu perkara yang dia buat sendiri sehingga dia menjadikan sesuatu yang pada dasarnya masyru' menjadi tidak masyru' dengan perbuatannya ini, dan kebanyakan jenis-jenis bid'ah yang tersebar di kalangan masyarakat adalah dari golongan ini.
Contohnya adalah: puasa, dzikir, thaharah menyempurnakan wudhu' dalam kondisi susah sekalipun, serta shalat. Semua ini adalah merupakan bentuk ibadah yang disyari'atkan, akan tetapi jika ada orang yang mengatakan saya ingin puasa dengan berdiri tanpa duduk, atau di bawah matahari tanpa berteduh. Atau di dalam berdzikir ada yang mengatakan kami di dalam berdzikir harus menggunakan posisi dan keadaan tertentu, seperti berdzikir bersama dengan suatu suara. Atau beribadah khusus pada waktu tertentu -sedangkan pengkhususan tersebut tidak pernah dijelaskan oleh syari'at- seperti melazimkan puasa pada nisfu sya'ban.
Dan diantara contoh yang lain adalah bid'ah Maulid Nabi, karena sesungguhnya mencintai Nabi adalah perkara yang wajib hukumnya atas setiap individu muslim, dan tidaklah sempurna keimanan seseorang sampai dia mencintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melebihi dari cintanya kepada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya, bahkan manusia secara keseluruhan, akan tetapi kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah mentaati segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Inilah bentuk dari kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang sebenarnya bukan seperti apa yang dilakukan sebagian manusia dengan memperingati maulid nabi, karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, juga tidak pernah dilakukan oleh para Khalifah ar-Rasyidin, dan juga tidak pernah dilakukan oleh ‘Ulama Ahlussunnah. Akan tetapi bid'ah maulid pertama kali dilakukan oleh orang-orang Fathimiyyun al-'ubaidiyyun yaitu orang-orang syi'ah Rafidhoh, yang asal usul pemikiran mereka adalah dari orang-orang Yahudi yang ingin menghancurkan umat Islam dengan menjauhkan kaum muslimin dari ajaran sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Pembagian bid'ah kepada bid'ah mukaffiroh dan ghoiru mukaffiroh.
Sebagaimana amal sholeh mempunyai tingkatan-tingkatan, begitu juga dengan perbuatan maksiat dan bid'ah juga mempunyai tingkatan-tingkatan tersendiri, diantara perbuatan bid'ah ada yang disebut dengan bid'ah mukaffiroh yaitu semua bid'ah yang dapat menjadikan seseorang keluar dari agama Islam.
Adapun batasan-batasan bid'ah mukaffiroh adalah siapa yang mengingkari suatu perkara yang sudah disepakati oleh kaum muslimin, yang merupakan perkara yang mutawaatir ditinjau dari sisi syar'I, yang diketahui secara pasti dari agama ini. Seperti mengingkari suatu hal yang diwajibkan, atau mewajibkan sesuatu yang tidak wajib, atau menghalalkan sesuatu yang diharamkan dan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan, atau meyakini apa yang tidak pantas bagi Allah ‘Azza wa Jalla begitu juga bagi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam serta Kitab Allah ‘Azza wa Jalla, karena hal tersebut adalah pendustaan terhadap al-Qurân dan apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seperti bid'ahnya kelompok Jahmiyah yang mengingkari adanya sifat-sifat Allah Tabaaraka wa Ta'aala dan mengatakan bahwa al-Qurân adalah makhluk atau mengatakan bahwa semua sifat Allah Subhanahu wa Ta'aala adalah makhluk (Maha Suci Allah Ta'ala dari apa yang mereka katakan).
Akan tetapi perlu kita ingat bahwa walaupun perbuatan bid'ah tersebut adalah mukaffiroh tetapi kita tidak boleh langsung menghukumi pelaku bid'ah tersebut sebagai orang kafir dan tidak semua orang bisa memberikan putusan tersebut, karena untuk menghukumi seseorang menjadi kafir ada syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga dia bisa dihukumi sebagai orang kafir sebagaimana dijelaskan oleh para ulama di dalam kitab-kitab 'aqidah atau kitab-kitab yang lainnya.
Adapun bid'ah ghairu mukaffiroh adalah bid'ah yang tidak sampai menjadikan seseorang kafir dan keluar dari agama Islam.
Adapun batasan dari bid'ah ghairu mukaffiroh ini adalah segala macam bid'ah yang tidak melazimkan pendustaan terhadap Al-Quran atau apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan tetapi bid'ah ini adalah merupakan hasil dari takwil yang mengikuti hawa nafsu.
Bid'ah ghairu mukaffiroh ini bermacam-macam tingkatannya. Imam As-Syathiby rahimahullah di dalam kitabnya Al-I'tishom menyebutkan bahwa bid'ah ditinjau dari segi tingkatannya terbagi kepada: kabaair (besar) dan shaghaair (kecil), dan beliau rahimahullah menyebutkan bahwa batasan untuk menentukan apakah bid'ah tersebut termasuk kedalam kabaair atau shaghaair adalah apabila perbuatan bid'ah tersebut berkaitan dengan agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta maka dia termasuk kedalam golongan kabaair, kalau tidak berkaitan dengan hal tersebut maka dia termasuk kedalam golongan shaghaair.
Saudaraku -semoga Allah Subhanahu wa Ta'aala menunjuki kita semua kepada jalan yang lurus- perbuatan bid'ah -tanpa terkecuali-, apakah itu haqiqiyah atau idhofiyah, mukaffiroh atau ghairu mukaffiroh, kabiiroh atau shaghiroh adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah Ta'ala dan Rasul-Nya. Seorang mubtadi' atau mereka yang mengajak orang untuk melakukan suatu bid'ah atau melindungi dan membela seorang ahli bid'ah, mereka semua sama-sama akan mendapatkan dosa dari apa yang mereka lakukan, karena hal tersebut merupakan bentuk tolong-menolong dalam kemaksiatan. Allah Subhanahu wa Ta'aala telah melarang kita untuk saling tolong-menolong dalam kemaksiatan sebagaimana Allah Tabaaraka wa Ta'aala berfirman di dalam al-Qurân:
"dan Jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan" (QS. Al-Maidah: 2).
Mereka yang membuat suatu perkara bid'ah, maka secara tidak langsung ia telah mengatakan bahwa sesungguhnya agama ini masih kurang dan belum sempurna, dan ini secara tidak lansung adalah merupakan pendustaan terhadap al-Qurân karena Allah Tabaaraka wa Ta'aala telah berfirman:
"pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu". (QS. Al-Maidah: 3)
Atau secara tidak langsung mereka telah mengatakan bahwa syari'at ini sudah sempurna, akan tetapi ada sesuatu yang belum disampaikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan ini adalah merupakan tuduhan atas Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan tuduhan ini pun telah dibantah oleh Ummul Mukminin 'Aisyah Radhiyallahu ‘anhaa ketika beliau berkata kepada salah seorang tabi'in yang bernama Masruq: "barang siapa yang mengira bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyembunyikan sesuatu yang Allah Subhanahu wa Ta'aala turunkan kepadanya, maka sungguh dia sudah membuat suatu kebohongan yang sangat besar terhadap Allah ‘Azza wa Jalla, sedangkan Allah Ta'ala mengatakan:
"Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Rabbmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya". (QS. Al-Maidah 67).
Ibnu Majisyun rahimahullah berkata :"Aku mendengar Imam Malik rahimahullah berkata: "barang siapa yang membuat suatu perkara bid'ah di dalam agama Islam karena dia menganggapnya suatu perkara yang baik, maka sungguh dia telah menganggap bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengkhianati risalah (yang Allah amanatkan kepadanya) karena Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:
"pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu". (QS. Al-Maidah: 3). Maka apa yang tidak termasuk agama pada hari itu maka pada hari ini pun tidaklah merupakan agama.
Saudaraku, -semoga Allah Ta'ala memberikan rahmat kepada kita semua- mudah-mudahan pembahasan singkat ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi kaum muslimin pada umumnya. Wallaahu a'lamu, Wa shallallaahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Sumber : DarEl Iman
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment