JERAT-JERAT SYAITHON
Tidaklah Allah subhanahu wata’ala menciptakan manusia dan seluruh makhluk-Nya dengan sia-sia dan tanpa ada tujuan. Dan tujuan Allah subhanahu wata’ala menciptakan manusia adalah untuk beribadah dengan mentauhidkan-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya (artinya): “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56)
Tidaklah kehidupan ini akan berhenti pada apa yang kita lihat di dunia. Kehidupan dunia ini hanya sekedar batu loncatan dan sebagai perantara menuju kehidupan abadi. Masing-masing kita pasti akan kembali kepada-Nya dan mempertanggungjawabkan amalan di hari akhir nanti. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya kepada Kamilah mereka kembali. Dan sungguh Kamilah yang akan menghisab mereka.” (Al Ghasyiyah: 25-26)
Para pembaca, Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam sebuah ayat-Nya (artinya): “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan saja mengatakan: ‘Kami telah beriman’ sedang mereka tidak diuji?” (Al Ankabut: 1-2)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wata’ala mengabarkan bahwa manusia pasti dan pasti akan diuji setelah dia menyatakan keimanannya. Mengapa Allah subhanahu wata’ala menguji kita? Apa hikmah di balik ujian Allah subhanahu wata’ala tersebut? Jawabannya adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala (artinya):
“Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui mana orang-orang yang jujur dan mana orang-orang yang berdusta.” (Al Ankabut: 3)
Semua ini akan kita saksikan di hari pembalasan, di mana akan ditampakkan oleh Allah subhanahu wata’ala segala bentuk rahasia yang tidak ada seorangpun dapat mengelak pada hari itu. Di saat itu Allah subhanahu wata’ala berkata kepada sekalian manusia (artinya): “Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu secara main-main saja, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al Mu’minun: 115)
Di hari yang dahsyat itu, semua akan lepas dan pergi meninggalkan kita. Tidaklah seseorang akan memikirkan sesuatu kecuali hanya dirinya sendiri. Seorang ayah dan ibu akan lari meninggalkan sanak keluarganya, bahkan anaknya sekalipun tidak lagi mempedulikan orang tuanya. Mungkin ketika di dunia jika ada yang mengganggu mereka dengan kekuatan sebesar apapun, akan dibela dan dipertahankan kehormatannya sampai titik darah penghabisan. Tetapi di akhirat, mereka akan lupa semua itu. Allah subhanahu wata’ala menggambarkan semua itu dalam ayat-Nya yang suci (artinya):
“Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua). Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang pada hari itu mempunyai urusan yang sangat menyibukkan.” (‘Abasa: 33-37)
Lalu di hari yang mengerikan itu, masing-masing akan ditanya oleh Allah subhanahu wata’ala tentang segala sesuatu yang telah diperbuat. Umurnya, untuk apa dihabiskan. Masa mudanya, untuk apa dipergunakan. Hartanya, dari mana diperoleh dan untuk apa digunakan. Serta ilmunya, untuk apa diamalkan.
Wahai saudaraku ini adalah suatu kepastian yang mesti akan terjadi. Supaya kita mengintrospeksi diri dan mulai mengevaluasi segala sesuatu yang telah dijalani selama ini. Sehingga ke depan, kita memiliki rambu-rambu dan isyarat yang dengannya dapat melangkah dengan tepat menuju ridha Allah subhanahu wata’ala.
Saudaraku yang semoga selalu dilindungi Allah subhanahu wata’ala. Dengan penuh hikmah, Allah subhanahu wata’ala menciptakan bagi manusia dua musuh besar, yang mengharuskan kita untuk mengenali dan mempelajari siapa kedua musuh tersebut. Bagaimana kekuatannya dan bagaimana pula makar jahatnya. Kalau tidak, maka kita akan hancur dipecundangi mereka. Salah satu musuh bebuyutan tersebut adalah hawa nafsu yang bercokol dalam tubuh kita. Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya): “Sesungguhnya hawa nafsu itu selalu menyuruh kepada kejelekan, kecuali hawa nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (Yusuf: 53)
Itulah hawa nafsu yang selalu, selalu, dan selalu memerintah dan mengajak kepada yang jelek. Dan musuh yang pertama ini sangat berbahaya bagi makhluk yang bernama manusia. Tidaklah dia dapat dikalahkan kecuali dari sekarang kita berniat dan berbuat untuk melawannya tanpa menunda-nunda.
Saudaraku seiman, musuh bebuyutan kedua yang tidak kalah dahsyatnya adalah Syaithan. Allah subhanahu wata’ala gambarkan tentangnya di dalam Al Qur’an (artinya):
“Sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata bagimu, maka jadikanlah ia sebagai musuh. Karena sesungguhnya syaithan-syaithan itu hanya mengajak golongannya agar meraka menjadi penghuni neraka yang menyala-menyala.” (Faathir: 6)
Coba perhatikan, dalam ayat ini, Allah subhanahu wata’ala memerintahkan untuk memposisikan dia sebagai musuh terdepan, sehingga kita dapat mempelajari bagaimana gerak-gerik, kekuatan, serta makar-makarnya, yang dengan itu kita bisa mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapinya. Lalu, dari mana kita mendapatkan ilmu menghadapi musuh yang satu ini? Maka tidak lain hanya Al Qur’an dan As Sunnah saja senjata terkuat untuk menghadapinya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Kitab Al Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (Al Baqarah: 2)
Dan musuh yang satu ini tidak main-main, bahkan ia telah berhasil mengeluarkan ayah kita Adam beserta istrinya dari al jannah (surga). Seorang Nabi saja telah berhasil terkena bujukan dan rayuannya, apalagi orang yang bukan nabi. Dan ia pun telah bersumpah setelah Allah melaknatnya: (artinya) “…Dan syaithan telah menyatakan: ’Sungguh benar-benar aku akan mengambil dari hamba Engkau bagian yang telah ditentukan (untukku). Dan benar-benar aku akan menyesatkan mereka, dan membangkitkan angan-angan kosong kepada mereka.” (An Nisaa’: 118-119)
Kalau ada seseorang memiliki rumah yang bagus, maka ia akan mempelajari bagaimana teknis. Sehingga rumahnya dipagari dengan rapi dan kuat. Melindungi diri dan keluarganya kemudian hartanya dari para pencuri. Padahal, kalaupun hartanya dicuri, mungkin yang hilang hanya beberapa rupiah saja, yang semua itu tidaklah sebanding jika iman yang hilang darinya.
Allah subhanahu wata’ala mengenalkan kepada kita tentang siapa sebenarnya makhluk terlaknat yang kita diperintahkan untuk menjadikannya sebagai musuh utama. Dalam ayat lain Allah subhanahu wata’ala mengkhabarkan lagi tentang iblis ketika ia meminta kepada Allah: (artinya) “Ya Allah, tundalah kematianku sampai hari kebangkitan.” (Al A’raf: 14)
Untuk apa iblis meminta kepada Allah subhanahu wata’ala untuk ditunda kematiannya? Tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka memimpin pasukan dan bala tentaranya untuk menyesatkan manusia dari jalan yang benar. Subhanallah, kepada siapakah iblis memohon permintaannya? Apakah ia meminta kepada Jibril? Tidak!!! Ia meminta kepada Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Pemberi, karena ia tahu bahwa Jibril bahkan seluruh malaikat dan makhluk yang lainnya tidak mampu menunda kematiannya.
Iblis bukanlah makhluq yang tidak mengenal Allah subhanahu wata’ala, atau tidak yakin akan keberadaan Allah subhanahu wata’ala, bahkan ia meminta dan memohon langsung kepada Allah subhanahu wata’ala. Tetapi mengapa iblis menjadi kafir dan dilaknat oleh Allah Yang Maha Pengampun? Yang menyebabkan ia menjadi makhluk terlaknat dan dinyatakan kafir bahkan pimpinan orang-orang kafir adalah karena sifat sombong dan takabbur yang ada padanya, sehingga karenanya ia tidak taat kepada perintah Allah dan cenderung mengikuti hawa nafsunya.
Lalu, bagaimana cara iblis menghalangi Bani Adam masuk ke rel Shirotol Mustaqim (jalan yang lurus)? Apakah dengan dibunuh satu persatu? Atau …. Bagaimana??? Tidak! Kalau caranya seperti itu iblis merasa rugi, karena ia akan kehilangan teman, sebelum berhasil membujuk mereka untuk tinggal bersamanya di Jahannam. Tetapi iblis menyatakan:
“Kemudian aku akan mendatangi mereka dari arah depan dan belakang mereka, dan dari arah kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (Al A’raf: 16)
Iblis akan selalu menggambarkan di benak manusia seolah-olah ada layar yang selalu ditampakkan oleh iblis berupa kegagalan, kehancuran, dan kemiskinan ketika ia akan menjalankan perintah Allah subhanahu wata’ala di dunia.
Dan di antara manuver jahatnya, dia menebarkan syubhat (kerancuan) dalam perkara agama di mata bani adam, sehingga seseorang akan menganggap yang haq adalah batil dan yang batil adalah haq, yang halal adalah haram dan sebaliknya yang haram adalah halal, yang salah adalah sesuatu yang baik dan benar, dan sebaliknya yang benar akan digambarkan adalah sebuah perkara yang batil. Inilah sifat yang Allah subhanahu wata’ala gambarkan dalam Al Qur’an (artinya):
“Katakanlah: ‘apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Al Kahfi: 103-104)
Masing-masing syaithan memiliki data tentang keadaan dan kelemahan seseorang, sehingga ia akan mengkhabarkan dan memberikan informasi kepada yang lainnya tentang kelemahannya, agar mereka dapat dengan mudah mendatanginya dari arah tersebut. Jika kelemahannya tersebut ada pada keluarganya, maka mereka akan menggoda dan mengganggu melalui keluarganya. Oleh karena itu, masing-masing harus mengetahui kondisi dirinya dan kelemahan yang ada padanya agar dapat mempersiapkan diri dari serangan-serangan syaithan yang akan menjerumuskan kita kearah kebinasaan dengan mempelajari ilmu agama sejak dini.
Saudaraku yang mulia, kalau kita ingin bertempur, maka kita harus tahu dimana letak kekuatan lawan, apakah pada kekuatan darat, laut ataukah udaranya. Kalau kekuatannya tersebut ada pada pasukan udara, maka kita harus bersiap-siap mengahadapinya dari arah udara. Seandainya kita tidak tahu bagaimana kekuatan musuh, maka kita akan habis dilalap oleh pasukan musuh tersebut. Allah subhanahu wata’ala telah menyebutkan bagaimana kekuatan dan makar-makar syaithan. Tinggal, maukah kita mempelajari dan mengenal kekuatan lawan kita ini?
Dan diantara manuvernya, ia akan mendatangi manusia dari pintu syahwat dengan mengajak agar dia cenderung melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shalallahu alaihi wasallam. Jika datang seseorang menasihatinya dari perbuatan yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan menjawab: “Wah sulit, yang haram saja sulit apalagi yang halal”. “Yang Jujur hancur.” Lihat saudaraku, syaithan telah berhasil masuk ke pintu syahwatnya. Dia telah memenuhi permintaan kekasihnya untuk melakukan ini dan itu dengan jalan yang tidak Allah subhanahu wata’ala halalkan.
Terkadang pula kita membiarkan bahkan mengajarkan anak dan keluarga kita untuk meniru gaya dan cara hidup orang-orang kafir. Jangan coba-coba menyalahkan anak dan keluarga kita kalau akhlak mereka menjadi tidak baik, karena didikan yang diberikan tanpa sedikitpun tersentuh dengan nilai-nilai Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Mereka hanya tahu dengan nama-nama bintang film, tetapi ketika mereka ditanya siapa Umar Bin Khathab, mereka hanya tercengang dan bengong karena tidak tahu siapa beliau. Sejak kecil mereka dicekoki dengan nyanyian dan tari-tarian. Sehingga jangan salahkan, jika setelah besar mereka kosong dari akhlak yang mulia. Seorang penyair berkata:
“Jika bergaul dengan suatu kaum pilihlah yang terbaik
Hindarilah yang hina karena kehinaannya membuatmu hina”
Wahai saudaraku….masih ada waktu untuk mulai berbenah diri dan kembali kepada Allah subhanahu wata’ala. Karena sesungguhnya Dia adalah Rabb Yang Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya, jauh melebihi sayangnya seorang ibu terhadap anaknya.
Tidak ada ungkapan yang lebih pantas diberikan kecuali dengan mengingatkan sebuah sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam:
“Hendaklah kalian saling memberikan hadiah, niscaya kalian akan saling menyayangi.” (HR. Malik dalam Al Muwaththa’, no. 1731)
Sebaik-baik hadiah yang diberikan seseorang kepada saudara seagamanya adalah nasihat yang menjadi bekal baginya di dunia dan simpanan di akhirat kelak. Semoga Allah subhanahu wata’ala selalu memberi taufiq-Nya kepada kita agar selalu di atas kebaikan dan dihindarkan dari segala kejahatan. Amin.
Wednesday, September 16, 2009
Wednesday, August 26, 2009
Beginilah seharusnya seorang muslim dibulan Ramadhan
Beginilah seharusnya seorang muslim dibulan Ramadhan
Oleh : Abu Salma al-Atsari
Kaum Muslimin yang berbahagia, tamu yang agung telah datang mengunjungi kita, dia datang hanya sekali dalam setahun, dia senantiasa ditunggu-tunggu oleh hamba-hamba-Nya yang mukmin, yang kedatangannya akan menenangkan jiwa-jiwa manusia, yang kedatangannya akan membawa berkah dari Rabb semesta alam, dan kedatangannya penuh dengan kemuliaan dan keutamaan. Anda semua telah mengenalnya wahai kaum muslimin yang berbahagia, dia tiada lain dan tiada bukan adalah bulan Ramadhan.
Dialah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, bulan yang syaithan-syaithan dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup dan pintu-pintu surga dibuka, serta dialah bulan yang di dalamnya terdapat Lailatul Qodar, yang apabila seorang hamba beribadah di malam itu lebih baik dari seribu bulan. Segala puji bagi Alloh yang telah mengizinkan kita semua bersua dengan bulan ini.
Wahai kaum muslimin, marilah kita jadikan bulan ramadhan kita ini sebagai bulan terakhir kita, seakan-akan kita tidak akan menjumpainya lagi tahun depan. Marilah kita isi bulan ini dengan amalan-amalan yang berguna, karena Nabi yang mulia ‘alaihi Sholatu wa Salam telah bersabda :
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ (صحيح, رواه أحمد وابن ماجه و الدارمي والبيهقي عن سعيد المقبري عن أبي هريرة)
“Berapa banyak orang yang berpuasa namun hanya mendapatkan rasa haus dan lapar belaka.” (Shohih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Darimi dan Al-Baihaqi dari Abu Sa’id Al-Maqburi dari Abu Hurairoh).
Sungguh benar sabda nabi di atas karena beginilah mayoritas kaum muslimin saat ini, yang perutnya berpuasa dari makan dan minum, namun matanya, telinganya, lisannya dan hatinya tidak turut berpuasa. Mereka masih gemar berkata kotor, berdusta, mencaci maki, memandang yang haram, mendengarkan yang haram dan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya.
Wahai kaum muslimin yang berbahagia, sungguh indah ucapan Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqolani rahimahullahu yang berkata di dalam Fathul Bari (I/31) : “Bulan ramadhan adalah musim kebajikan, dikarenakan nikmat Alloh atas hamba-hambanya di bulan ini berlipat ganda dibanding bulan-bulan lainnya.” Oleh karena itu wahai kaum muslimin, beginilah seharusnya seorang mukmin itu di dalam bulan ramadhan :
Pertama, Berpuasa.
Ini merupakan kewajiban dan termasuk bagian rukun Islam. Makna berpuasa adalah menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkannya mulai dari waktu terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari.
Wahai hamba Alloh, sungguh besar sekali ganjaran orang yang melakukan puasa, sebagaimana dalam sabda nabi :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَبًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبْهِ (متّفق عليه)
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala maka niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ‘alaihi).
Di dalam hadits-hadits lainnya yang shohih, sangat besar sekali keutamaan orang yang berpuasa, diantaranya adalah :
1. puasa itu adalah perisai
2. Puasa dapat memasukkan seorang hamba ke dalam surga
3. Orang yang berpuasa akan diberi pahala yang tak terhitung
4. Orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan yaitu gembira ketika berbuka dan gembira ketika bertemu Alloh
5. Bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi dari kesturi
6. Puasa akan memberikan syafa’at bagi pelakunya
7. Puasa dapat menjadi penebus segala dosa-dosanya, dan
8. Bagi orang yang berpuasa dijanjikan masuk surga melalui pintu yang bernama ar-Royyan. Maha suci Alloh yang telah menjadikan kita sebagai orang-orang yang berpuasa.
Kedua, Qiyamul lail (Sholat Tarawih berjama’ah).
Termasuk sunnah Nabi yang mulia adalah melaksanakan sholat tarawih berjama’ah, menghidupkan malam-malam ramadhan bersama-sama kaum muslimin lainnya, sehingga dapat lebih mengikat tali persaudaraan dan silaturrahim, membuahkan rasa cinta dan itsar (memiliki kepedulian) terhadap saudara muslim sehingga dapat menyuburkan benih-benih persatuan Islam.
Rasulullah Shollollohu ‘alaihi wa Salam bersabda :
مَنْ قََََامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَبًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (متّفق عليه)
“Barangsiapa sholat malam pada bulan ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala maka niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ‘alaihi).
Ketiga, Memperbanyak sedekah.
Sesungguhnya Nabi yang mulia ‘alaihi sholatu wa salam adalah orang yang paling gemar bersedekah terutama di bulan ramadhan. Demikian pula para sahabat beliau dan para salaful ummah.
Keempat, Memberi makan untuk berbuka bagi orang yang berpuasa.
Nabi Shollollohu ‘alaihi wa Salam sangat menganjurkan untuk memberi makan kepada orang yang berpuasa, karena yang demikian ini mengandung pahala yang besar dan kebaikan yang berlimpah. Rasulullah Shollollohu ‘alaihi wa Salam bersabda :
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَائِمِ شَيْئًا (رواه أحمد و الترمذي)
“Barangsiapa memberi makan kepada orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti yang diperoleh orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun.” (HR Ahmad dan Turmudzi)
Kelima, Membaca Al-Qur’an
Bulan Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an, di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagaimana dalam firman Alloh Ta’ala :
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ القُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الهُدَى وَالفُرْقَان
“Bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil).” (QS Al-Baqoroh : 185)
Bahkan Jibril ‘alahi Salam setiap malam datang mengajarkan Al-Qur’an kepada Nabi. Sungguh, Al-Qur’an akan menjadi pemberi syafa’at pada hari kiamat bagi para pembacanya, sebagaimana sabda Nabi Shollollohu ‘alaihi wa Salam :
اِقْرَأُوا القُرْآنَ فََإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ القِيَامَةِ شَفِيْعًا لأَصْحَابِهِ (رواه مسلم عن أبي أمامة)
“Bacalah Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at bagi pembacanya.” (HR Muslim dari Abu Umamah)
Keenam, Umroh
Umroh pada bulan Ramadhan sangat besar sekali keutamaanya, sebagaimana sabda Nabi yang mulia alaihi Sholatu wa Salam :
عُمْرَةُ فِيْ رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً مَعِيْ (متفق عليه)
“Berumroh pada bulan Ramadhan sepadan dengan haji bersamaku” (Muttafaq ‘alaihi) baik pada awal maupun pertengahan Ramadhan. Tidak ada pengkhususan tentang lebih utamanya sepuluh hari akhir di dalam berumroh. Maka hendaknya hal ini diperhatikan.
Ketujuh, Mencari malam Lailatul Qodar.
Sesungguhnya beribadah pada malam Lailatul Qodar pahalanya sama dengan beribadah selama seribu bulan. Maka hendaknya seorang muslim harus bersegera menyingsingkan lengan bajunya untuk menyambut malam yang penuh berkah ini. Karena Nabi yang mulia ‘alaihi Sholatu wa Salam bersabda :
مَنْ قََََامَ لَيْلَةَ القَدَرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَبًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبْهِ (متّفق عليه)
“Barangsiapa sholat pada malam Lailatul Qodar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala maka niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ‘alaihi) Yaitu pada malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir.
Wahai hamba Alloh apabila seorang hamba beribadah pada malam Lailatul Qodar, maka hendaknya dia mengucapkan :
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌ تُحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي (رواه الترمذي وابن ماجه)
“Ya Alloh sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan Mencintai Ma’af maka berikanlah Ma’af padaku” (HR Turmudzi dan Ibnu Majah)
Kedelapan, I’tikaf.
I’tikaf merupakan ibadah kholwat (menyendiri) dengan Alloh, menyibukkan diri hanya kepada Alloh dan memutuskan diri dari hiruk pikuk duniawi. Setiap keinginan dan detak hatinya hanya tertuju kepada Alloh dan segala kesibukannya hanyalah untuk Alloh semata. Rasulullah Shollollohu ‘alaihi wa Salam tidak pernah meninggalkan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan, bahkan pada tahun dimana beliau wafat, beliau melakukan I’tikaf selama dua puluh hari.
Wahai hamba Alloh, perhatikanlah tauladan kita Rasulullah dan para sahabatnya. Tatkala di penghujung bulan Ramadhan mayoritas masyarakat muslim bersibuk ria dengan pakaian, makanan dan urusan duniawi dalam rangka menyambut Iedul Fitri, namun tauladan dan kecintaan kita beri’tikaf di Masjid, lebih berkonsentrasi di dalam beribadah kepada Alloh, melepaskan urusan duniawinya dan lebih menyibukkan diri dengan ketaatan kepada Alloh. Maha Besar Alloh, padahal beliau adalah orang yang telah dijanjikan surga oleh Alloh, dan segala dosanya yang telah lalu dan akan datang diampuni oleh Allah Al-Ghofur, namun keteladanan beliau benar-benar menunjukkan akhlak yang agung, yang tiada tandingan dan bandingannya. Subhanalloh.
Beberapa kesalahan dan bid’ah pada Bulan Ramadhan.
Wahai hamba Alloh, teladan kita adalah Rasulullah Muhammad Shollollohu ‘alaihi wa Salam dan tiada seorangpun yang lebih layak kita teladani melainkan hanya beliau. Oleh karena itu, segala amalan yang tidak dituntunkan oleh beliau dan diajarkan beliau, maka perkara tersebut adalah tertolak dan wajib kita hindari.
Diantara kesalahan-kesalahan tersebut adalah :
· Mempercepat waktu sahur dan memperlambat berbuka puasa.
· Menahan diri dari makan dan minum selama beberapa saat sebelum datang waktu subuh yang mereka sebut sebagai waktu imsak.
· Memuntahkan makanan dan minuman dari mulut ketika terdengar adzan.
· Melafazhkan atau mengucapkan niat berpuasa.
· Mempercepat sholat tarawih dan tidak adanya thuma’ninah di saat sholat tarawih.
· Membaca sholawat ataupun ucapan selainnya semisal, Shollu sunnata tarawih rak’ataini jami’aa rahimakumullahu!!! atau selainnya setiap jeda sholat tarawih. Yang demikian ini tidak ada sunnahnya dari nabi dan termasuk bid’ah yang jelek di dalam agama.
· Mengkhususkan sholat tasbih di bulan Ramadhan.
· Membaca do’a secara berjama’ah setiap setelah sholat tarawih.
· Menentukan surat-surat tertentu pada tiap-tiap roka’at sholat tarawih.
· Beranggapan bahwa memotong kuku, membersihkan telinga atau keramas pada siang hari membatalkan puasa.
Dan selainnya yang tidak pernah dituntunkan oleh Nabi yang mulia Shollollohu ‘alaihi wa Salam.
Demikianlah secuil pembahasan mengenai bagaimana seharusnya seorang muslim di bulan Ramadhan. semoga yang sederhana ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua, dan semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan kita kesehatan dan kekuatan sehingga kita mampu melaksanakan apa yang diperintahkan Alloh dan Rasul-Nya, dan semoga Alloh masih memberi kita kesempatan untuk bertemu bulan Ramadhan berikutnya. Semoga segala amalan kita diterima oleh Alloh Azza wa Jalla dan segala dosa kita diampuni. Amin Ya Robbal Alamin.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Oleh : al-Ustadz Abu Nu’aim al-Atsari rohimahulloh
“SAHUR ! SAHUR !, BANGUN ! BANGUN ! WAKTU MENUNJUKKAN PUKUL 3.00 ! BANGUN ! SAHUR !, WAKTU IMSAK KURANG SEPULUH MENIT !!”
Fenomena ini merupakan pemandangan yang biasa kita temui pada bulan Romadlon. Karena memang, sebagian kaum muslimin masih mengakrabi yang satu ini, Imsak merupakan batas akhir waktu sahur. Ditandai dengan bunyi sirine atau sholawatan dan lainnya.
Nah, masalahnya, apakah Islam mensyari’atkannya. Bila tidak, mengapa kaum muslimin banyak yang mengamalkannya? Untuk itu, mari kita cermati dalil-dalil berikut ; Allah azza wa jalla berfirman :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam yaitu fajr, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. Al Baqoroh 187
Ayat yang mulia ini memberi petunjuk kepada kita bahwa batas akhir sahur adalah fajar (subuh). Hal ini diperjelas dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori (1916) dan Muslim (1090) dari sahabat Adi bin Hatim radhiyallahu anhu. Beliau berkata : “Ketika turun ayat tersebut, aku ikatkan tali warna hitam dan putih, lalu kuletakkan di bawah bantal. Mulailah aku melihatnya. Namun tidak jelas bagiku antara yang hitam dan yang putih. Pagi hari aku menemui Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam dan kuceritakan apa yang kualami. Beliau bersabda :”Maksud (hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam) adalah gelapnya malam dan merekahnya siang (fajr).”
Bila masih ada yang sangsi, dengan mengatakan : “bukankah fajr ada dua, fajr kadzib (dusta) dan shodiq (benar)” Kita jawab : “Bukankah hadits diatas sudah sangat jelas. Bahwa yang dimaksud adalah subuh”. Untuk lebih yakin perhatikan hadits berikut ; Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
الفجر فجران : فأما الأول فإنه لا يحرم الطعام ، ولا يحل الصلاة ، وأما الثاني فإنه يحرم الطعام ، ويحل الصلاة
Fajr ada dua : Fajr yang pertama tidak mengharamkan makan dan tidak membolehkan sholat (subuh), fajr kedua mengharamkan makan dan membolehkan sholat (subuh). (hadits shohih riwayat Ibnu Khuzaimah 3/261, Hakim 1/191 dan Daruquthni)
Aisyah berkata :
أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Bahwasanya Bilal melantunkan adzan di waktu malam, maka Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum adzan, sesungguhnya dia tidak akan adzan hingga terbit fajr. (Bukhori 1919)
وَكَانَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ رَجُلًا أَعْمَى لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَقُولَ لَهُ النَّاسُ أَصْبَحْتَ
Ibnu Ummi Maktum adalah laki-laki buta, dia tidak melantunkan adzan sehingga manusia mengatakan kepadanya : “engkau telah menemui subuh”. (Bukhori).
Jelas kiranya, bahwa yang dimaksud fajr disini adalah subuh. Dengan demikian batas akhir sahur adalah waktu subuh. Bukan imsak yang banyak digandrungi orang. Bahkan sekalipun subuh telah tiba dan makanan masih dihadapan, diperbolehkan untuk meneruskan, simak hadits berikut :
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
Jika salah seorang dari kalian mendengar adzan (subuh), sedangkan piring masih berada di tangan maka jangan meletakkannya hingga menyelesaikannya. (Ahmad. Abu Dawud, Al Hakim, dan dia shohihkan disetujui Ad Dzahabi)
Syaikh Albani berkata :”Hadits ini merupakan dalil bahwa orang yang menemui fajr (terbit) sedangkan piring atau gelas masih berada di tanganya maka boleh baginya menghabiskan apa yang ada di dalamnya. Hadits ini merupakan pengecualian dari ayat diatas tadi, Dan ayat tersebut tidak bertentangan dengan beberapa hadits dan hadits ini (hadits terakhir), dan tidak juga dengan ijma’. Bahkan sekelompok sahabat dan selainnya berpendapat bolehnya sahur melebihi batas yang disebutkan oleh hadits tsb. Dan diantara faedah hadits ini adalah pembatalan bid’ah imsak sebelum fajr sekitar seperempat jam, mereka berbuat seperti itu hanyalah lantaran takut datangnya adzan subuh sedangkan mereka masih makan sahur. Apabila mereka mengetahui keringanan ini tidaklah akan terjatuh ke dalam bid’ah ini (imsak)!!
Al Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari 4/199 : “Termasuk bid’ah munkaroh yang diada-adakan orang pada zaman ini adalah dikumandangkannya adzan subuh sekitar seperempat jam sebelumnya di bulan Romadlon dan dimatikannya lampu-lampu sebagai tanda dilarangnya makan dan minum bagi yang ingin berpuasa, dengan sangkaan apa yang diadakan tadi sebagai langkah hati-hati dalam beribadah dan tidak ada yang mengetahui hal itu kecuali segelintir orang. Hal ini terus berlangsung, sampai-sampai mereka tidak melantunkan adzan maghrib kecuali setelah lewat beberapa menit, untuk meyakinkan bahwa telah masuk waktu maghrib, itu sangkaannya. Mereka menunda berbuka dan menyegerakan sahur, karena itu mereka menyelisihi sunnah dan kebaikan sangat jarang mereka dapatkan malah kejelekan yang menimpa.”
***
Sumber : Buletin Al Furqon Edisi 2 Th 1 1422 H, Halaman 16
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pembahasan lengkap bisa juga didapatkan pada Kitab/buku diantarnya sbb :
1). Kitab "Shifati shaumi An-Nabi Shallallahu 'alahi wa sallam fi Ramadhan".
Atau dalam edisi bahasa indonesia buku : "Puasa bersama Nabi Shallallahu 'alahi wa sallam"
Penerbit : Darus Sunnah Press
oleh Syaikh Salim bin Id Al-Hilali & Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Hafidzhahumullaah.
2). Kitab "Shahih Fiqh as-Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhih Madzahib al-A'immah".
atau dalam edisi bahasa indonesi buku : "Shahih Fiqih Sunnah, jilid 2".
oleh : Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim Hafidzhahullaah.
Di Ta'liq oleh : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani , Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, & Syaikh Muhammad bin shalih Al-Utsaimin Rahimahumullaah.
Penerbit : Pustaka at-Tazkia
dan kitab-kitab para 'Ulama lainnya. Semoga bermanfaat.
Baarakallaahu fiikum.
Oleh : Abu Salma al-Atsari
Kaum Muslimin yang berbahagia, tamu yang agung telah datang mengunjungi kita, dia datang hanya sekali dalam setahun, dia senantiasa ditunggu-tunggu oleh hamba-hamba-Nya yang mukmin, yang kedatangannya akan menenangkan jiwa-jiwa manusia, yang kedatangannya akan membawa berkah dari Rabb semesta alam, dan kedatangannya penuh dengan kemuliaan dan keutamaan. Anda semua telah mengenalnya wahai kaum muslimin yang berbahagia, dia tiada lain dan tiada bukan adalah bulan Ramadhan.
Dialah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, bulan yang syaithan-syaithan dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup dan pintu-pintu surga dibuka, serta dialah bulan yang di dalamnya terdapat Lailatul Qodar, yang apabila seorang hamba beribadah di malam itu lebih baik dari seribu bulan. Segala puji bagi Alloh yang telah mengizinkan kita semua bersua dengan bulan ini.
Wahai kaum muslimin, marilah kita jadikan bulan ramadhan kita ini sebagai bulan terakhir kita, seakan-akan kita tidak akan menjumpainya lagi tahun depan. Marilah kita isi bulan ini dengan amalan-amalan yang berguna, karena Nabi yang mulia ‘alaihi Sholatu wa Salam telah bersabda :
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ (صحيح, رواه أحمد وابن ماجه و الدارمي والبيهقي عن سعيد المقبري عن أبي هريرة)
“Berapa banyak orang yang berpuasa namun hanya mendapatkan rasa haus dan lapar belaka.” (Shohih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Darimi dan Al-Baihaqi dari Abu Sa’id Al-Maqburi dari Abu Hurairoh).
Sungguh benar sabda nabi di atas karena beginilah mayoritas kaum muslimin saat ini, yang perutnya berpuasa dari makan dan minum, namun matanya, telinganya, lisannya dan hatinya tidak turut berpuasa. Mereka masih gemar berkata kotor, berdusta, mencaci maki, memandang yang haram, mendengarkan yang haram dan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya.
Wahai kaum muslimin yang berbahagia, sungguh indah ucapan Al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqolani rahimahullahu yang berkata di dalam Fathul Bari (I/31) : “Bulan ramadhan adalah musim kebajikan, dikarenakan nikmat Alloh atas hamba-hambanya di bulan ini berlipat ganda dibanding bulan-bulan lainnya.” Oleh karena itu wahai kaum muslimin, beginilah seharusnya seorang mukmin itu di dalam bulan ramadhan :
Pertama, Berpuasa.
Ini merupakan kewajiban dan termasuk bagian rukun Islam. Makna berpuasa adalah menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkannya mulai dari waktu terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari.
Wahai hamba Alloh, sungguh besar sekali ganjaran orang yang melakukan puasa, sebagaimana dalam sabda nabi :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَبًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبْهِ (متّفق عليه)
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala maka niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ‘alaihi).
Di dalam hadits-hadits lainnya yang shohih, sangat besar sekali keutamaan orang yang berpuasa, diantaranya adalah :
1. puasa itu adalah perisai
2. Puasa dapat memasukkan seorang hamba ke dalam surga
3. Orang yang berpuasa akan diberi pahala yang tak terhitung
4. Orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan yaitu gembira ketika berbuka dan gembira ketika bertemu Alloh
5. Bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi dari kesturi
6. Puasa akan memberikan syafa’at bagi pelakunya
7. Puasa dapat menjadi penebus segala dosa-dosanya, dan
8. Bagi orang yang berpuasa dijanjikan masuk surga melalui pintu yang bernama ar-Royyan. Maha suci Alloh yang telah menjadikan kita sebagai orang-orang yang berpuasa.
Kedua, Qiyamul lail (Sholat Tarawih berjama’ah).
Termasuk sunnah Nabi yang mulia adalah melaksanakan sholat tarawih berjama’ah, menghidupkan malam-malam ramadhan bersama-sama kaum muslimin lainnya, sehingga dapat lebih mengikat tali persaudaraan dan silaturrahim, membuahkan rasa cinta dan itsar (memiliki kepedulian) terhadap saudara muslim sehingga dapat menyuburkan benih-benih persatuan Islam.
Rasulullah Shollollohu ‘alaihi wa Salam bersabda :
مَنْ قََََامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَبًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (متّفق عليه)
“Barangsiapa sholat malam pada bulan ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala maka niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ‘alaihi).
Ketiga, Memperbanyak sedekah.
Sesungguhnya Nabi yang mulia ‘alaihi sholatu wa salam adalah orang yang paling gemar bersedekah terutama di bulan ramadhan. Demikian pula para sahabat beliau dan para salaful ummah.
Keempat, Memberi makan untuk berbuka bagi orang yang berpuasa.
Nabi Shollollohu ‘alaihi wa Salam sangat menganjurkan untuk memberi makan kepada orang yang berpuasa, karena yang demikian ini mengandung pahala yang besar dan kebaikan yang berlimpah. Rasulullah Shollollohu ‘alaihi wa Salam bersabda :
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَائِمِ شَيْئًا (رواه أحمد و الترمذي)
“Barangsiapa memberi makan kepada orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti yang diperoleh orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun.” (HR Ahmad dan Turmudzi)
Kelima, Membaca Al-Qur’an
Bulan Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an, di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagaimana dalam firman Alloh Ta’ala :
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ القُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الهُدَى وَالفُرْقَان
“Bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil).” (QS Al-Baqoroh : 185)
Bahkan Jibril ‘alahi Salam setiap malam datang mengajarkan Al-Qur’an kepada Nabi. Sungguh, Al-Qur’an akan menjadi pemberi syafa’at pada hari kiamat bagi para pembacanya, sebagaimana sabda Nabi Shollollohu ‘alaihi wa Salam :
اِقْرَأُوا القُرْآنَ فََإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ القِيَامَةِ شَفِيْعًا لأَصْحَابِهِ (رواه مسلم عن أبي أمامة)
“Bacalah Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at bagi pembacanya.” (HR Muslim dari Abu Umamah)
Keenam, Umroh
Umroh pada bulan Ramadhan sangat besar sekali keutamaanya, sebagaimana sabda Nabi yang mulia alaihi Sholatu wa Salam :
عُمْرَةُ فِيْ رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً مَعِيْ (متفق عليه)
“Berumroh pada bulan Ramadhan sepadan dengan haji bersamaku” (Muttafaq ‘alaihi) baik pada awal maupun pertengahan Ramadhan. Tidak ada pengkhususan tentang lebih utamanya sepuluh hari akhir di dalam berumroh. Maka hendaknya hal ini diperhatikan.
Ketujuh, Mencari malam Lailatul Qodar.
Sesungguhnya beribadah pada malam Lailatul Qodar pahalanya sama dengan beribadah selama seribu bulan. Maka hendaknya seorang muslim harus bersegera menyingsingkan lengan bajunya untuk menyambut malam yang penuh berkah ini. Karena Nabi yang mulia ‘alaihi Sholatu wa Salam bersabda :
مَنْ قََََامَ لَيْلَةَ القَدَرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَبًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبْهِ (متّفق عليه)
“Barangsiapa sholat pada malam Lailatul Qodar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala maka niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq ‘alaihi) Yaitu pada malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir.
Wahai hamba Alloh apabila seorang hamba beribadah pada malam Lailatul Qodar, maka hendaknya dia mengucapkan :
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌ تُحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي (رواه الترمذي وابن ماجه)
“Ya Alloh sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan Mencintai Ma’af maka berikanlah Ma’af padaku” (HR Turmudzi dan Ibnu Majah)
Kedelapan, I’tikaf.
I’tikaf merupakan ibadah kholwat (menyendiri) dengan Alloh, menyibukkan diri hanya kepada Alloh dan memutuskan diri dari hiruk pikuk duniawi. Setiap keinginan dan detak hatinya hanya tertuju kepada Alloh dan segala kesibukannya hanyalah untuk Alloh semata. Rasulullah Shollollohu ‘alaihi wa Salam tidak pernah meninggalkan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan, bahkan pada tahun dimana beliau wafat, beliau melakukan I’tikaf selama dua puluh hari.
Wahai hamba Alloh, perhatikanlah tauladan kita Rasulullah dan para sahabatnya. Tatkala di penghujung bulan Ramadhan mayoritas masyarakat muslim bersibuk ria dengan pakaian, makanan dan urusan duniawi dalam rangka menyambut Iedul Fitri, namun tauladan dan kecintaan kita beri’tikaf di Masjid, lebih berkonsentrasi di dalam beribadah kepada Alloh, melepaskan urusan duniawinya dan lebih menyibukkan diri dengan ketaatan kepada Alloh. Maha Besar Alloh, padahal beliau adalah orang yang telah dijanjikan surga oleh Alloh, dan segala dosanya yang telah lalu dan akan datang diampuni oleh Allah Al-Ghofur, namun keteladanan beliau benar-benar menunjukkan akhlak yang agung, yang tiada tandingan dan bandingannya. Subhanalloh.
Beberapa kesalahan dan bid’ah pada Bulan Ramadhan.
Wahai hamba Alloh, teladan kita adalah Rasulullah Muhammad Shollollohu ‘alaihi wa Salam dan tiada seorangpun yang lebih layak kita teladani melainkan hanya beliau. Oleh karena itu, segala amalan yang tidak dituntunkan oleh beliau dan diajarkan beliau, maka perkara tersebut adalah tertolak dan wajib kita hindari.
Diantara kesalahan-kesalahan tersebut adalah :
· Mempercepat waktu sahur dan memperlambat berbuka puasa.
· Menahan diri dari makan dan minum selama beberapa saat sebelum datang waktu subuh yang mereka sebut sebagai waktu imsak.
· Memuntahkan makanan dan minuman dari mulut ketika terdengar adzan.
· Melafazhkan atau mengucapkan niat berpuasa.
· Mempercepat sholat tarawih dan tidak adanya thuma’ninah di saat sholat tarawih.
· Membaca sholawat ataupun ucapan selainnya semisal, Shollu sunnata tarawih rak’ataini jami’aa rahimakumullahu!!! atau selainnya setiap jeda sholat tarawih. Yang demikian ini tidak ada sunnahnya dari nabi dan termasuk bid’ah yang jelek di dalam agama.
· Mengkhususkan sholat tasbih di bulan Ramadhan.
· Membaca do’a secara berjama’ah setiap setelah sholat tarawih.
· Menentukan surat-surat tertentu pada tiap-tiap roka’at sholat tarawih.
· Beranggapan bahwa memotong kuku, membersihkan telinga atau keramas pada siang hari membatalkan puasa.
Dan selainnya yang tidak pernah dituntunkan oleh Nabi yang mulia Shollollohu ‘alaihi wa Salam.
Demikianlah secuil pembahasan mengenai bagaimana seharusnya seorang muslim di bulan Ramadhan. semoga yang sederhana ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua, dan semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan kita kesehatan dan kekuatan sehingga kita mampu melaksanakan apa yang diperintahkan Alloh dan Rasul-Nya, dan semoga Alloh masih memberi kita kesempatan untuk bertemu bulan Ramadhan berikutnya. Semoga segala amalan kita diterima oleh Alloh Azza wa Jalla dan segala dosa kita diampuni. Amin Ya Robbal Alamin.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Oleh : al-Ustadz Abu Nu’aim al-Atsari rohimahulloh
“SAHUR ! SAHUR !, BANGUN ! BANGUN ! WAKTU MENUNJUKKAN PUKUL 3.00 ! BANGUN ! SAHUR !, WAKTU IMSAK KURANG SEPULUH MENIT !!”
Fenomena ini merupakan pemandangan yang biasa kita temui pada bulan Romadlon. Karena memang, sebagian kaum muslimin masih mengakrabi yang satu ini, Imsak merupakan batas akhir waktu sahur. Ditandai dengan bunyi sirine atau sholawatan dan lainnya.
Nah, masalahnya, apakah Islam mensyari’atkannya. Bila tidak, mengapa kaum muslimin banyak yang mengamalkannya? Untuk itu, mari kita cermati dalil-dalil berikut ; Allah azza wa jalla berfirman :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam yaitu fajr, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. Al Baqoroh 187
Ayat yang mulia ini memberi petunjuk kepada kita bahwa batas akhir sahur adalah fajar (subuh). Hal ini diperjelas dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori (1916) dan Muslim (1090) dari sahabat Adi bin Hatim radhiyallahu anhu. Beliau berkata : “Ketika turun ayat tersebut, aku ikatkan tali warna hitam dan putih, lalu kuletakkan di bawah bantal. Mulailah aku melihatnya. Namun tidak jelas bagiku antara yang hitam dan yang putih. Pagi hari aku menemui Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam dan kuceritakan apa yang kualami. Beliau bersabda :”Maksud (hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam) adalah gelapnya malam dan merekahnya siang (fajr).”
Bila masih ada yang sangsi, dengan mengatakan : “bukankah fajr ada dua, fajr kadzib (dusta) dan shodiq (benar)” Kita jawab : “Bukankah hadits diatas sudah sangat jelas. Bahwa yang dimaksud adalah subuh”. Untuk lebih yakin perhatikan hadits berikut ; Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
الفجر فجران : فأما الأول فإنه لا يحرم الطعام ، ولا يحل الصلاة ، وأما الثاني فإنه يحرم الطعام ، ويحل الصلاة
Fajr ada dua : Fajr yang pertama tidak mengharamkan makan dan tidak membolehkan sholat (subuh), fajr kedua mengharamkan makan dan membolehkan sholat (subuh). (hadits shohih riwayat Ibnu Khuzaimah 3/261, Hakim 1/191 dan Daruquthni)
Aisyah berkata :
أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Bahwasanya Bilal melantunkan adzan di waktu malam, maka Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum adzan, sesungguhnya dia tidak akan adzan hingga terbit fajr. (Bukhori 1919)
وَكَانَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ رَجُلًا أَعْمَى لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَقُولَ لَهُ النَّاسُ أَصْبَحْتَ
Ibnu Ummi Maktum adalah laki-laki buta, dia tidak melantunkan adzan sehingga manusia mengatakan kepadanya : “engkau telah menemui subuh”. (Bukhori).
Jelas kiranya, bahwa yang dimaksud fajr disini adalah subuh. Dengan demikian batas akhir sahur adalah waktu subuh. Bukan imsak yang banyak digandrungi orang. Bahkan sekalipun subuh telah tiba dan makanan masih dihadapan, diperbolehkan untuk meneruskan, simak hadits berikut :
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
Jika salah seorang dari kalian mendengar adzan (subuh), sedangkan piring masih berada di tangan maka jangan meletakkannya hingga menyelesaikannya. (Ahmad. Abu Dawud, Al Hakim, dan dia shohihkan disetujui Ad Dzahabi)
Syaikh Albani berkata :”Hadits ini merupakan dalil bahwa orang yang menemui fajr (terbit) sedangkan piring atau gelas masih berada di tanganya maka boleh baginya menghabiskan apa yang ada di dalamnya. Hadits ini merupakan pengecualian dari ayat diatas tadi, Dan ayat tersebut tidak bertentangan dengan beberapa hadits dan hadits ini (hadits terakhir), dan tidak juga dengan ijma’. Bahkan sekelompok sahabat dan selainnya berpendapat bolehnya sahur melebihi batas yang disebutkan oleh hadits tsb. Dan diantara faedah hadits ini adalah pembatalan bid’ah imsak sebelum fajr sekitar seperempat jam, mereka berbuat seperti itu hanyalah lantaran takut datangnya adzan subuh sedangkan mereka masih makan sahur. Apabila mereka mengetahui keringanan ini tidaklah akan terjatuh ke dalam bid’ah ini (imsak)!!
Al Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari 4/199 : “Termasuk bid’ah munkaroh yang diada-adakan orang pada zaman ini adalah dikumandangkannya adzan subuh sekitar seperempat jam sebelumnya di bulan Romadlon dan dimatikannya lampu-lampu sebagai tanda dilarangnya makan dan minum bagi yang ingin berpuasa, dengan sangkaan apa yang diadakan tadi sebagai langkah hati-hati dalam beribadah dan tidak ada yang mengetahui hal itu kecuali segelintir orang. Hal ini terus berlangsung, sampai-sampai mereka tidak melantunkan adzan maghrib kecuali setelah lewat beberapa menit, untuk meyakinkan bahwa telah masuk waktu maghrib, itu sangkaannya. Mereka menunda berbuka dan menyegerakan sahur, karena itu mereka menyelisihi sunnah dan kebaikan sangat jarang mereka dapatkan malah kejelekan yang menimpa.”
***
Sumber : Buletin Al Furqon Edisi 2 Th 1 1422 H, Halaman 16
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pembahasan lengkap bisa juga didapatkan pada Kitab/buku diantarnya sbb :
1). Kitab "Shifati shaumi An-Nabi Shallallahu 'alahi wa sallam fi Ramadhan".
Atau dalam edisi bahasa indonesia buku : "Puasa bersama Nabi Shallallahu 'alahi wa sallam"
Penerbit : Darus Sunnah Press
oleh Syaikh Salim bin Id Al-Hilali & Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Hafidzhahumullaah.
2). Kitab "Shahih Fiqh as-Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhih Madzahib al-A'immah".
atau dalam edisi bahasa indonesi buku : "Shahih Fiqih Sunnah, jilid 2".
oleh : Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim Hafidzhahullaah.
Di Ta'liq oleh : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani , Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, & Syaikh Muhammad bin shalih Al-Utsaimin Rahimahumullaah.
Penerbit : Pustaka at-Tazkia
dan kitab-kitab para 'Ulama lainnya. Semoga bermanfaat.
Baarakallaahu fiikum.
Labels:
Bulan Ramadhan,
Muslim
Tuesday, June 9, 2009
Komitmen Muslim
Dr. Abdullah An-Nashi’, mantan konsultan kedokteran anak Rumah Sakit Malik Fahd, adalah salah satu contoh cemerlang mampu memadukan antara spesialisasi keilmuan dengan tanggung jawab dakwah kepada Allah.
la pernah pergi ke Amerika untuk menghadiri konferensi kedokteran dan dimintai masukan oleh sebagian kawan. menasihatinya dengan tiga hal:
1. Melaksanakan shalat pada waktunya dan tidak meremehkannya dengan alasan apapun.
2. Selalu mengenakan baju gamis dan syimagh, dengan catatan dibalut dengan mantel ala dokter. Hal itu dimaksudkan membangkitkan rasa bangga sebagai muslim di negen asing.
3. Komitmen terhadap dakwah.
Dr. Abdullah mengatakan, “Sebelum konferensi dimulai, berusaha keras untuk mencari dokter asal Arab supaya saya bisa duduk di sampingnya dan ia dapat mendukung saya. Dan benarlah, saya menemukan seorang dokter dengan raut muka orang Arab. Lalu saya duduk di sampingnya. Namun saya dikejutkan olehnya saat ia mengatakan kepada saya, “Cepat pergi dan ganti pakaian ini! (Jangan membuat kita gagal di depan orang asing!)” Saya berkata di dalam hati, “Seandainya saya duduk di samping orang Amerika, pasti tidak akan berkata seperti itu”
Konferensi dimulai dan sesaat kemudian waktu shalat Zhuhur tiba. Kemudian saya pun berdiri untuk shalat. Saya rnengumandangkan adzan dengan suara yang terdengar, tapi lirih. Kemudian saya melaksanakan kewajiban saya dan setelah itu kembah ke tempat saya. Satu jam kemudian waktu Ashar masuk, saya berdiri lagi untuk shalat Kemudian saya merasa ada seseorang berdiri di samping saya dalam shalat. Setelah selesai shalat, saya menoleh ke makmum itu, dan ternyata dia adalah dokter Arab yang baru saja mengkritik pakaian saya. Saya melihat matanya merah dan berlinang air mata. Lalu saya salami dia, dan dengan suara parau dia berkata kepada saya, “Terima kasih banyak. Saya tiba di Amerika semenjak 40 tahun silam. Saya menikah dengan wanita Amerika, memegang kewarganegaraan -Amerika, dan urusan keuangan dan penghidupan saya sangat baik. -Akan tetapi, demi Allah, saya tidak pernah sekalipun sujud kepada Allah selama 40 tahun itu. Dan ketika saya melihat anda melaksanakan shalat yang pertama, tiba-tiba banyak hal yang bergerak di dalam diri saya. Saya teringat akan Islam yang telah saya lupakan semenjak saya tiba di negara ini. Saya menjadi ingat kepada Allah dan ibadah kepadaNya. Saya menjadi ingat saat berdiri di hadapan Tuhan Yang Maha Perkasa pada hari yang kritis itu. Dan saya berkata di dalam hati saya, ‘Jika pemuda ini berdiri untuk shalat lagi, maka saya akan shalat bersamanya.” Dan begitu saya bertakbir bersama anda, saya langsung diliputi rasa dekat dengan Allah dan rasa takut kepada-Nya.”
Kemudian, antara saya dan dokter itu tumbuhlah hubungan vang erat. Di sela-sela mondar-mandir dengannya, saya bisa mengetahui banyak hal di Amerika dalam waktu yang singkat. Saat itu saya berharap bisa berbicara tentang Islam dan melaksanakan tugas dakwah kepada Allah dalam konferensi tersebut, tetapi kesempatan itu tidak tepat karena semua dokter laki-laki dan wanita sibuk dengan urusan konferensi dan mencari tambahan informasi dari berbagai penelitian dan rekomendasi dari para dokter.
Pada hari terakhir dalam konferensi itu, diadakan acara penutupan yang diisi dengan beberapa mata acara. Saya terkejut bahwa salah satu mata acaranya adalah permintaan dari panitia agar saya berbicara selama 5 menit tentang dua hal:
1. Mengenai alasan saya bersikukuh mengenakan pakaian ala Arab, sehingga banyak mengundang tanda tanya dari para dokter yang hadir, baik laki-laki maupun wanita.
2. Tentang perkembangan Kerajaan Arab Saudi.
Kemudian saya berkata, “Mengenai pakaian, sebagaimana anda punya tradisi dan adat istiadat yang anda pegang teguh, maka pakaian ini adalah bagian dari tradisi dan adat istiadat kami. Sehingga kami pun memegangnya dengan teguh. Sedangkan mengenai perkembangan Kerajaan Arab Saudi, alhamdulillah di sana ada kebangkitan peradaban dan perkembangan yang terlihat jelas”
Sebenarnya saya ingin sekali berbicara tentang Islam, tetapi mereka membatasi waktu saya hanya 5 menit dan mereka meminta saya untuk berbicara tentang pakaian dan perkembangan negara. Namun Allah memberikan taufiq kepada saya sehingga terlintas ide dalam benak saya -saat saya berbicara- untuk memberikan tanda tanya di hadapan mereka. Lalu saya katakan kepada mereka, “Kita berkumpul di sini untuk melakukan kajian kedokteran mengenai cairan yang ada di dalam tubuh dalam sebuah konferensi yang menghabiskan dana sekian US dolar. Akan tetapi, pada tubuh manusia seutuhnya ini apa hikmah (rahasia) di balik eksistensinya di dunia ini?”
Waktu 5 menit itu selesai dan saya hendak kembali ke tempat saya. Namun, produser yang merekam acara itu melalui video melihat bahwa para dokter -laki-laki dan wanita- tertarik dengan pertanyam yang saya lontarkan. Kemudian ia memberikan aba-aba dengan tangannya agar saya terus berbicara selama 5 menit lagi. Nah, di sini saya mendapat kesempatan untuk berbicara tentang Islam. Hanya dengan memulai pembicaraan tentang Islam, tiba-tiba seorang doktet wanita asal Barat berdiri dan berkata, “Boleh bertanya, Dokter, mengapa Rasul anda menikahi 11 orang wanita? Ini menunjukkm bahwa ia adalah orang yang suka mengumbar nafsu (seks).”
Saya menjawab pertanyaan dokter wanita itu dengan mengajukan dua pertanyaan kepadanya dan kepada sejumlah dokter yang ada:
Pertama, tolong beritahu saya, orang yang menikah karena nafsa (seks) akan memihh gadis atau janda ? Mereka sepakat bahwa ia akan memilih gadis. Lalu saya katakan kepada mereka, “Wanita pertama yang dinikahi Rasulullah ia adalah Khadijah binti Khuwailid yang berstatus janda dan berusia 40 tahun”
Kedua, pada usia berapakah nafsu seksual meledak-ledak?
Mereka menjawab bahwa kurang lebih mulai dari usia 16 tahun sampai 40 tahun, sebagai usia kesempurnaan bagi kejantanan dan kematangan akal. Saya katakan, “Rasul kami tidak menikah dengan wanita lain setelah Khadijah, kecuali setelah usia beliau mencapai 50 tahun”. Jadi, masalahnya adalah untuk kepentingan penetapan syari’at dan hikmah, bukan syahwat.”
Dokter wanita itu berkata, “Jika kami menyerah pada anda dalam konteks Rasul anda, lalu mengapa anda (umat Islam) menikahi 4 orang wanita. Ini adalah penghinaan bagi wanita?!”
Kemudian Dr. Abdullah mengajak dokter wanita itu berdialog dan berkata, “Masyarakat Barat sekarang ini seorang laki-laki menikahi satu orang wanita saja, tetapi berhubungan intim secara ilegal (haram) dengan sejumlah wanita, baik teman maupun pacar gelap. Data statistik kontemporer di Barat menunjukkan bahwa populasi wanita lebih banyak daripada laki-laki. Hubungan intim yang dilakukan lakilaki membuat kaum wanita hanya sebagai tempat pelampiasan nafsu saja. Lalu setelah si laki-laki menyalurkan libidonya, maka si wanita menjadi tidak berharga lagi baginya. Penghinaan terhadap wanita seperti apa yang lebih dahsyat dari itu?! Sedangkan agama kami mengharuskan kami untuk memperlakukan semua istri secara ma’ruf (baik) dan memberikan hak-hak mereka secara adil. Selain itu, wanita juga harus diposisikan sebagai bagian dari laki-laki, karena wanita adalah rumahnya, tempat tinggalnya dan pakaiannya. Itu adalah ikatan yang kuat di mana wanita dapat menemukan kehormatannya dan merealisasikan kewanitaannya. Jadi, manakah yang lebih agung dan lebih mulia, wahai para dokter sekalian?!”
Dokter wanita itu tidak bisa memberikan jawaban yang meyakinkan dan menelan batu. Beberapa menit setelah itu ada 4 orang dokter wanita asal Barat yang menyatakan keinginannya untuk masuk Islam.
Dr. Abdullah hanyalah satu di antara contoh-contoh menakjubkan yang mengharumkan Saudi. Ia adalah contoh bagi orang Arab muslim yang bangga dengan identitas dan agamanya. Seandainya ia tunduk kepada barat dan silau padanya -seperti yang dialami oleh banyak intelektual kita yang larut di dalamnya, dan ini sangat disayangkan- niscaya pembicaraannya tentang Islam dan bantahannya atas syubuhat (prasangka dan keraguan) tersebut tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap forum kedokteran tersebut.
Mereka benar-benar terkesan dengan rasa bangganya terhadap jati diri dan agamanya, sebelum mereka terkesan dengan ucapannya. Ini adalah surat dari kami untuk semua orang yang silau pada dunia Barat dan larut ke dalam budayanya. Hendaklah mereka mengingat ucapan Al-Faruq kita, pemimpin kita, mertua Rasul kita dan kekasih behau, Umar bin Khaththab radhiallahu’anhu,
“Dulu kita hina, lalu Allah memuliakan kita dengan Islam. Maka setiap kali kita mencari kemuliaan di luar Islam, Allah akan menghinakan kita.”
[Diambil dari”Malam pertama, setelah itu air mata” kisah-kisah mengharukan yang penuh pelajaran keimanan dan pelembut hati. Penerbit Pustaka Elba]
la pernah pergi ke Amerika untuk menghadiri konferensi kedokteran dan dimintai masukan oleh sebagian kawan. menasihatinya dengan tiga hal:
1. Melaksanakan shalat pada waktunya dan tidak meremehkannya dengan alasan apapun.
2. Selalu mengenakan baju gamis dan syimagh, dengan catatan dibalut dengan mantel ala dokter. Hal itu dimaksudkan membangkitkan rasa bangga sebagai muslim di negen asing.
3. Komitmen terhadap dakwah.
Dr. Abdullah mengatakan, “Sebelum konferensi dimulai, berusaha keras untuk mencari dokter asal Arab supaya saya bisa duduk di sampingnya dan ia dapat mendukung saya. Dan benarlah, saya menemukan seorang dokter dengan raut muka orang Arab. Lalu saya duduk di sampingnya. Namun saya dikejutkan olehnya saat ia mengatakan kepada saya, “Cepat pergi dan ganti pakaian ini! (Jangan membuat kita gagal di depan orang asing!)” Saya berkata di dalam hati, “Seandainya saya duduk di samping orang Amerika, pasti tidak akan berkata seperti itu”
Konferensi dimulai dan sesaat kemudian waktu shalat Zhuhur tiba. Kemudian saya pun berdiri untuk shalat. Saya rnengumandangkan adzan dengan suara yang terdengar, tapi lirih. Kemudian saya melaksanakan kewajiban saya dan setelah itu kembah ke tempat saya. Satu jam kemudian waktu Ashar masuk, saya berdiri lagi untuk shalat Kemudian saya merasa ada seseorang berdiri di samping saya dalam shalat. Setelah selesai shalat, saya menoleh ke makmum itu, dan ternyata dia adalah dokter Arab yang baru saja mengkritik pakaian saya. Saya melihat matanya merah dan berlinang air mata. Lalu saya salami dia, dan dengan suara parau dia berkata kepada saya, “Terima kasih banyak. Saya tiba di Amerika semenjak 40 tahun silam. Saya menikah dengan wanita Amerika, memegang kewarganegaraan -Amerika, dan urusan keuangan dan penghidupan saya sangat baik. -Akan tetapi, demi Allah, saya tidak pernah sekalipun sujud kepada Allah selama 40 tahun itu. Dan ketika saya melihat anda melaksanakan shalat yang pertama, tiba-tiba banyak hal yang bergerak di dalam diri saya. Saya teringat akan Islam yang telah saya lupakan semenjak saya tiba di negara ini. Saya menjadi ingat kepada Allah dan ibadah kepadaNya. Saya menjadi ingat saat berdiri di hadapan Tuhan Yang Maha Perkasa pada hari yang kritis itu. Dan saya berkata di dalam hati saya, ‘Jika pemuda ini berdiri untuk shalat lagi, maka saya akan shalat bersamanya.” Dan begitu saya bertakbir bersama anda, saya langsung diliputi rasa dekat dengan Allah dan rasa takut kepada-Nya.”
Kemudian, antara saya dan dokter itu tumbuhlah hubungan vang erat. Di sela-sela mondar-mandir dengannya, saya bisa mengetahui banyak hal di Amerika dalam waktu yang singkat. Saat itu saya berharap bisa berbicara tentang Islam dan melaksanakan tugas dakwah kepada Allah dalam konferensi tersebut, tetapi kesempatan itu tidak tepat karena semua dokter laki-laki dan wanita sibuk dengan urusan konferensi dan mencari tambahan informasi dari berbagai penelitian dan rekomendasi dari para dokter.
Pada hari terakhir dalam konferensi itu, diadakan acara penutupan yang diisi dengan beberapa mata acara. Saya terkejut bahwa salah satu mata acaranya adalah permintaan dari panitia agar saya berbicara selama 5 menit tentang dua hal:
1. Mengenai alasan saya bersikukuh mengenakan pakaian ala Arab, sehingga banyak mengundang tanda tanya dari para dokter yang hadir, baik laki-laki maupun wanita.
2. Tentang perkembangan Kerajaan Arab Saudi.
Kemudian saya berkata, “Mengenai pakaian, sebagaimana anda punya tradisi dan adat istiadat yang anda pegang teguh, maka pakaian ini adalah bagian dari tradisi dan adat istiadat kami. Sehingga kami pun memegangnya dengan teguh. Sedangkan mengenai perkembangan Kerajaan Arab Saudi, alhamdulillah di sana ada kebangkitan peradaban dan perkembangan yang terlihat jelas”
Sebenarnya saya ingin sekali berbicara tentang Islam, tetapi mereka membatasi waktu saya hanya 5 menit dan mereka meminta saya untuk berbicara tentang pakaian dan perkembangan negara. Namun Allah memberikan taufiq kepada saya sehingga terlintas ide dalam benak saya -saat saya berbicara- untuk memberikan tanda tanya di hadapan mereka. Lalu saya katakan kepada mereka, “Kita berkumpul di sini untuk melakukan kajian kedokteran mengenai cairan yang ada di dalam tubuh dalam sebuah konferensi yang menghabiskan dana sekian US dolar. Akan tetapi, pada tubuh manusia seutuhnya ini apa hikmah (rahasia) di balik eksistensinya di dunia ini?”
Waktu 5 menit itu selesai dan saya hendak kembali ke tempat saya. Namun, produser yang merekam acara itu melalui video melihat bahwa para dokter -laki-laki dan wanita- tertarik dengan pertanyam yang saya lontarkan. Kemudian ia memberikan aba-aba dengan tangannya agar saya terus berbicara selama 5 menit lagi. Nah, di sini saya mendapat kesempatan untuk berbicara tentang Islam. Hanya dengan memulai pembicaraan tentang Islam, tiba-tiba seorang doktet wanita asal Barat berdiri dan berkata, “Boleh bertanya, Dokter, mengapa Rasul anda menikahi 11 orang wanita? Ini menunjukkm bahwa ia adalah orang yang suka mengumbar nafsu (seks).”
Saya menjawab pertanyaan dokter wanita itu dengan mengajukan dua pertanyaan kepadanya dan kepada sejumlah dokter yang ada:
Pertama, tolong beritahu saya, orang yang menikah karena nafsa (seks) akan memihh gadis atau janda ? Mereka sepakat bahwa ia akan memilih gadis. Lalu saya katakan kepada mereka, “Wanita pertama yang dinikahi Rasulullah ia adalah Khadijah binti Khuwailid yang berstatus janda dan berusia 40 tahun”
Kedua, pada usia berapakah nafsu seksual meledak-ledak?
Mereka menjawab bahwa kurang lebih mulai dari usia 16 tahun sampai 40 tahun, sebagai usia kesempurnaan bagi kejantanan dan kematangan akal. Saya katakan, “Rasul kami tidak menikah dengan wanita lain setelah Khadijah, kecuali setelah usia beliau mencapai 50 tahun”. Jadi, masalahnya adalah untuk kepentingan penetapan syari’at dan hikmah, bukan syahwat.”
Dokter wanita itu berkata, “Jika kami menyerah pada anda dalam konteks Rasul anda, lalu mengapa anda (umat Islam) menikahi 4 orang wanita. Ini adalah penghinaan bagi wanita?!”
Kemudian Dr. Abdullah mengajak dokter wanita itu berdialog dan berkata, “Masyarakat Barat sekarang ini seorang laki-laki menikahi satu orang wanita saja, tetapi berhubungan intim secara ilegal (haram) dengan sejumlah wanita, baik teman maupun pacar gelap. Data statistik kontemporer di Barat menunjukkan bahwa populasi wanita lebih banyak daripada laki-laki. Hubungan intim yang dilakukan lakilaki membuat kaum wanita hanya sebagai tempat pelampiasan nafsu saja. Lalu setelah si laki-laki menyalurkan libidonya, maka si wanita menjadi tidak berharga lagi baginya. Penghinaan terhadap wanita seperti apa yang lebih dahsyat dari itu?! Sedangkan agama kami mengharuskan kami untuk memperlakukan semua istri secara ma’ruf (baik) dan memberikan hak-hak mereka secara adil. Selain itu, wanita juga harus diposisikan sebagai bagian dari laki-laki, karena wanita adalah rumahnya, tempat tinggalnya dan pakaiannya. Itu adalah ikatan yang kuat di mana wanita dapat menemukan kehormatannya dan merealisasikan kewanitaannya. Jadi, manakah yang lebih agung dan lebih mulia, wahai para dokter sekalian?!”
Dokter wanita itu tidak bisa memberikan jawaban yang meyakinkan dan menelan batu. Beberapa menit setelah itu ada 4 orang dokter wanita asal Barat yang menyatakan keinginannya untuk masuk Islam.
Dr. Abdullah hanyalah satu di antara contoh-contoh menakjubkan yang mengharumkan Saudi. Ia adalah contoh bagi orang Arab muslim yang bangga dengan identitas dan agamanya. Seandainya ia tunduk kepada barat dan silau padanya -seperti yang dialami oleh banyak intelektual kita yang larut di dalamnya, dan ini sangat disayangkan- niscaya pembicaraannya tentang Islam dan bantahannya atas syubuhat (prasangka dan keraguan) tersebut tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap forum kedokteran tersebut.
Mereka benar-benar terkesan dengan rasa bangganya terhadap jati diri dan agamanya, sebelum mereka terkesan dengan ucapannya. Ini adalah surat dari kami untuk semua orang yang silau pada dunia Barat dan larut ke dalam budayanya. Hendaklah mereka mengingat ucapan Al-Faruq kita, pemimpin kita, mertua Rasul kita dan kekasih behau, Umar bin Khaththab radhiallahu’anhu,
“Dulu kita hina, lalu Allah memuliakan kita dengan Islam. Maka setiap kali kita mencari kemuliaan di luar Islam, Allah akan menghinakan kita.”
[Diambil dari”Malam pertama, setelah itu air mata” kisah-kisah mengharukan yang penuh pelajaran keimanan dan pelembut hati. Penerbit Pustaka Elba]
Labels:
Komitmen Muslim
Komitmen Muslim
Dr. Abdullah An-Nashi’, mantan konsultan kedokteran anak Rumah Sakit Malik Fahd, adalah salah satu contoh cemerlang mampu memadukan antara spesialisasi keilmuan dengan tanggung jawab dakwah kepada Allah.
la pernah pergi ke Amerika untuk menghadiri konferensi kedokteran dan dimintai masukan oleh sebagian kawan. menasihatinya dengan tiga hal:
1. Melaksanakan shalat pada waktunya dan tidak meremehkannya dengan alasan apapun.
2. Selalu mengenakan baju gamis dan syimagh, dengan catatan dibalut dengan mantel ala dokter. Hal itu dimaksudkan membangkitkan rasa bangga sebagai muslim di negen asing.
3. Komitmen terhadap dakwah.
Dr. Abdullah mengatakan, “Sebelum konferensi dimulai, berusaha keras untuk mencari dokter asal Arab supaya saya bisa duduk di sampingnya dan ia dapat mendukung saya. Dan benarlah, saya menemukan seorang dokter dengan raut muka orang Arab. Lalu saya duduk di sampingnya. Namun saya dikejutkan olehnya saat ia mengatakan kepada saya, “Cepat pergi dan ganti pakaian ini! (Jangan membuat kita gagal di depan orang asing!)” Saya berkata di dalam hati, “Seandainya saya duduk di samping orang Amerika, pasti tidak akan berkata seperti itu”
Konferensi dimulai dan sesaat kemudian waktu shalat Zhuhur tiba. Kemudian saya pun berdiri untuk shalat. Saya rnengumandangkan adzan dengan suara yang terdengar, tapi lirih. Kemudian saya melaksanakan kewajiban saya dan setelah itu kembah ke tempat saya. Satu jam kemudian waktu Ashar masuk, saya berdiri lagi untuk shalat Kemudian saya merasa ada seseorang berdiri di samping saya dalam shalat. Setelah selesai shalat, saya menoleh ke makmum itu, dan ternyata dia adalah dokter Arab yang baru saja mengkritik pakaian saya. Saya melihat matanya merah dan berlinang air mata. Lalu saya salami dia, dan dengan suara parau dia berkata kepada saya, “Terima kasih banyak. Saya tiba di Amerika semenjak 40 tahun silam. Saya menikah dengan wanita Amerika, memegang kewarganegaraan -Amerika, dan urusan keuangan dan penghidupan saya sangat baik. -Akan tetapi, demi Allah, saya tidak pernah sekalipun sujud kepada Allah selama 40 tahun itu. Dan ketika saya melihat anda melaksanakan shalat yang pertama, tiba-tiba banyak hal yang bergerak di dalam diri saya. Saya teringat akan Islam yang telah saya lupakan semenjak saya tiba di negara ini. Saya menjadi ingat kepada Allah dan ibadah kepadaNya. Saya menjadi ingat saat berdiri di hadapan Tuhan Yang Maha Perkasa pada hari yang kritis itu. Dan saya berkata di dalam hati saya, ‘Jika pemuda ini berdiri untuk shalat lagi, maka saya akan shalat bersamanya.” Dan begitu saya bertakbir bersama anda, saya langsung diliputi rasa dekat dengan Allah dan rasa takut kepada-Nya.”
Kemudian, antara saya dan dokter itu tumbuhlah hubungan vang erat. Di sela-sela mondar-mandir dengannya, saya bisa mengetahui banyak hal di Amerika dalam waktu yang singkat. Saat itu saya berharap bisa berbicara tentang Islam dan melaksanakan tugas dakwah kepada Allah dalam konferensi tersebut, tetapi kesempatan itu tidak tepat karena semua dokter laki-laki dan wanita sibuk dengan urusan konferensi dan mencari tambahan informasi dari berbagai penelitian dan rekomendasi dari para dokter.
Pada hari terakhir dalam konferensi itu, diadakan acara penutupan yang diisi dengan beberapa mata acara. Saya terkejut bahwa salah satu mata acaranya adalah permintaan dari panitia agar saya berbicara selama 5 menit tentang dua hal:
1. Mengenai alasan saya bersikukuh mengenakan pakaian ala Arab, sehingga banyak mengundang tanda tanya dari para dokter yang hadir, baik laki-laki maupun wanita.
2. Tentang perkembangan Kerajaan Arab Saudi.
Kemudian saya berkata, “Mengenai pakaian, sebagaimana anda punya tradisi dan adat istiadat yang anda pegang teguh, maka pakaian ini adalah bagian dari tradisi dan adat istiadat kami. Sehingga kami pun memegangnya dengan teguh. Sedangkan mengenai perkembangan Kerajaan Arab Saudi, alhamdulillah di sana ada kebangkitan peradaban dan perkembangan yang terlihat jelas”
Sebenarnya saya ingin sekali berbicara tentang Islam, tetapi mereka membatasi waktu saya hanya 5 menit dan mereka meminta saya untuk berbicara tentang pakaian dan perkembangan negara. Namun Allah memberikan taufiq kepada saya sehingga terlintas ide dalam benak saya -saat saya berbicara- untuk memberikan tanda tanya di hadapan mereka. Lalu saya katakan kepada mereka, “Kita berkumpul di sini untuk melakukan kajian kedokteran mengenai cairan yang ada di dalam tubuh dalam sebuah konferensi yang menghabiskan dana sekian US dolar. Akan tetapi, pada tubuh manusia seutuhnya ini apa hikmah (rahasia) di balik eksistensinya di dunia ini?”
Waktu 5 menit itu selesai dan saya hendak kembali ke tempat saya. Namun, produser yang merekam acara itu melalui video melihat bahwa para dokter -laki-laki dan wanita- tertarik dengan pertanyam yang saya lontarkan. Kemudian ia memberikan aba-aba dengan tangannya agar saya terus berbicara selama 5 menit lagi. Nah, di sini saya mendapat kesempatan untuk berbicara tentang Islam. Hanya dengan memulai pembicaraan tentang Islam, tiba-tiba seorang doktet wanita asal Barat berdiri dan berkata, “Boleh bertanya, Dokter, mengapa Rasul anda menikahi 11 orang wanita? Ini menunjukkm bahwa ia adalah orang yang suka mengumbar nafsu (seks).”
Saya menjawab pertanyaan dokter wanita itu dengan mengajukan dua pertanyaan kepadanya dan kepada sejumlah dokter yang ada:
Pertama, tolong beritahu saya, orang yang menikah karena nafsa (seks) akan memihh gadis atau janda ? Mereka sepakat bahwa ia akan memilih gadis. Lalu saya katakan kepada mereka, “Wanita pertama yang dinikahi Rasulullah ia adalah Khadijah binti Khuwailid yang berstatus janda dan berusia 40 tahun”
Kedua, pada usia berapakah nafsu seksual meledak-ledak?
Mereka menjawab bahwa kurang lebih mulai dari usia 16 tahun sampai 40 tahun, sebagai usia kesempurnaan bagi kejantanan dan kematangan akal. Saya katakan, “Rasul kami tidak menikah dengan wanita lain setelah Khadijah, kecuali setelah usia beliau mencapai 50 tahun”. Jadi, masalahnya adalah untuk kepentingan penetapan syari’at dan hikmah, bukan syahwat.”
Dokter wanita itu berkata, “Jika kami menyerah pada anda dalam konteks Rasul anda, lalu mengapa anda (umat Islam) menikahi 4 orang wanita. Ini adalah penghinaan bagi wanita?!”
Kemudian Dr. Abdullah mengajak dokter wanita itu berdialog dan berkata, “Masyarakat Barat sekarang ini seorang laki-laki menikahi satu orang wanita saja, tetapi berhubungan intim secara ilegal (haram) dengan sejumlah wanita, baik teman maupun pacar gelap. Data statistik kontemporer di Barat menunjukkan bahwa populasi wanita lebih banyak daripada laki-laki. Hubungan intim yang dilakukan lakilaki membuat kaum wanita hanya sebagai tempat pelampiasan nafsu saja. Lalu setelah si laki-laki menyalurkan libidonya, maka si wanita menjadi tidak berharga lagi baginya. Penghinaan terhadap wanita seperti apa yang lebih dahsyat dari itu?! Sedangkan agama kami mengharuskan kami untuk memperlakukan semua istri secara ma’ruf (baik) dan memberikan hak-hak mereka secara adil. Selain itu, wanita juga harus diposisikan sebagai bagian dari laki-laki, karena wanita adalah rumahnya, tempat tinggalnya dan pakaiannya. Itu adalah ikatan yang kuat di mana wanita dapat menemukan kehormatannya dan merealisasikan kewanitaannya. Jadi, manakah yang lebih agung dan lebih mulia, wahai para dokter sekalian?!”
Dokter wanita itu tidak bisa memberikan jawaban yang meyakinkan dan menelan batu. Beberapa menit setelah itu ada 4 orang dokter wanita asal Barat yang menyatakan keinginannya untuk masuk Islam.
Dr. Abdullah hanyalah satu di antara contoh-contoh menakjubkan yang mengharumkan Saudi. Ia adalah contoh bagi orang Arab muslim yang bangga dengan identitas dan agamanya. Seandainya ia tunduk kepada barat dan silau padanya -seperti yang dialami oleh banyak intelektual kita yang larut di dalamnya, dan ini sangat disayangkan- niscaya pembicaraannya tentang Islam dan bantahannya atas syubuhat (prasangka dan keraguan) tersebut tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap forum kedokteran tersebut.
Mereka benar-benar terkesan dengan rasa bangganya terhadap jati diri dan agamanya, sebelum mereka terkesan dengan ucapannya. Ini adalah surat dari kami untuk semua orang yang silau pada dunia Barat dan larut ke dalam budayanya. Hendaklah mereka mengingat ucapan Al-Faruq kita, pemimpin kita, mertua Rasul kita dan kekasih behau, Umar bin Khaththab radhiallahu’anhu,
“Dulu kita hina, lalu Allah memuliakan kita dengan Islam. Maka setiap kali kita mencari kemuliaan di luar Islam, Allah akan menghinakan kita.”
[Diambil dari”Malam pertama, setelah itu air mata” kisah-kisah mengharukan yang penuh pelajaran keimanan dan pelembut hati. Penerbit Pustaka Elba]
la pernah pergi ke Amerika untuk menghadiri konferensi kedokteran dan dimintai masukan oleh sebagian kawan. menasihatinya dengan tiga hal:
1. Melaksanakan shalat pada waktunya dan tidak meremehkannya dengan alasan apapun.
2. Selalu mengenakan baju gamis dan syimagh, dengan catatan dibalut dengan mantel ala dokter. Hal itu dimaksudkan membangkitkan rasa bangga sebagai muslim di negen asing.
3. Komitmen terhadap dakwah.
Dr. Abdullah mengatakan, “Sebelum konferensi dimulai, berusaha keras untuk mencari dokter asal Arab supaya saya bisa duduk di sampingnya dan ia dapat mendukung saya. Dan benarlah, saya menemukan seorang dokter dengan raut muka orang Arab. Lalu saya duduk di sampingnya. Namun saya dikejutkan olehnya saat ia mengatakan kepada saya, “Cepat pergi dan ganti pakaian ini! (Jangan membuat kita gagal di depan orang asing!)” Saya berkata di dalam hati, “Seandainya saya duduk di samping orang Amerika, pasti tidak akan berkata seperti itu”
Konferensi dimulai dan sesaat kemudian waktu shalat Zhuhur tiba. Kemudian saya pun berdiri untuk shalat. Saya rnengumandangkan adzan dengan suara yang terdengar, tapi lirih. Kemudian saya melaksanakan kewajiban saya dan setelah itu kembah ke tempat saya. Satu jam kemudian waktu Ashar masuk, saya berdiri lagi untuk shalat Kemudian saya merasa ada seseorang berdiri di samping saya dalam shalat. Setelah selesai shalat, saya menoleh ke makmum itu, dan ternyata dia adalah dokter Arab yang baru saja mengkritik pakaian saya. Saya melihat matanya merah dan berlinang air mata. Lalu saya salami dia, dan dengan suara parau dia berkata kepada saya, “Terima kasih banyak. Saya tiba di Amerika semenjak 40 tahun silam. Saya menikah dengan wanita Amerika, memegang kewarganegaraan -Amerika, dan urusan keuangan dan penghidupan saya sangat baik. -Akan tetapi, demi Allah, saya tidak pernah sekalipun sujud kepada Allah selama 40 tahun itu. Dan ketika saya melihat anda melaksanakan shalat yang pertama, tiba-tiba banyak hal yang bergerak di dalam diri saya. Saya teringat akan Islam yang telah saya lupakan semenjak saya tiba di negara ini. Saya menjadi ingat kepada Allah dan ibadah kepadaNya. Saya menjadi ingat saat berdiri di hadapan Tuhan Yang Maha Perkasa pada hari yang kritis itu. Dan saya berkata di dalam hati saya, ‘Jika pemuda ini berdiri untuk shalat lagi, maka saya akan shalat bersamanya.” Dan begitu saya bertakbir bersama anda, saya langsung diliputi rasa dekat dengan Allah dan rasa takut kepada-Nya.”
Kemudian, antara saya dan dokter itu tumbuhlah hubungan vang erat. Di sela-sela mondar-mandir dengannya, saya bisa mengetahui banyak hal di Amerika dalam waktu yang singkat. Saat itu saya berharap bisa berbicara tentang Islam dan melaksanakan tugas dakwah kepada Allah dalam konferensi tersebut, tetapi kesempatan itu tidak tepat karena semua dokter laki-laki dan wanita sibuk dengan urusan konferensi dan mencari tambahan informasi dari berbagai penelitian dan rekomendasi dari para dokter.
Pada hari terakhir dalam konferensi itu, diadakan acara penutupan yang diisi dengan beberapa mata acara. Saya terkejut bahwa salah satu mata acaranya adalah permintaan dari panitia agar saya berbicara selama 5 menit tentang dua hal:
1. Mengenai alasan saya bersikukuh mengenakan pakaian ala Arab, sehingga banyak mengundang tanda tanya dari para dokter yang hadir, baik laki-laki maupun wanita.
2. Tentang perkembangan Kerajaan Arab Saudi.
Kemudian saya berkata, “Mengenai pakaian, sebagaimana anda punya tradisi dan adat istiadat yang anda pegang teguh, maka pakaian ini adalah bagian dari tradisi dan adat istiadat kami. Sehingga kami pun memegangnya dengan teguh. Sedangkan mengenai perkembangan Kerajaan Arab Saudi, alhamdulillah di sana ada kebangkitan peradaban dan perkembangan yang terlihat jelas”
Sebenarnya saya ingin sekali berbicara tentang Islam, tetapi mereka membatasi waktu saya hanya 5 menit dan mereka meminta saya untuk berbicara tentang pakaian dan perkembangan negara. Namun Allah memberikan taufiq kepada saya sehingga terlintas ide dalam benak saya -saat saya berbicara- untuk memberikan tanda tanya di hadapan mereka. Lalu saya katakan kepada mereka, “Kita berkumpul di sini untuk melakukan kajian kedokteran mengenai cairan yang ada di dalam tubuh dalam sebuah konferensi yang menghabiskan dana sekian US dolar. Akan tetapi, pada tubuh manusia seutuhnya ini apa hikmah (rahasia) di balik eksistensinya di dunia ini?”
Waktu 5 menit itu selesai dan saya hendak kembali ke tempat saya. Namun, produser yang merekam acara itu melalui video melihat bahwa para dokter -laki-laki dan wanita- tertarik dengan pertanyam yang saya lontarkan. Kemudian ia memberikan aba-aba dengan tangannya agar saya terus berbicara selama 5 menit lagi. Nah, di sini saya mendapat kesempatan untuk berbicara tentang Islam. Hanya dengan memulai pembicaraan tentang Islam, tiba-tiba seorang doktet wanita asal Barat berdiri dan berkata, “Boleh bertanya, Dokter, mengapa Rasul anda menikahi 11 orang wanita? Ini menunjukkm bahwa ia adalah orang yang suka mengumbar nafsu (seks).”
Saya menjawab pertanyaan dokter wanita itu dengan mengajukan dua pertanyaan kepadanya dan kepada sejumlah dokter yang ada:
Pertama, tolong beritahu saya, orang yang menikah karena nafsa (seks) akan memihh gadis atau janda ? Mereka sepakat bahwa ia akan memilih gadis. Lalu saya katakan kepada mereka, “Wanita pertama yang dinikahi Rasulullah ia adalah Khadijah binti Khuwailid yang berstatus janda dan berusia 40 tahun”
Kedua, pada usia berapakah nafsu seksual meledak-ledak?
Mereka menjawab bahwa kurang lebih mulai dari usia 16 tahun sampai 40 tahun, sebagai usia kesempurnaan bagi kejantanan dan kematangan akal. Saya katakan, “Rasul kami tidak menikah dengan wanita lain setelah Khadijah, kecuali setelah usia beliau mencapai 50 tahun”. Jadi, masalahnya adalah untuk kepentingan penetapan syari’at dan hikmah, bukan syahwat.”
Dokter wanita itu berkata, “Jika kami menyerah pada anda dalam konteks Rasul anda, lalu mengapa anda (umat Islam) menikahi 4 orang wanita. Ini adalah penghinaan bagi wanita?!”
Kemudian Dr. Abdullah mengajak dokter wanita itu berdialog dan berkata, “Masyarakat Barat sekarang ini seorang laki-laki menikahi satu orang wanita saja, tetapi berhubungan intim secara ilegal (haram) dengan sejumlah wanita, baik teman maupun pacar gelap. Data statistik kontemporer di Barat menunjukkan bahwa populasi wanita lebih banyak daripada laki-laki. Hubungan intim yang dilakukan lakilaki membuat kaum wanita hanya sebagai tempat pelampiasan nafsu saja. Lalu setelah si laki-laki menyalurkan libidonya, maka si wanita menjadi tidak berharga lagi baginya. Penghinaan terhadap wanita seperti apa yang lebih dahsyat dari itu?! Sedangkan agama kami mengharuskan kami untuk memperlakukan semua istri secara ma’ruf (baik) dan memberikan hak-hak mereka secara adil. Selain itu, wanita juga harus diposisikan sebagai bagian dari laki-laki, karena wanita adalah rumahnya, tempat tinggalnya dan pakaiannya. Itu adalah ikatan yang kuat di mana wanita dapat menemukan kehormatannya dan merealisasikan kewanitaannya. Jadi, manakah yang lebih agung dan lebih mulia, wahai para dokter sekalian?!”
Dokter wanita itu tidak bisa memberikan jawaban yang meyakinkan dan menelan batu. Beberapa menit setelah itu ada 4 orang dokter wanita asal Barat yang menyatakan keinginannya untuk masuk Islam.
Dr. Abdullah hanyalah satu di antara contoh-contoh menakjubkan yang mengharumkan Saudi. Ia adalah contoh bagi orang Arab muslim yang bangga dengan identitas dan agamanya. Seandainya ia tunduk kepada barat dan silau padanya -seperti yang dialami oleh banyak intelektual kita yang larut di dalamnya, dan ini sangat disayangkan- niscaya pembicaraannya tentang Islam dan bantahannya atas syubuhat (prasangka dan keraguan) tersebut tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap forum kedokteran tersebut.
Mereka benar-benar terkesan dengan rasa bangganya terhadap jati diri dan agamanya, sebelum mereka terkesan dengan ucapannya. Ini adalah surat dari kami untuk semua orang yang silau pada dunia Barat dan larut ke dalam budayanya. Hendaklah mereka mengingat ucapan Al-Faruq kita, pemimpin kita, mertua Rasul kita dan kekasih behau, Umar bin Khaththab radhiallahu’anhu,
“Dulu kita hina, lalu Allah memuliakan kita dengan Islam. Maka setiap kali kita mencari kemuliaan di luar Islam, Allah akan menghinakan kita.”
[Diambil dari”Malam pertama, setelah itu air mata” kisah-kisah mengharukan yang penuh pelajaran keimanan dan pelembut hati. Penerbit Pustaka Elba]
Labels:
Komitmen Muslim
Monday, May 18, 2009
Kesempatan itu datang Lagi
Abu Khaulah Zainal Abidin
Hari ini terlalu banyak yang telah berubah dan menjadi baik. Orang-orang yang semula kukenal tak pernah sholat, kini tak pernah tertinggal berjama’ah di masjid. Temanku yang dulu masih terbata-bata membaca Al Qur’an, sekarang sudah hafal beberapa juz. Juga tidak sedikit aku temui perempuan yang semula berpakaian seronok, kini bahkan nyamukpun tak menemukan sedikit celah untuk bisa mendarat di kulitnya. Subhaanallah, banyak sekali yang telah berubah…, kecuali diriku.
Hari ini tak sedikit orang yang kukenal baik telah pergi, meninggalkan alam dunia, meninggalkan aku… -yang juga belum berubah-. Dan hari ini kembali ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa mempertemukan aku dengan bulan Ramadhan. Artinya, sekali lagi ALLAH, mungkin yang terakhir kali, memberikan aku kesempatan, memberikan aku peluang
Ya, peluang itu datang lagi. Betapa tidak? Bukankah artinya ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa telah memanjangkan umurku, yang dengannya peluangku untuk memperbaiki diri serta mengumpulkan bekal masih terbuka. Bukankah Rasulullah SAW pernah berkata:
كل إبن أدم خطاء و خيرالخطا ئين التوابون (رواه الترمذي
(Setiap anak Adam pasti punya kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertobat)
Ya, hari ini kembali ALLAH memanggilku dengan panggilan terhormat serta memberikan harapan dan peluang untuk menjadi hamba-Nya yang bertaqwa.
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون
َ
(Artinya: Hai Orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian puasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang yang bertaqwa.) (Al Baqarah:183)
Ya, harus kuakui semua ni’mat ini, yakni panggilan dan peluang ini, sebagaimana juga harus kuakui akan dosa-dosaku selama ini. Maka pantaslah jika aku berharap ALLAH Subahaanahu wa ta’alaa akan mengampuniku, karena tak ada yang dapat memberi ampunan kecuali DIA. Ya, aku ingat betul sebuah do’a yang diajarkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam :
“من قال حين يصبح أو حين يمسي: اللهمَّ أنت ربي لا إله إلا أنت خلقتني وأنا عبدك
وأنا على عهدك ووعدك ما استطعت، أعوذ بك من شرِّ ما صنعت، أبوء لك بنعمتك علي،
وأبوء بذنبي فاغفر لي، إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت،
فمات من يومه أو من ليلته دخل الجنة”(رواه أبو داود)
(Barang siapa yang pagi atau sorenya berdo’a: “Allahumma, Engkaulah rabb-ku. Tak ada yang layak diibadahi selain Engkau. Engkaulah yang telah menciptakan aku, dan aku adalah hamba-MU, dan aku terikat perjanjian dengan MU segenap kemampuanku. Aku berlindung kepada MU dari segala keburukan yang aku perbuat. Aku akui akan ni’mat-MU atas diriku, begitu pula aku akui akan dosa-dosaku. Maka ampunilah aku. Karena sesungguhnya tak ada yang dapat memberi ampunan kecuali Engkau.” kemudian ia mati di pagi atau malamnya, niscaya ia masuk surga.)
Aku sangat yakin ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa akan mengampuni dosa-dosaku, selain dosa besar,..oh semoga aku selamat darinya, sebagaimana yang kuketahui dari lisan Nabi-NYA Shallallahu alaihi wa sallam :
ورمضان إلى رمضان مكفرات لما بينهن ما اجتنبت الكبائر (مسلم
(Antara Ramadhan ke bulan Ramadhan merupakan penghapus dosa, selain dosa besar)
Ya, peluang itu datang lagi. Aku berada di tengah-tengah waktu di mana seandainya aku melakukan satu kebaikan ALLAH Shallallahu alaihi wa sallam akan membalasnya berpuluh bahkan beratus kali lipat. Jika aku menolong seseorang itu seakan aku menolong berpuluh bahkan beratus orang. Jika aku bersedekah sekali itu seakan aku bersedekah puluhan bahkan ratusan kali. Sanggupkah aku lakukan yang demikian itu di waktu selain Ramadhan ? Mungkinkah yang demikian itu terjadi di waktu selain Ramadhan?
Ya, peluang itu datang lagi. Aku berada di tengah-tengah waktu di mana tak ada satu kebaikan yang aku lakukan lebih dihargai di hadapan ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa selain di waktu ini, tentunya selain amalan khusus di waktu ini, yakni shaum. Melalui Hadits Qudsyi, ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa telah berfirman:
كل عمل ابن آدم له إلا الصيام، فإنه لي وأنا أجزي به …(رواه ألبخاري
(Setiap amalan anak Adam kembali bagi nya, kecuali Shaum. Karena shaum itu untuk Aku. Aku sendiri yang akan mengganjarnya)
Paling tidak, seandainya aku berpuasa dan menegakkan malam-malamnya dengan sholat taraweh, ALLAH Subhaanahun wa ta’alaa akan mengampuni dosa-dosaku yang telah lampau. Ya, itu aku yakini, karena Nabi Yang Mulia Shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda:
من صام رمضان إيمانا وإحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه (متفق عليه
(Barang siapa yang menegakkan ramadhan didasari keimanan dan mengharapkan pahala, niscaya diampuni bagi nya dari dosa-dosanya yang lampau.)
Ya, tentu saja jika aku percaya dan yakin akan wajibnya puasa ini. Jika aku tidak mengatakan bahwa puasa ini sekedar adat kebiasaan. Jika aku tidak menyambutnya sebagai semata ritual budaya tahunan. Tetapi aku menerimanya sebagai sebuah kewajiban yang ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa bebankan kepada setiap muslim. kemudian aku mengharapkan ganjaran dari ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa -tidak dari selain DIA- atas puasaku ini, dan atas amalan-amalan ramadhanku ini.
Ya, aku harus mengharapkan ganjaran-NYA, dan ini bukan berarti aku tidak ikhlas dalam beribadah, seperti kata sebagian orang yang aku tahu itu keliru. Justru dengan mengharapkan ganjaran-NYA lah tanda keikhlasan itu. Bukankah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sendiri berdo’a dan meminta kepada ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa :
اللهم إني أسألك الجنة وأعوذ بك من النار
(Ya ALLAH. Sesungguhnya aku mengharapkan dari MU surga dan berlindung kepada MU dari api neraka.)
Dan Rasulullah SAW juga bersabda:
إذا جاء رمضان فتحت ابواب الجنة وغلقت ابواب الناروصفدت الشياطين (رواه مسلم
(Apabila datang bulan Ramadhan. Pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan syaithan-syaithan dibelenggu)
Ya, peluang itu datang lagi. Peluang di mana pintu-pintu rahmat-ALLAH terbuka lebar, sementara pintu-pintu neraka ditutup. Bahkan syaithan pun dibelenggu sehingga tidak leluasa mengganggu manusia, termasuk mengganggu diriku. Tinggallah aku sendiri. Apa yang akan aku lakukan di saat pahala dan ampunan ALLAH begitu mudah untuk diraih?
Ya, peluang itu datang lagi. Peluang untuk mendapatkan satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Lailatul Qadar !!! Malam di saat segala kebaikan dilipatgandakan lebih dari malam-malam yang lain. Malam yang seharusnya kupersiapkan diriku, manakala mendapatinya, berdo’a dengan do’a yang Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ajarkan kepada Aisyah radhiallahu anha
:
اللهم إنك عفو تحب العفوفاف عني
(Ya ALLAH. Sesungguhnya Engkau Maha Pema’af, maka ma’afkanlah aku.)
Ya, peluang itu datang lagi. Dan aku tahu, setiap manusia senantiasa butuh momentum. “Inilah saatnya ! Mumpung ! Kapan lagi ?” Semua itu merupakan ungkapan yang menunjukkan betapa sebuah momentum dapat menjadi motivator yang mampu melipatgandakan kemauan dan semangat.
Karenanya, ini pulalah saatnya untuk mulai menghentikan kebiasaan-kebiasaan burukku, dan mulai membiasakan berbagai kebaikan. Inilah saatnya meninggalkan berbagai kemaksiatan yang telah menjadi kebiasaanku, kemudian menjadikan berbagai amalan sholih dan ketaatan sebagai kebiasaanku yang baru.
Ya, peluang itu datang lagi dan sungguh tak boleh aku lupakan satu peristiwa penting di saat seorang manusia termulia di muka bumi ini meng-amin-kan ucapan dari seorang malaikat terkemuka di langit. Yakni, ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam meng-amin-kan ucapan Jibril alaihissalaam:
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ارتقى المنبر فقال آمين آمين آمين
فقيل له يا رسول الله ما كنت تصنع هذا
فقال قال لي جبرائيل عليه السلام رغم أنف عبد دخل عليه رمضان فلم يغفر له فقلت آمين
(Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu: Bahwasanya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika di atas mimbar pernah mengucapkan, ” Amin!, Amin!, Amin!” Maka beliaupun ditanya,” Apa yang menyebabkan engkau mengatakan itu, wahai Rasulullah?” Maka beliaupun menjawab, “Jibril berkata kepadaku :Merugilah orang yang mendapati bulan Ramadhan tetapi tidak memperoleh ampunan. Maka aku katakan: Amin...”
Ya, inilah saatnya meraih berjuta pahala, inilah saatnya meraih berjuta ampunan. Boleh jadi ini peluang terakhir bagiku. Dan alangkah merugi serta tak bersyukurnya aku seandainya bulan Ramadhan telah berlalu, sementara tak kuraih peluang ini.
Hari ini terlalu banyak yang telah berubah dan menjadi baik. Orang-orang yang semula kukenal tak pernah sholat, kini tak pernah tertinggal berjama’ah di masjid. Temanku yang dulu masih terbata-bata membaca Al Qur’an, sekarang sudah hafal beberapa juz. Juga tidak sedikit aku temui perempuan yang semula berpakaian seronok, kini bahkan nyamukpun tak menemukan sedikit celah untuk bisa mendarat di kulitnya. Subhaanallah, banyak sekali yang telah berubah…, kecuali diriku.
Hari ini tak sedikit orang yang kukenal baik telah pergi, meninggalkan alam dunia, meninggalkan aku… -yang juga belum berubah-. Dan hari ini kembali ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa mempertemukan aku dengan bulan Ramadhan. Artinya, sekali lagi ALLAH, mungkin yang terakhir kali, memberikan aku kesempatan, memberikan aku peluang
Ya, peluang itu datang lagi. Betapa tidak? Bukankah artinya ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa telah memanjangkan umurku, yang dengannya peluangku untuk memperbaiki diri serta mengumpulkan bekal masih terbuka. Bukankah Rasulullah SAW pernah berkata:
كل إبن أدم خطاء و خيرالخطا ئين التوابون (رواه الترمذي
(Setiap anak Adam pasti punya kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertobat)
Ya, hari ini kembali ALLAH memanggilku dengan panggilan terhormat serta memberikan harapan dan peluang untuk menjadi hamba-Nya yang bertaqwa.
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون
َ
(Artinya: Hai Orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian puasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang yang bertaqwa.) (Al Baqarah:183)
Ya, harus kuakui semua ni’mat ini, yakni panggilan dan peluang ini, sebagaimana juga harus kuakui akan dosa-dosaku selama ini. Maka pantaslah jika aku berharap ALLAH Subahaanahu wa ta’alaa akan mengampuniku, karena tak ada yang dapat memberi ampunan kecuali DIA. Ya, aku ingat betul sebuah do’a yang diajarkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam :
“من قال حين يصبح أو حين يمسي: اللهمَّ أنت ربي لا إله إلا أنت خلقتني وأنا عبدك
وأنا على عهدك ووعدك ما استطعت، أعوذ بك من شرِّ ما صنعت، أبوء لك بنعمتك علي،
وأبوء بذنبي فاغفر لي، إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت،
فمات من يومه أو من ليلته دخل الجنة”(رواه أبو داود)
(Barang siapa yang pagi atau sorenya berdo’a: “Allahumma, Engkaulah rabb-ku. Tak ada yang layak diibadahi selain Engkau. Engkaulah yang telah menciptakan aku, dan aku adalah hamba-MU, dan aku terikat perjanjian dengan MU segenap kemampuanku. Aku berlindung kepada MU dari segala keburukan yang aku perbuat. Aku akui akan ni’mat-MU atas diriku, begitu pula aku akui akan dosa-dosaku. Maka ampunilah aku. Karena sesungguhnya tak ada yang dapat memberi ampunan kecuali Engkau.” kemudian ia mati di pagi atau malamnya, niscaya ia masuk surga.)
Aku sangat yakin ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa akan mengampuni dosa-dosaku, selain dosa besar,..oh semoga aku selamat darinya, sebagaimana yang kuketahui dari lisan Nabi-NYA Shallallahu alaihi wa sallam :
ورمضان إلى رمضان مكفرات لما بينهن ما اجتنبت الكبائر (مسلم
(Antara Ramadhan ke bulan Ramadhan merupakan penghapus dosa, selain dosa besar)
Ya, peluang itu datang lagi. Aku berada di tengah-tengah waktu di mana seandainya aku melakukan satu kebaikan ALLAH Shallallahu alaihi wa sallam akan membalasnya berpuluh bahkan beratus kali lipat. Jika aku menolong seseorang itu seakan aku menolong berpuluh bahkan beratus orang. Jika aku bersedekah sekali itu seakan aku bersedekah puluhan bahkan ratusan kali. Sanggupkah aku lakukan yang demikian itu di waktu selain Ramadhan ? Mungkinkah yang demikian itu terjadi di waktu selain Ramadhan?
Ya, peluang itu datang lagi. Aku berada di tengah-tengah waktu di mana tak ada satu kebaikan yang aku lakukan lebih dihargai di hadapan ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa selain di waktu ini, tentunya selain amalan khusus di waktu ini, yakni shaum. Melalui Hadits Qudsyi, ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa telah berfirman:
كل عمل ابن آدم له إلا الصيام، فإنه لي وأنا أجزي به …(رواه ألبخاري
(Setiap amalan anak Adam kembali bagi nya, kecuali Shaum. Karena shaum itu untuk Aku. Aku sendiri yang akan mengganjarnya)
Paling tidak, seandainya aku berpuasa dan menegakkan malam-malamnya dengan sholat taraweh, ALLAH Subhaanahun wa ta’alaa akan mengampuni dosa-dosaku yang telah lampau. Ya, itu aku yakini, karena Nabi Yang Mulia Shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda:
من صام رمضان إيمانا وإحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه (متفق عليه
(Barang siapa yang menegakkan ramadhan didasari keimanan dan mengharapkan pahala, niscaya diampuni bagi nya dari dosa-dosanya yang lampau.)
Ya, tentu saja jika aku percaya dan yakin akan wajibnya puasa ini. Jika aku tidak mengatakan bahwa puasa ini sekedar adat kebiasaan. Jika aku tidak menyambutnya sebagai semata ritual budaya tahunan. Tetapi aku menerimanya sebagai sebuah kewajiban yang ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa bebankan kepada setiap muslim. kemudian aku mengharapkan ganjaran dari ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa -tidak dari selain DIA- atas puasaku ini, dan atas amalan-amalan ramadhanku ini.
Ya, aku harus mengharapkan ganjaran-NYA, dan ini bukan berarti aku tidak ikhlas dalam beribadah, seperti kata sebagian orang yang aku tahu itu keliru. Justru dengan mengharapkan ganjaran-NYA lah tanda keikhlasan itu. Bukankah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sendiri berdo’a dan meminta kepada ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa :
اللهم إني أسألك الجنة وأعوذ بك من النار
(Ya ALLAH. Sesungguhnya aku mengharapkan dari MU surga dan berlindung kepada MU dari api neraka.)
Dan Rasulullah SAW juga bersabda:
إذا جاء رمضان فتحت ابواب الجنة وغلقت ابواب الناروصفدت الشياطين (رواه مسلم
(Apabila datang bulan Ramadhan. Pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan syaithan-syaithan dibelenggu)
Ya, peluang itu datang lagi. Peluang di mana pintu-pintu rahmat-ALLAH terbuka lebar, sementara pintu-pintu neraka ditutup. Bahkan syaithan pun dibelenggu sehingga tidak leluasa mengganggu manusia, termasuk mengganggu diriku. Tinggallah aku sendiri. Apa yang akan aku lakukan di saat pahala dan ampunan ALLAH begitu mudah untuk diraih?
Ya, peluang itu datang lagi. Peluang untuk mendapatkan satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Lailatul Qadar !!! Malam di saat segala kebaikan dilipatgandakan lebih dari malam-malam yang lain. Malam yang seharusnya kupersiapkan diriku, manakala mendapatinya, berdo’a dengan do’a yang Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ajarkan kepada Aisyah radhiallahu anha
:
اللهم إنك عفو تحب العفوفاف عني
(Ya ALLAH. Sesungguhnya Engkau Maha Pema’af, maka ma’afkanlah aku.)
Ya, peluang itu datang lagi. Dan aku tahu, setiap manusia senantiasa butuh momentum. “Inilah saatnya ! Mumpung ! Kapan lagi ?” Semua itu merupakan ungkapan yang menunjukkan betapa sebuah momentum dapat menjadi motivator yang mampu melipatgandakan kemauan dan semangat.
Karenanya, ini pulalah saatnya untuk mulai menghentikan kebiasaan-kebiasaan burukku, dan mulai membiasakan berbagai kebaikan. Inilah saatnya meninggalkan berbagai kemaksiatan yang telah menjadi kebiasaanku, kemudian menjadikan berbagai amalan sholih dan ketaatan sebagai kebiasaanku yang baru.
Ya, peluang itu datang lagi dan sungguh tak boleh aku lupakan satu peristiwa penting di saat seorang manusia termulia di muka bumi ini meng-amin-kan ucapan dari seorang malaikat terkemuka di langit. Yakni, ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam meng-amin-kan ucapan Jibril alaihissalaam:
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ارتقى المنبر فقال آمين آمين آمين
فقيل له يا رسول الله ما كنت تصنع هذا
فقال قال لي جبرائيل عليه السلام رغم أنف عبد دخل عليه رمضان فلم يغفر له فقلت آمين
(Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu: Bahwasanya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ketika di atas mimbar pernah mengucapkan, ” Amin!, Amin!, Amin!” Maka beliaupun ditanya,” Apa yang menyebabkan engkau mengatakan itu, wahai Rasulullah?” Maka beliaupun menjawab, “Jibril berkata kepadaku :Merugilah orang yang mendapati bulan Ramadhan tetapi tidak memperoleh ampunan. Maka aku katakan: Amin...”
Ya, inilah saatnya meraih berjuta pahala, inilah saatnya meraih berjuta ampunan. Boleh jadi ini peluang terakhir bagiku. Dan alangkah merugi serta tak bersyukurnya aku seandainya bulan Ramadhan telah berlalu, sementara tak kuraih peluang ini.
Wednesday, April 15, 2009
Pendidikan Anak
Abu Khaulah Zainal Abidin
Terlanjur cerdas ? Cerdas koq bisa terlanjur ? Bukankah setiap orang mendambakan anaknya cerdas ? Apalagi kata “terlanjur” konotasinya jelek . -suatu yang tidak diharapkan-, seperti; terlanjur basah, terlanjur jatuh, atau terlanjur menjadi bubur,
Anak cerdas, siapa tak mau ? Tetapi itu bukan segala-galanya. Terlebih kalau ia dijadikan dasar bagi segala pertimbangan, mengalahkan bekal-bekal hidup lainnya yang mutlak dimiliki setiap manusia. Apalagi jika yang dimaksud cerdas itu tak lebih dari sebentuk kemampuan menalar, memahami, dan menarik kesimpulan, atau sekedar mampu berpikir logis , menemukan dan memecahkan jawaban-jawaban matematis.
Bahkan sekalipun kecerdasan itu -juga- meliputi kemampuan mengenal dan mengelola perasaan diri, yang dengannya seseorang mampu memahami kemudian merespon orang lain melalui sikap dan tindakan. Sejenis potensi -yang menurut teori Emotional Quotient (EQ)-nya Goleman- berupa kecerdasan emosional, yang berfungsi mengimbangi kecerdasan intelektual !
Bahkan sekalipun kecerdasan itu -juga- berupa kemampuan memahami akan nilai-nilai dan makna kehidupan, menumbuhkan harapan-harapan serta keyakinan. Sejenis potensi -yang menurut teori Spiritual Quotient (SQ)-nya Danah Zohar dan Ian Marshall- berupa kecerdasan spiritual, yang berfungsi mengimbangi bahkan mengendalikan kecerdasan intelektual dan emosional sekaligus !
* Latih Mereka Menjadi Orang Yang Amanah
Sesungguhnya amanah dan sifat-sifat yang menyertainya, seperti jujur, menepati janji, dan tidak khianat merupakan dasar dari segala bentuk tanggung-jawab pada setiap pribadi -sebagai apapun dia-. Karena jujur dan bersifat amanah adalah awal dan modal dasar bagi seseorang di dalam hidup bermasyarakat. Untuk mengemban inilah ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa- menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْأِنْسَانُ
إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً (الأحزاب:72)
(Sesungguhnya, telah Kami kemukakan amanat kepada langit, bumi ,dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu, khawatir akan mengkhianatinya. Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh) (Al Ahzab: 72)
Melalui ayat di atas, tampaklah bahwa Amanah -berupa keta’atan dan kejujuran- adalah sesuatu yang ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa bebankan kepada manusia, namun manusia menganggapnya sebagai suatu perkara yang sepele. Karena itu ALLAH Subhaanahu wa ta’alla mencap manusia sebagai makhluq yang zalim dan bodoh. Artinya, menyepelekan perkara amanah merupakan satu di antara bentuk kezaliman. Dan seorang yang tidak amanah hanya mungkin cerdas dalam pandangan manusia, namun tidak dalam pandangan ALLAH.
Maka apa jadinya kecerdasan itu jika tidak dibarengi dengan kejujuran dan sifat amanah. Bukankah kezaliman yang ditimbulkannya akan menjadi berlipat ganda dibanding apabila tak disertai kecerdasan. Dengan kepandaian berbicara serta mengelola mimik dan tingkah laku secara meyakinkan -sebagaimana pemain sandiwara-, si cerdas tadi mengelabui manusia, menciptakan berjuta alasan untuk mengingkari janji, dan mengkhianati kepercayaan manusia kepadanya. Semua itu dengan modal kecerdasan.
Maka hendaknya sejak dini pendidikan harus mengutamakan perkara ini. Arti jujur dan amanah sudah harus diperkenalkan sejak pertama kali anak bisa diberi sedikit pengertian, Segala upaya dan sarana yang dapat menanamkan kejujuran dan menumbuhkan sifat amanah harus diciptakan. Dan segala suasana dan sarana yang dapat menghantarkan kepada sifat-sifat bohong, mungkir, dan khianat harus dihilangkan dari segala media pendidikan.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda:
عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:آية المنافق ثلاث: إذا حدث كذب، وإذا وعد أخلف،
وإذا اؤتمن خان. (البخاري)
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- , dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabada: “Tanda kemunafiqan itu tiga. Jika bicara, dusta. Jika berjanji, ingkar. Jika diamanahi, khianat.” (HR; Al Bukhari)
Melalui Hadits di atas nampak bahwa dusta, ingkar janji, dan khianat berasal dari akar sifat yang sama, yakni munafiq..Karena itu, jika kita mengajari anak berdusta, mengingkari janji, dan mengkhianati amanah, artinya kita telah menanamkan sifat-sifat munafiq pada anak.
Tentu saja tak ada orang tua yang menginginkan anaknya jadi orang munafiq. Tak ada orang tua -yang sehat- merasa atau mengaku telah mengajari anaknya berdusta, terbiasa mengingkari janji, atau mengkhianati amanah. Tentu saja kita semua tidak merasa telah berbuat seperti itu.
Tetapi kenapa dongeng-dongeng khayali yang kita jejali ke telinga mereka sebagai pengantar tidurnya ? Kenapa kita biarkan mereka membaca cerita-cerita fiktif sejak pertama sekali mereka bisa membaca ? Kenapa sandiwara dan sinetron kita biarkan menjadi konsumsi mereka sehari-hari ? Apalagi kalau disertai harapan dapat mengambil pelajaran atau hikmah darinya -seperti kebanyakan orang yang menganggap film atau sandiwara bisa jadi media da’wah. Bukankah itu semua dusta ? Kalau tidak dusta dari sisi cerita, dusta dari sisi peran. Bagaimana mungkin kita mengajarkan nilai kejujuran lewat cara-cara dusta ?
Selain itu, mungkin kita sering mengingkari apa yang kita janjikan kepada anak kita Beli sepeda baru, berlibur ke rumah nenek, atau tamasya ke pantai, yang berulang kali janji tersebut harus kita perbaharui sambil tak lupa mengumbar macam-macam alasan. Menyuruh anak -berbohong- menjawab telepon atau mengatakan kepada tamu di depan rumah , “Papa tidak ada!“, Atau kita pernah ancam mereka, “Awas, jangan kasih tahu Mama!“
Sungguh ternyata kita sendiri lah yang telah membuat anak-anak terbiasa dengan dusta. Ya, ternyata kita sendiri yang menginginkan -tanpa kita sadari- mereka jadi orang munafiq. Ternyata kita sendiri yang mengajari -tanpa kita sadari- mereka suka mengingkari janji dan mengkhianati amanah.
Maka tindakan yang harus ditempuh untuk mencetak anak-anak yang jujur dan amanah adalah meninggalkan cara-cara atau kebiasaan di atas. Selain itu perlu ditempuh upaya-upaya berupa latihan dan pembiasaan guna menanamkan sifat jujur, menepati janji, dan menjaga amanah. Anak perlu dilatih mengemban amanah-amanah yang mampu ia pertanggungjawabkan. Beri kesempatan mereka berjanji dan ajarkan serta mudahkan agar mereka mampu menunaikannya. Berikan sanksi -walaupun ringan- atas pelanggaran janjinya. Ajarkan mereka bersikap jujur serta ceritakan kepada mereka keutamaan bersikap jujur, tetapi bukan melalui dongeng atau cerita fiktif. Sebab -ingat sekali lagi- mustahil menanamkan kejujuran melalui kedustaan. Sampaikan kepada mereka kisah-kisah orang jujur serta buah dari kejujuran, seperti kisah Ka’ab bin Malik -radhiallahu anhu-.
Ya, sebelum anak terlanjur cerdas, hendaknya kita tanamkan pada diri mereka kecenderungan kepada sifat jujur dan menjaga amanah. Sebab, apalah artinya kecerdasan tanpa kejujuran dan sifat amanah. Bukankah kita tidak menghendaki anak kita menjadi orang yang pandai menipu.
* Biasakan Mereka Bersikap Santun
Manusia adalah makhluq bermasyarakat yang tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Sopan-santun merupakan sifat mulia yang dapat menimbulkan rasa tenang dan hangat di dalam pergaulan bermasyarakat. Juga merupakan di antara sifat-sifat yang disukai ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah berkata kepada Abdul Qais -radhiallahu anhu- :
“إن فيك خصلتين يحبهما الله: الحلم والأناة”.(رواه مسلم)
“Sesungguhnya pada dirimu ada dua sifat yang dicintai ALLAH. Arif dan santun.” (HR; Muslim)
Sopan-santun adalah sifat yang membuat pemiliknya disukai oleh orang lain, yang dengannya orang lain merasa aman dari lisan dan perbuatannya, sebagaimana sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- :
عن عامر قال: سمعت عبد الله بن عمرو يقول:
قال النبي صلى الله عليه وسلم: المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده، (ألبخاري)
“Muslim (-yang sempurna-) adalah yang orang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (HR: Al Bukhari)
Betapa tidak, dengannya ia akan menjaga lisan dan perbuatannya agar tidak mengganggu atau menyakiti orang lain. Dengannya pula ia bisa menempatkan diri di tengah lingkungannya. Ia mampu bersikap secara tepat di hadapan orang yang lebih tua, orang yang lebih muda, bahkan di hadapan orang-orang selayaknya dia belajar kepadanya. Dan ini merupakan satu di antara tanda-tanda pengikut Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-, sebagaimana sabdanya:
عن عبادة بن الصامت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
ليس منا من لم يجل كبيرنا ويرحم صغيرنا ويعرف لعالمنا
Dari Ubadah ibn Ash-Shaamit, bahwa Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Tidaklah termasuk umatku, mereka yang tidak hormat kepada orang-orang tua kami, tidak sayang kepada orang-orang muda kami, dan tidak mengakui ulama-ulama kami.” (Mustadrak Al Hakim)
Lebih dari itu, santun juga merupakan wujud dari kelembutan hati pemiliknya. Karena mustahil seseorang memiliki sikap santun jika tidak memiliki kelembutan hati. Kelembutan hati lah yang menyebabkan seseorang senantiasa berhati-hati ketika bersikap di hadapan orang lain. Dan ini merupakan sifat yang disukai ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa- , sebagaimana yang dikatakan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- kepada Aisyah -radhiallahu anha-:
يا عائشة، إن الله رفيق يحب الرفق في الأمر كله ( متفق عليه)
“Ya, Aisyah. Sesungguhnya ALLAH bersifat Lemah-Lembut, menyukai kelemahlembutan di dalam segala perkara.” (Muttafaqun Alaih)
Disebabkan santun dan lemah lembut lah akan terjaga persahabatan, bahkan ukhuwah (persaudaraan) dan terlaksana tolong-menolong -”ta’awun alal birri wat taqwa“- , yang mustahil semua itu terjadi tanpa dilandasi sifat-sifat di atas. Yakni sifat yang dapat memperindah dan mempercantik seseorang. Sifat yang membuat sebuah pribadi laku di dalam pergaulan. Sifat yang dengannya ia tidak hanya memikirkan dirinya semata, bahkan senatiasa berupaya sekuat tenaga memberikan kebaikan kapada saudaranya sebagaimana ia harapkan kebaikan itu juga berlaku baginya. Lebih dari itu, dengan sifat tersebut ia mampu memiliki empati terhadap penderitaan saudaranya. Perhatikanlah sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- di bawah ini:
عن أناس بن مالك عن النبي صلىالله عليه وسلم قال: لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه
“Tidak sempurna iman kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya.” (HR: Al Bukhari - Muslim)
عن النعمان بن بشير. قال:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
“مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم، مثل الجسد.
إذا اشتكى منه عضو، تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى”.(رواه مسلم)
Dari An-Nu’man bin Basyir -radhiallahu anhu-, berkata, telah bersabda Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- :“Perumpamaan orang-orang mu’min di dalam cinta kasih sayangnya dan keterikatannya seperti jasad yang satu. Apabila sakit salah satu anggota tubuhnya, maka seluruh tubuhnya ikut merasakan sakitnya dengan panas dan demam.” (HR: Muslim)
Dengan demikian, segala upaya -sarana dan metode apa saja- yang dapat menumbuhkan sifat mulia ini harus ditempuh. Pendidikan sejak dini harus diarahkan untuk menumbuhkan sifat-sifat sopan-santun dan lemah-lembut. Orang tua harus memastikan sifat-sifat ini melekat pada anaknya sebelum anaknya terlanjur cerdas. Do’a, dzikir, shadaqah, menyantuni anak yatim, gotong-royong, atau menolong orang yang kesusahan adalah di antara hal yang dapat melembutkan hati.
Kemudian, hendaknya sejak kecil anak dibimbing bagaimana cara bertutur, duduk, bahkan berjalan di hadapan orang yang lebih tua. Juga bagaimana di hadapan orang yang lebih muda. Kesantunan dan sikap rendah hati mereka juga harus kita perhatikan manakala mereka berjalan dan mengeluarkan suara. Perhatikanlah wasiat Luqman kepada anaknya -sebagaimana yang diabadikan di dalam Al Qur’an- :
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
(Artinya: “Dan sederhanalah di dalam berjalan serta rendahkan suaramu. Karena seburuk-buruk suara adalah suara keledai.”) (Luqman: 19)
Di samping itu, apa saja yang dapat menumbuhkan sifat-sifat sebaliknya, seperti kurang-ajar, tak tahu malu, atau beringas harus dihilangkan dari segala media pendidikan dan pemandangan mereka sehari-hari. Perhatikanlah peringatan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- akan hal ini:
“ياعائشة ارفقي؛ فإِنَّ الرِّفقَ لم يكن في شىء قطُّ إلا زانه، ولا نزع من شىءٍ قطُّ إلاّ شانه”. (ابو داود)
“Ya, A’isyah. Berlemahlembutlah. Karena sesungguhnya tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali ia menjadi penghiasnya. Dan tidaklah kelembutan tercabut dari sesuatu kecuali ia menjadikan sesuatu itu jelek.”
Pada kesempatan lain:
“من يحرم الرفق يحرم الخير (رواه مسلم)
“Siapa yang terhalang untuk bersikap lembut, maka terhalang pula baginya kebaikan.”
Maka untuk itu, jauhkan dari anak penampilan sifat-sifat yang tidak baik, seperti kasar, brutal, sadis, vulgarisme, dan sikap tak punya malu, mulai dari bacaan, tontonan, maupun bentuk-bentuk permainan dan lingkungan pergaulan mereka. Yang kesemua itu lambat laun akan membentuk keperibadiannya. Orang tua harus memastikan tanda-tanda dari sifat-sifat yang tidak baik ini tak ada pada anaknya sebelum anaknya terlanjur cerdas.
Ya, sebelum anak terlanjur cerdas, hendaknya mereka telah terbiasa bersikap santun dan lemah lembut. Sebab apalah artinya kecerdasan jika tidak dibarengi dengan pekerti santun dan lembut hati, bahkan sekalipun anak tersebut jujur. Bukankah kita tak menghendaki mereka menjadi robot; cerdas, jujur, kaku, dingin, dan berpotensi menjadi sadis!!!
* Didik Mereka Untuk Rajin
Rajin merupakan satu sifat yang sangat dipuji dalam Islam. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- di dalam berbagai ungkapan menjelaskan akan keutamaannya . Di antara lain ucapannya -Shallallahu alaihi wa sallam- adalah:
عن أبي هريرة ؛ قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول:
“لأن يغدو أحدكم فيحطب على ظهره، فيتصدق به ويستغني به من الناس، خير له من أن يسأل رجلا،
أعطاه أو منعه ذلك. فإن اليد العليا أفضل من اليد السفلى. وابدأ بمن تعول”. (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu-, berkata: Aku telah mendangar Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda: “Sungguh seorang di antara kalian berangkat ke luar mengikat kayu di atas punggungnya dan bersedakah dengannya serta menjaga diri dari manusia itu lebih baik dari pada meminta-minta, diberi ataupun tidak. Karena sesungguhnya tangan yang di atas lebih utama dari pada tangan yang di bawah. Dan mulailah dari yang menjadi tanggunganmu.” (HR: Muslim)
عن أبي هريرة قال وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: كان داود لا يأكل إلا من عمل يده
“Sesungguhnya Daud -Alaihissalaam- tidak makan kecuali dari hasil karya tangannya” (HR: Bukhari)
Ungkapan di atas -dan masih banyak lagi yang sema’na- menunjukkan betapa sifat rajin sangat ditekankan di dalam Islam. Syari’at diadakan tidak lain untuk memelihara lima hal. Memelihara agama, aqal, kehormatan, darah, dan harta. Dan rajin merupakan di antara sifat yang harus dimiliki demi menjaga kehormatan diri. Dengan sifat rajin pulalah seorang menjadi pribadi yang berguna bagi diri dan sekitarnya, bukan menjadi cela bagi diri dan beban bagi orang di sekitarnya.
Maka hendaknya segala sarana dan metode yang dapat menumbuhkan sifat rajin pada anak harus diupayakan. Melatih anak untuk bangun pagi, merapihkan kamar tidur, membersihkan kamar mandi, menyapu ruangan, teras, dan halaman, semua itu merupakan upaya pertama yang harus dilakukan untuk membiasakan anak bekerja dan menumbuhkan sifat rajin. Ketika sampai usia belajar, maka hendaknya dahulukan mengajar mereka menulis sebelum membaca. Biarkan anak belajar membaca dari apa yang dia tulis, karena menulis itu sifatnya aktif sedang membaca pasif. Perhatikan perkembangan kemampuan psikomotorik-nya untuk mengimbangi kemampuan kognitif-nya. Ajarkan pula mereka, misalnya, terbiasa mengolah barang-barang bekas sebelum mengambil keputusan untuk membeli yang baru.
Sebaliknya, segala penyebab, sarana, dan metode yang dapat menumbuhkan sifat malas pada anak harus ditiadakan atau dijauhkan dari anak. Malas -selain produk sistim sosial- asalnya adalah masalah fisik -seperti terlalu lemahnya tubuh untuk bergerak atau melakukan satu pekerjaan- . Namun jika tidak segera diambil tindakan ia berubah menjadi masalah mental. Karenanya, orang tua harus memperhatikan pertumbuhan fisik anak dan perkembangan motorik atau keterampilannya. Sudahkah gizi yang dibutuhkan bagi pertumbuhannya tercukupi ?Apakah ia terlalu kurus atau gemuk untuk umurnya ? Proporsionalkah berat badan dengan tingginya ? Apakah ia sudah bisa menjaga keseimbangan tubuhnya ? Cukup lincahkah gerakannya ? Bagaimana akurasi gerak atau bidikannya? Bagaimana kecepatan geraknya ? Bagaimana kekuatan tenaganya ? Bagaimana ketahanan tubuhnya, baik ketika menahan beban maupun ketika menahan lelah ? Keseluruhan masalah di atas -meski tidak selalu- sedikit banyak berpengaruh terhadap mentalnya.
Ulangi sering-sering sabda Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- berikut ini:
“المؤمن القوي خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف. وفي كل خير.
احرص على ما ينفعك واستعن بالله. ولا تعجز… (رواه مسلم)
Mu’min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai ALLAH ketimbang mu’min yang lemah. Dan pada seluruhnya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah di dalam hal yang mendatangkan manfa’at bagimu, serta mohonlah pertolongan kepada ALLAH dan jangan merasa lemah…. (HR; Muslim)
Karenanya, segala bentuk kamuflase, dari kemalasan -ngamen misalnya-, atau main kartu, dadu, dan segala bentuk permainan yang menghabiskan waktu tidak boleh kita biarkan dilihat oleh anak kita kecuali kita jelaskan kepada mereka, “Itu orang malas! Itu pekerjaan orang malas !” Karena sesungguhnya, melalui kamufalse kemalasan yang sering mereka lihat lah kemalasan -sadar atau tidak disadari- menemukan pembenaran teorits, bahkan filosofisnya, Dan sifat licik merupakan hasil kombinasi cerdas dengan malas.
Kemudian, jangan dikira bahwa malas itu sekedar masalah mental. Malas juga bisa menjadi masalah keyakinan. Sebagaimana hasad (dengki) mengurangi kesempurnaan iman akan Taqdir, begitu pula dengan malas. Ketahuilah, bahwa sifat rajin akan menumbuhkan optimisme, dan optimisme adalah bagian dari wujud husnudz-dzonn billah (berbaik sangka kepada ALLAH). Maka, sebaliknya, malas akan menumbuhkan pesimisme, dan pesimisme adalah bagian dari wujud su’udz-dzon billah (berburuk sangka kepada ALLAH). Padahal Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- telah berwasiat::
“لا يموتن أحدكم إلا وهو يحسن الظن بالله عز وجل“.
“Jangan kalian mati, kecuali di dalam keadaan berbaik sangka kepada ALLAH.” (HR:Muslim dari Jabir bin Abdillah -radhiallahu anhu-)
Lebih dari itu, malas pulalah di antara -selain ilmu dan keyakinan- yang menyebabkan manusia -karena ingin menempuh jalan pintas- terjerumus ke dalam judi, lottre, bahkan ke dalam berbagai bentuk kesyirikan, seperti meminta kekayaan kepada kuburan, pohon, atau benda mati lainnya.
Ya, sebelum anak terlanjur cerdas, hendaknya mereka sudah terbiasa hidup rajin. Sebab, apalah jadinya jika anak terlanjur cerdas, sementara ia terbiasa dikuasai perasaan malasnya. Bukankah kita tidak menghandaki mereka menjadi orang yang licik.
* Bina Mereka Menjadi Pribadi Yang Kuat
Badan yang kuat lebih berdaya guna ketimbang badan yang lemah. Dengan kekuatan bukan saja seseorang mampu menopang dirinya, bahkan mampu menolong orang lain. Dengan kekuatan seseorang mampu berlari dan melompat. Dengan kekuatan seseorang mampu memanggul beban di punggungnya atau bertahan melawan dorongan arus. Dengan kekuatan pulalah seseorang mampu menghadapi cuaca buruk dan memiliki kekebalan untuk melawan penyakit.
Maka demikian pula jiwa yang kuat. Islam memuji sifat kuat dan mengaitkannya dengan sabar. Kuat, sabar, atau tabah merupakan modal di dalam mengarungi kehidupan -yang memerlukan perjuangan dan penuh dengan cobaan-. Dengannya ia lebih berdaya guna, bermanfaat bagi orang lain, bersemangat dan kreatif, mampu memikul tanggung jawab dan berpendirian, serta mampu beradaptasi dan menetralisir perasaan dirinya. Karenanya, Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- mengajari kita memaknai kekuatan dengan kesabaran dan kemampuan mengendalikan hawa nafsu, sebagaimana sabdanya:
عن أبي هريرة رضي الله عنه:أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
ليس الشديد بالصرعة، إنما الشديد الذي يملك نفسه عند الغضب.(البخاري)
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu-, bahwasanya Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda: “Bukanlah yang dikatakan kuat itu jago gulat. Akan tetapi yang dikatakan kuat adalah yang mampu menguasai hawa-nafsunya ketika marah.” (HR: Al Bukhari)
Ya, dengan kesabaran akan lahir berbagai macam kebaikan. Manusia menjadi semakin kuat kemauannya, semakin tegar menghadapi tantangan, serta semakin tenang menghadapi ujian dan cobaan. Maka, upaya dan metode apa saja yang dapat melahirkan serta menumbuhkan kepribadian yang kuat dan sabar harus diciptakan. Perkara kuat dan sabar sudah harus mulai diajarkan ma’nanya dan ditanamkan kepada anak sedini mungkin. Pendidikan harus menjadikannya sebagai program dasar pembinaan sebelum yang lainnya. Perhatikan bagaimana Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- mengajarkan beberapa kalimat kepada Ibnu Abbas -radhiallahu anhu- , yang ketika itu usianya belum mencapai sepuluh tahun:
“….Ketahuilah. Bahwa seandainya seluruh manusia bersatu ingin memberikan manfa’at kepadamu, mereka tak akan mampu melakukannya lebih dari yang telah ALLAH tetapkan bagimu. Dan seandainya mereka bersatu ingin mencelakakanmu, mereka tak akan mampu melakukannya lebih dari yang telah ALLAH tetapkan atas mu….” (HR: At-Tirmidzi dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhu-)
“…Ketahuilah. Bahwa pertolongan ALLAH datang melalui kesabaran, bersama perjuangan ada pengorbanan, dan bersama kesulitan ada kemudahan…”
Sebaliknya, segala sarana dan metode yang akan membentuk kepribadian cengeng, mudah marah, mudah patah semangat, dan mudah putus asa harus dihilangkan dari media pendidikan kita. Karena sesungguhnya seluruh sifat-sifat tersebut bersumber dari yang satu, lemah. Anak yang gampang menangis sebetulnya sama dengan anak yang gampang marah. Kemasannya saja yang berbeda, tetapi hakekatnya sama, lemahnya jiwa. Maka, jangan biarkan anak kita mengkonsumsi hal-hal yang melemahkan jiwanya, berupa sya’ir atau lagu-lagu cengeng, serta novel atau film-film picisan. Jangan biarkan anak terbiasa memanjakan perasaannya.
Ajarkan kepada mereka nilai-nilai kesatriaan, kesabaran dan ketangguhan yang diambil dari kisah para Nabi -alaihimussallam-, para Sahabat Nabi -radhiallahu anhum-, atau para Ulama dan Mujahid -rahimahumullah-, dan jangan sekali-kali lewat dongeng atau cerita fiktif. Jangan berlebihan memberikan perlindungan pada mereka. Biarkan mereka melatih diri menyelesaikan persoalan-persoalan mereka, baik di dalam menghadapi tantangan masalah, maupun terhadap teman-teman sebayanya. Jangan terlalu cepat memenuhi permintaan mereka, seandainya tidak mendesak. Jika mereka minta 10, berikan 5. Jika mereka minta sekarang, berikan nanti. Ajari mereka bersabar manakala tidak terpenuhi permintaannya. Atau masih banyak lagi cara dan kesempatan untuk melatih kesabaran dan kekuatan mereka.
Ya, sebelum anak terlanjur cerdas, hendaknya mereka telah terlatih bersabar serta memiliki jiwa yang kuat. Lemah akan menjadikan mereka mudah dipengaruhi orang serta gampang lari dari tanggung jawab. Apalah artinya kecerdasan jika tidak diiringi sifat kuat dan sabar. Bukankah kita tidak menghendaki anak kita menjadi orang yang pengecut, karena ternyata pengecut itu merupakan kombinasi cerdas dengan lemah.
Ya, apalah artinya cerdas tanpa amanah, santun, rajin, dan kuat. Bukankah kita tak menginginkan anak kita menjadi seorang penipu sadis yang licik lagi pengecut.
Terlanjur cerdas ? Cerdas koq bisa terlanjur ? Bukankah setiap orang mendambakan anaknya cerdas ? Apalagi kata “terlanjur” konotasinya jelek . -suatu yang tidak diharapkan-, seperti; terlanjur basah, terlanjur jatuh, atau terlanjur menjadi bubur,
Anak cerdas, siapa tak mau ? Tetapi itu bukan segala-galanya. Terlebih kalau ia dijadikan dasar bagi segala pertimbangan, mengalahkan bekal-bekal hidup lainnya yang mutlak dimiliki setiap manusia. Apalagi jika yang dimaksud cerdas itu tak lebih dari sebentuk kemampuan menalar, memahami, dan menarik kesimpulan, atau sekedar mampu berpikir logis , menemukan dan memecahkan jawaban-jawaban matematis.
Bahkan sekalipun kecerdasan itu -juga- meliputi kemampuan mengenal dan mengelola perasaan diri, yang dengannya seseorang mampu memahami kemudian merespon orang lain melalui sikap dan tindakan. Sejenis potensi -yang menurut teori Emotional Quotient (EQ)-nya Goleman- berupa kecerdasan emosional, yang berfungsi mengimbangi kecerdasan intelektual !
Bahkan sekalipun kecerdasan itu -juga- berupa kemampuan memahami akan nilai-nilai dan makna kehidupan, menumbuhkan harapan-harapan serta keyakinan. Sejenis potensi -yang menurut teori Spiritual Quotient (SQ)-nya Danah Zohar dan Ian Marshall- berupa kecerdasan spiritual, yang berfungsi mengimbangi bahkan mengendalikan kecerdasan intelektual dan emosional sekaligus !
* Latih Mereka Menjadi Orang Yang Amanah
Sesungguhnya amanah dan sifat-sifat yang menyertainya, seperti jujur, menepati janji, dan tidak khianat merupakan dasar dari segala bentuk tanggung-jawab pada setiap pribadi -sebagai apapun dia-. Karena jujur dan bersifat amanah adalah awal dan modal dasar bagi seseorang di dalam hidup bermasyarakat. Untuk mengemban inilah ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa- menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْأِنْسَانُ
إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً (الأحزاب:72)
(Sesungguhnya, telah Kami kemukakan amanat kepada langit, bumi ,dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu, khawatir akan mengkhianatinya. Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh) (Al Ahzab: 72)
Melalui ayat di atas, tampaklah bahwa Amanah -berupa keta’atan dan kejujuran- adalah sesuatu yang ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa bebankan kepada manusia, namun manusia menganggapnya sebagai suatu perkara yang sepele. Karena itu ALLAH Subhaanahu wa ta’alla mencap manusia sebagai makhluq yang zalim dan bodoh. Artinya, menyepelekan perkara amanah merupakan satu di antara bentuk kezaliman. Dan seorang yang tidak amanah hanya mungkin cerdas dalam pandangan manusia, namun tidak dalam pandangan ALLAH.
Maka apa jadinya kecerdasan itu jika tidak dibarengi dengan kejujuran dan sifat amanah. Bukankah kezaliman yang ditimbulkannya akan menjadi berlipat ganda dibanding apabila tak disertai kecerdasan. Dengan kepandaian berbicara serta mengelola mimik dan tingkah laku secara meyakinkan -sebagaimana pemain sandiwara-, si cerdas tadi mengelabui manusia, menciptakan berjuta alasan untuk mengingkari janji, dan mengkhianati kepercayaan manusia kepadanya. Semua itu dengan modal kecerdasan.
Maka hendaknya sejak dini pendidikan harus mengutamakan perkara ini. Arti jujur dan amanah sudah harus diperkenalkan sejak pertama kali anak bisa diberi sedikit pengertian, Segala upaya dan sarana yang dapat menanamkan kejujuran dan menumbuhkan sifat amanah harus diciptakan. Dan segala suasana dan sarana yang dapat menghantarkan kepada sifat-sifat bohong, mungkir, dan khianat harus dihilangkan dari segala media pendidikan.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda:
عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:آية المنافق ثلاث: إذا حدث كذب، وإذا وعد أخلف،
وإذا اؤتمن خان. (البخاري)
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- , dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabada: “Tanda kemunafiqan itu tiga. Jika bicara, dusta. Jika berjanji, ingkar. Jika diamanahi, khianat.” (HR; Al Bukhari)
Melalui Hadits di atas nampak bahwa dusta, ingkar janji, dan khianat berasal dari akar sifat yang sama, yakni munafiq..Karena itu, jika kita mengajari anak berdusta, mengingkari janji, dan mengkhianati amanah, artinya kita telah menanamkan sifat-sifat munafiq pada anak.
Tentu saja tak ada orang tua yang menginginkan anaknya jadi orang munafiq. Tak ada orang tua -yang sehat- merasa atau mengaku telah mengajari anaknya berdusta, terbiasa mengingkari janji, atau mengkhianati amanah. Tentu saja kita semua tidak merasa telah berbuat seperti itu.
Tetapi kenapa dongeng-dongeng khayali yang kita jejali ke telinga mereka sebagai pengantar tidurnya ? Kenapa kita biarkan mereka membaca cerita-cerita fiktif sejak pertama sekali mereka bisa membaca ? Kenapa sandiwara dan sinetron kita biarkan menjadi konsumsi mereka sehari-hari ? Apalagi kalau disertai harapan dapat mengambil pelajaran atau hikmah darinya -seperti kebanyakan orang yang menganggap film atau sandiwara bisa jadi media da’wah. Bukankah itu semua dusta ? Kalau tidak dusta dari sisi cerita, dusta dari sisi peran. Bagaimana mungkin kita mengajarkan nilai kejujuran lewat cara-cara dusta ?
Selain itu, mungkin kita sering mengingkari apa yang kita janjikan kepada anak kita Beli sepeda baru, berlibur ke rumah nenek, atau tamasya ke pantai, yang berulang kali janji tersebut harus kita perbaharui sambil tak lupa mengumbar macam-macam alasan. Menyuruh anak -berbohong- menjawab telepon atau mengatakan kepada tamu di depan rumah , “Papa tidak ada!“, Atau kita pernah ancam mereka, “Awas, jangan kasih tahu Mama!“
Sungguh ternyata kita sendiri lah yang telah membuat anak-anak terbiasa dengan dusta. Ya, ternyata kita sendiri yang menginginkan -tanpa kita sadari- mereka jadi orang munafiq. Ternyata kita sendiri yang mengajari -tanpa kita sadari- mereka suka mengingkari janji dan mengkhianati amanah.
Maka tindakan yang harus ditempuh untuk mencetak anak-anak yang jujur dan amanah adalah meninggalkan cara-cara atau kebiasaan di atas. Selain itu perlu ditempuh upaya-upaya berupa latihan dan pembiasaan guna menanamkan sifat jujur, menepati janji, dan menjaga amanah. Anak perlu dilatih mengemban amanah-amanah yang mampu ia pertanggungjawabkan. Beri kesempatan mereka berjanji dan ajarkan serta mudahkan agar mereka mampu menunaikannya. Berikan sanksi -walaupun ringan- atas pelanggaran janjinya. Ajarkan mereka bersikap jujur serta ceritakan kepada mereka keutamaan bersikap jujur, tetapi bukan melalui dongeng atau cerita fiktif. Sebab -ingat sekali lagi- mustahil menanamkan kejujuran melalui kedustaan. Sampaikan kepada mereka kisah-kisah orang jujur serta buah dari kejujuran, seperti kisah Ka’ab bin Malik -radhiallahu anhu-.
Ya, sebelum anak terlanjur cerdas, hendaknya kita tanamkan pada diri mereka kecenderungan kepada sifat jujur dan menjaga amanah. Sebab, apalah artinya kecerdasan tanpa kejujuran dan sifat amanah. Bukankah kita tidak menghendaki anak kita menjadi orang yang pandai menipu.
* Biasakan Mereka Bersikap Santun
Manusia adalah makhluq bermasyarakat yang tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Sopan-santun merupakan sifat mulia yang dapat menimbulkan rasa tenang dan hangat di dalam pergaulan bermasyarakat. Juga merupakan di antara sifat-sifat yang disukai ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah berkata kepada Abdul Qais -radhiallahu anhu- :
“إن فيك خصلتين يحبهما الله: الحلم والأناة”.(رواه مسلم)
“Sesungguhnya pada dirimu ada dua sifat yang dicintai ALLAH. Arif dan santun.” (HR; Muslim)
Sopan-santun adalah sifat yang membuat pemiliknya disukai oleh orang lain, yang dengannya orang lain merasa aman dari lisan dan perbuatannya, sebagaimana sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- :
عن عامر قال: سمعت عبد الله بن عمرو يقول:
قال النبي صلى الله عليه وسلم: المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده، (ألبخاري)
“Muslim (-yang sempurna-) adalah yang orang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (HR: Al Bukhari)
Betapa tidak, dengannya ia akan menjaga lisan dan perbuatannya agar tidak mengganggu atau menyakiti orang lain. Dengannya pula ia bisa menempatkan diri di tengah lingkungannya. Ia mampu bersikap secara tepat di hadapan orang yang lebih tua, orang yang lebih muda, bahkan di hadapan orang-orang selayaknya dia belajar kepadanya. Dan ini merupakan satu di antara tanda-tanda pengikut Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-, sebagaimana sabdanya:
عن عبادة بن الصامت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
ليس منا من لم يجل كبيرنا ويرحم صغيرنا ويعرف لعالمنا
Dari Ubadah ibn Ash-Shaamit, bahwa Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Tidaklah termasuk umatku, mereka yang tidak hormat kepada orang-orang tua kami, tidak sayang kepada orang-orang muda kami, dan tidak mengakui ulama-ulama kami.” (Mustadrak Al Hakim)
Lebih dari itu, santun juga merupakan wujud dari kelembutan hati pemiliknya. Karena mustahil seseorang memiliki sikap santun jika tidak memiliki kelembutan hati. Kelembutan hati lah yang menyebabkan seseorang senantiasa berhati-hati ketika bersikap di hadapan orang lain. Dan ini merupakan sifat yang disukai ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa- , sebagaimana yang dikatakan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- kepada Aisyah -radhiallahu anha-:
يا عائشة، إن الله رفيق يحب الرفق في الأمر كله ( متفق عليه)
“Ya, Aisyah. Sesungguhnya ALLAH bersifat Lemah-Lembut, menyukai kelemahlembutan di dalam segala perkara.” (Muttafaqun Alaih)
Disebabkan santun dan lemah lembut lah akan terjaga persahabatan, bahkan ukhuwah (persaudaraan) dan terlaksana tolong-menolong -”ta’awun alal birri wat taqwa“- , yang mustahil semua itu terjadi tanpa dilandasi sifat-sifat di atas. Yakni sifat yang dapat memperindah dan mempercantik seseorang. Sifat yang membuat sebuah pribadi laku di dalam pergaulan. Sifat yang dengannya ia tidak hanya memikirkan dirinya semata, bahkan senatiasa berupaya sekuat tenaga memberikan kebaikan kapada saudaranya sebagaimana ia harapkan kebaikan itu juga berlaku baginya. Lebih dari itu, dengan sifat tersebut ia mampu memiliki empati terhadap penderitaan saudaranya. Perhatikanlah sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- di bawah ini:
عن أناس بن مالك عن النبي صلىالله عليه وسلم قال: لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه
“Tidak sempurna iman kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya.” (HR: Al Bukhari - Muslim)
عن النعمان بن بشير. قال:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
“مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم، مثل الجسد.
إذا اشتكى منه عضو، تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى”.(رواه مسلم)
Dari An-Nu’man bin Basyir -radhiallahu anhu-, berkata, telah bersabda Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- :“Perumpamaan orang-orang mu’min di dalam cinta kasih sayangnya dan keterikatannya seperti jasad yang satu. Apabila sakit salah satu anggota tubuhnya, maka seluruh tubuhnya ikut merasakan sakitnya dengan panas dan demam.” (HR: Muslim)
Dengan demikian, segala upaya -sarana dan metode apa saja- yang dapat menumbuhkan sifat mulia ini harus ditempuh. Pendidikan sejak dini harus diarahkan untuk menumbuhkan sifat-sifat sopan-santun dan lemah-lembut. Orang tua harus memastikan sifat-sifat ini melekat pada anaknya sebelum anaknya terlanjur cerdas. Do’a, dzikir, shadaqah, menyantuni anak yatim, gotong-royong, atau menolong orang yang kesusahan adalah di antara hal yang dapat melembutkan hati.
Kemudian, hendaknya sejak kecil anak dibimbing bagaimana cara bertutur, duduk, bahkan berjalan di hadapan orang yang lebih tua. Juga bagaimana di hadapan orang yang lebih muda. Kesantunan dan sikap rendah hati mereka juga harus kita perhatikan manakala mereka berjalan dan mengeluarkan suara. Perhatikanlah wasiat Luqman kepada anaknya -sebagaimana yang diabadikan di dalam Al Qur’an- :
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
(Artinya: “Dan sederhanalah di dalam berjalan serta rendahkan suaramu. Karena seburuk-buruk suara adalah suara keledai.”) (Luqman: 19)
Di samping itu, apa saja yang dapat menumbuhkan sifat-sifat sebaliknya, seperti kurang-ajar, tak tahu malu, atau beringas harus dihilangkan dari segala media pendidikan dan pemandangan mereka sehari-hari. Perhatikanlah peringatan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- akan hal ini:
“ياعائشة ارفقي؛ فإِنَّ الرِّفقَ لم يكن في شىء قطُّ إلا زانه، ولا نزع من شىءٍ قطُّ إلاّ شانه”. (ابو داود)
“Ya, A’isyah. Berlemahlembutlah. Karena sesungguhnya tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali ia menjadi penghiasnya. Dan tidaklah kelembutan tercabut dari sesuatu kecuali ia menjadikan sesuatu itu jelek.”
Pada kesempatan lain:
“من يحرم الرفق يحرم الخير (رواه مسلم)
“Siapa yang terhalang untuk bersikap lembut, maka terhalang pula baginya kebaikan.”
Maka untuk itu, jauhkan dari anak penampilan sifat-sifat yang tidak baik, seperti kasar, brutal, sadis, vulgarisme, dan sikap tak punya malu, mulai dari bacaan, tontonan, maupun bentuk-bentuk permainan dan lingkungan pergaulan mereka. Yang kesemua itu lambat laun akan membentuk keperibadiannya. Orang tua harus memastikan tanda-tanda dari sifat-sifat yang tidak baik ini tak ada pada anaknya sebelum anaknya terlanjur cerdas.
Ya, sebelum anak terlanjur cerdas, hendaknya mereka telah terbiasa bersikap santun dan lemah lembut. Sebab apalah artinya kecerdasan jika tidak dibarengi dengan pekerti santun dan lembut hati, bahkan sekalipun anak tersebut jujur. Bukankah kita tak menghendaki mereka menjadi robot; cerdas, jujur, kaku, dingin, dan berpotensi menjadi sadis!!!
* Didik Mereka Untuk Rajin
Rajin merupakan satu sifat yang sangat dipuji dalam Islam. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- di dalam berbagai ungkapan menjelaskan akan keutamaannya . Di antara lain ucapannya -Shallallahu alaihi wa sallam- adalah:
عن أبي هريرة ؛ قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول:
“لأن يغدو أحدكم فيحطب على ظهره، فيتصدق به ويستغني به من الناس، خير له من أن يسأل رجلا،
أعطاه أو منعه ذلك. فإن اليد العليا أفضل من اليد السفلى. وابدأ بمن تعول”. (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu-, berkata: Aku telah mendangar Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda: “Sungguh seorang di antara kalian berangkat ke luar mengikat kayu di atas punggungnya dan bersedakah dengannya serta menjaga diri dari manusia itu lebih baik dari pada meminta-minta, diberi ataupun tidak. Karena sesungguhnya tangan yang di atas lebih utama dari pada tangan yang di bawah. Dan mulailah dari yang menjadi tanggunganmu.” (HR: Muslim)
عن أبي هريرة قال وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: كان داود لا يأكل إلا من عمل يده
“Sesungguhnya Daud -Alaihissalaam- tidak makan kecuali dari hasil karya tangannya” (HR: Bukhari)
Ungkapan di atas -dan masih banyak lagi yang sema’na- menunjukkan betapa sifat rajin sangat ditekankan di dalam Islam. Syari’at diadakan tidak lain untuk memelihara lima hal. Memelihara agama, aqal, kehormatan, darah, dan harta. Dan rajin merupakan di antara sifat yang harus dimiliki demi menjaga kehormatan diri. Dengan sifat rajin pulalah seorang menjadi pribadi yang berguna bagi diri dan sekitarnya, bukan menjadi cela bagi diri dan beban bagi orang di sekitarnya.
Maka hendaknya segala sarana dan metode yang dapat menumbuhkan sifat rajin pada anak harus diupayakan. Melatih anak untuk bangun pagi, merapihkan kamar tidur, membersihkan kamar mandi, menyapu ruangan, teras, dan halaman, semua itu merupakan upaya pertama yang harus dilakukan untuk membiasakan anak bekerja dan menumbuhkan sifat rajin. Ketika sampai usia belajar, maka hendaknya dahulukan mengajar mereka menulis sebelum membaca. Biarkan anak belajar membaca dari apa yang dia tulis, karena menulis itu sifatnya aktif sedang membaca pasif. Perhatikan perkembangan kemampuan psikomotorik-nya untuk mengimbangi kemampuan kognitif-nya. Ajarkan pula mereka, misalnya, terbiasa mengolah barang-barang bekas sebelum mengambil keputusan untuk membeli yang baru.
Sebaliknya, segala penyebab, sarana, dan metode yang dapat menumbuhkan sifat malas pada anak harus ditiadakan atau dijauhkan dari anak. Malas -selain produk sistim sosial- asalnya adalah masalah fisik -seperti terlalu lemahnya tubuh untuk bergerak atau melakukan satu pekerjaan- . Namun jika tidak segera diambil tindakan ia berubah menjadi masalah mental. Karenanya, orang tua harus memperhatikan pertumbuhan fisik anak dan perkembangan motorik atau keterampilannya. Sudahkah gizi yang dibutuhkan bagi pertumbuhannya tercukupi ?Apakah ia terlalu kurus atau gemuk untuk umurnya ? Proporsionalkah berat badan dengan tingginya ? Apakah ia sudah bisa menjaga keseimbangan tubuhnya ? Cukup lincahkah gerakannya ? Bagaimana akurasi gerak atau bidikannya? Bagaimana kecepatan geraknya ? Bagaimana kekuatan tenaganya ? Bagaimana ketahanan tubuhnya, baik ketika menahan beban maupun ketika menahan lelah ? Keseluruhan masalah di atas -meski tidak selalu- sedikit banyak berpengaruh terhadap mentalnya.
Ulangi sering-sering sabda Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- berikut ini:
“المؤمن القوي خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف. وفي كل خير.
احرص على ما ينفعك واستعن بالله. ولا تعجز… (رواه مسلم)
Mu’min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai ALLAH ketimbang mu’min yang lemah. Dan pada seluruhnya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah di dalam hal yang mendatangkan manfa’at bagimu, serta mohonlah pertolongan kepada ALLAH dan jangan merasa lemah…. (HR; Muslim)
Karenanya, segala bentuk kamuflase, dari kemalasan -ngamen misalnya-, atau main kartu, dadu, dan segala bentuk permainan yang menghabiskan waktu tidak boleh kita biarkan dilihat oleh anak kita kecuali kita jelaskan kepada mereka, “Itu orang malas! Itu pekerjaan orang malas !” Karena sesungguhnya, melalui kamufalse kemalasan yang sering mereka lihat lah kemalasan -sadar atau tidak disadari- menemukan pembenaran teorits, bahkan filosofisnya, Dan sifat licik merupakan hasil kombinasi cerdas dengan malas.
Kemudian, jangan dikira bahwa malas itu sekedar masalah mental. Malas juga bisa menjadi masalah keyakinan. Sebagaimana hasad (dengki) mengurangi kesempurnaan iman akan Taqdir, begitu pula dengan malas. Ketahuilah, bahwa sifat rajin akan menumbuhkan optimisme, dan optimisme adalah bagian dari wujud husnudz-dzonn billah (berbaik sangka kepada ALLAH). Maka, sebaliknya, malas akan menumbuhkan pesimisme, dan pesimisme adalah bagian dari wujud su’udz-dzon billah (berburuk sangka kepada ALLAH). Padahal Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- telah berwasiat::
“لا يموتن أحدكم إلا وهو يحسن الظن بالله عز وجل“.
“Jangan kalian mati, kecuali di dalam keadaan berbaik sangka kepada ALLAH.” (HR:Muslim dari Jabir bin Abdillah -radhiallahu anhu-)
Lebih dari itu, malas pulalah di antara -selain ilmu dan keyakinan- yang menyebabkan manusia -karena ingin menempuh jalan pintas- terjerumus ke dalam judi, lottre, bahkan ke dalam berbagai bentuk kesyirikan, seperti meminta kekayaan kepada kuburan, pohon, atau benda mati lainnya.
Ya, sebelum anak terlanjur cerdas, hendaknya mereka sudah terbiasa hidup rajin. Sebab, apalah jadinya jika anak terlanjur cerdas, sementara ia terbiasa dikuasai perasaan malasnya. Bukankah kita tidak menghandaki mereka menjadi orang yang licik.
* Bina Mereka Menjadi Pribadi Yang Kuat
Badan yang kuat lebih berdaya guna ketimbang badan yang lemah. Dengan kekuatan bukan saja seseorang mampu menopang dirinya, bahkan mampu menolong orang lain. Dengan kekuatan seseorang mampu berlari dan melompat. Dengan kekuatan seseorang mampu memanggul beban di punggungnya atau bertahan melawan dorongan arus. Dengan kekuatan pulalah seseorang mampu menghadapi cuaca buruk dan memiliki kekebalan untuk melawan penyakit.
Maka demikian pula jiwa yang kuat. Islam memuji sifat kuat dan mengaitkannya dengan sabar. Kuat, sabar, atau tabah merupakan modal di dalam mengarungi kehidupan -yang memerlukan perjuangan dan penuh dengan cobaan-. Dengannya ia lebih berdaya guna, bermanfaat bagi orang lain, bersemangat dan kreatif, mampu memikul tanggung jawab dan berpendirian, serta mampu beradaptasi dan menetralisir perasaan dirinya. Karenanya, Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- mengajari kita memaknai kekuatan dengan kesabaran dan kemampuan mengendalikan hawa nafsu, sebagaimana sabdanya:
عن أبي هريرة رضي الله عنه:أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
ليس الشديد بالصرعة، إنما الشديد الذي يملك نفسه عند الغضب.(البخاري)
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu-, bahwasanya Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda: “Bukanlah yang dikatakan kuat itu jago gulat. Akan tetapi yang dikatakan kuat adalah yang mampu menguasai hawa-nafsunya ketika marah.” (HR: Al Bukhari)
Ya, dengan kesabaran akan lahir berbagai macam kebaikan. Manusia menjadi semakin kuat kemauannya, semakin tegar menghadapi tantangan, serta semakin tenang menghadapi ujian dan cobaan. Maka, upaya dan metode apa saja yang dapat melahirkan serta menumbuhkan kepribadian yang kuat dan sabar harus diciptakan. Perkara kuat dan sabar sudah harus mulai diajarkan ma’nanya dan ditanamkan kepada anak sedini mungkin. Pendidikan harus menjadikannya sebagai program dasar pembinaan sebelum yang lainnya. Perhatikan bagaimana Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- mengajarkan beberapa kalimat kepada Ibnu Abbas -radhiallahu anhu- , yang ketika itu usianya belum mencapai sepuluh tahun:
“….Ketahuilah. Bahwa seandainya seluruh manusia bersatu ingin memberikan manfa’at kepadamu, mereka tak akan mampu melakukannya lebih dari yang telah ALLAH tetapkan bagimu. Dan seandainya mereka bersatu ingin mencelakakanmu, mereka tak akan mampu melakukannya lebih dari yang telah ALLAH tetapkan atas mu….” (HR: At-Tirmidzi dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhu-)
“…Ketahuilah. Bahwa pertolongan ALLAH datang melalui kesabaran, bersama perjuangan ada pengorbanan, dan bersama kesulitan ada kemudahan…”
Sebaliknya, segala sarana dan metode yang akan membentuk kepribadian cengeng, mudah marah, mudah patah semangat, dan mudah putus asa harus dihilangkan dari media pendidikan kita. Karena sesungguhnya seluruh sifat-sifat tersebut bersumber dari yang satu, lemah. Anak yang gampang menangis sebetulnya sama dengan anak yang gampang marah. Kemasannya saja yang berbeda, tetapi hakekatnya sama, lemahnya jiwa. Maka, jangan biarkan anak kita mengkonsumsi hal-hal yang melemahkan jiwanya, berupa sya’ir atau lagu-lagu cengeng, serta novel atau film-film picisan. Jangan biarkan anak terbiasa memanjakan perasaannya.
Ajarkan kepada mereka nilai-nilai kesatriaan, kesabaran dan ketangguhan yang diambil dari kisah para Nabi -alaihimussallam-, para Sahabat Nabi -radhiallahu anhum-, atau para Ulama dan Mujahid -rahimahumullah-, dan jangan sekali-kali lewat dongeng atau cerita fiktif. Jangan berlebihan memberikan perlindungan pada mereka. Biarkan mereka melatih diri menyelesaikan persoalan-persoalan mereka, baik di dalam menghadapi tantangan masalah, maupun terhadap teman-teman sebayanya. Jangan terlalu cepat memenuhi permintaan mereka, seandainya tidak mendesak. Jika mereka minta 10, berikan 5. Jika mereka minta sekarang, berikan nanti. Ajari mereka bersabar manakala tidak terpenuhi permintaannya. Atau masih banyak lagi cara dan kesempatan untuk melatih kesabaran dan kekuatan mereka.
Ya, sebelum anak terlanjur cerdas, hendaknya mereka telah terlatih bersabar serta memiliki jiwa yang kuat. Lemah akan menjadikan mereka mudah dipengaruhi orang serta gampang lari dari tanggung jawab. Apalah artinya kecerdasan jika tidak diiringi sifat kuat dan sabar. Bukankah kita tidak menghendaki anak kita menjadi orang yang pengecut, karena ternyata pengecut itu merupakan kombinasi cerdas dengan lemah.
Ya, apalah artinya cerdas tanpa amanah, santun, rajin, dan kuat. Bukankah kita tak menginginkan anak kita menjadi seorang penipu sadis yang licik lagi pengecut.
Sunday, April 5, 2009
Bid'ah
Allah Subhanahu wa Ta'aala telah memberikan suatu nikmat yang sangat besar bagi manusia, dimana Allah ‘Azza wa Jalla telah menurunkan bagi mereka syari'at yang mengatur segala aspek kehidupan, syari'at yang bertujuan untuk kebahagian manusia di dunia dan di akhirat, syari'at yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana, yang mengetahui segala sesuatu yang berguna bagi manusia dan segala apa yang dapat membahayakan mereka. Diturunkannya syari'at adalah salah satu tanda kasih sayang Allah Tabaaraka wa Ta'aala terhadap hamba-Nya, karena dengan syari'atlah manusia dapat hidup dengan penuh kasih sayang dan kedamaian. Kalaulah kita melihat dan merenungkan kondisi bangsa Arab sebelum Allah Subhanahu wa Ta'aala mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dimana mereka adalah umat yang tidak menganut agama samawi, umat yang diperbudak oleh berhala dan syetan, yang kuat menindas yang lemah, wanita kehilangan harkat dan derajatnya, maka kita akan dapat mengetahui begitu besarnya nikmat yang telah diberikan Allah Tabaaraka wa Ta'aala kepada kita semua dengan mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai penutup dari para rasul yang membawa syari'at yang paling sempurna, sehingga mereka tidak perlu lagi menambah atau mengurangi sesuatu dari syari'at yang telah diturunkan Allah Ta'ala tersebut. Akan tetapi walaupun agama yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah sempurna, syetan tidak akan pernah membiarkan manusia menikmati kesempurnaan tersebut, bahkan akan selalu berusaha untuk menghancurkan dan membinasakan manusia. Banyak cara yang ditempuh oleh syetan untuk mewujudkan tujuannya tersebut, di antaranya adalah menggoda manusia dari sisi syahwat duniawi. Adapun mereka yang tidak mempan dengan godaan ini maka ia (syetan) akan berusaha untuk menggodanya dengan berlebih-lebihan di dalam agama, sehingga mereka pun terjatuh kedalam perbuatan bid'ah. Sebagian manusia -semoga Allah Ta'ala memberikan petunjuk kepadanya-apabila mendengar kata bid'ah ia akan langsung antipati, sikap seperti ini seharusnya tidak dimiliki oleh seorang muslim, karena mengenal bid'ah merupakan bagian dari agama Islam. Oleh karena itu, marilah kita mencari tahu apa sebenarnya defenisi bid'ah tersebut.
Definisi Bid'ah
Bid'ah secara bahasa adalah membuat suatu hal yang belum pernah ada. Seperti firman Allah Ta'ala:
badii'ussamaawaati wal ardhi. Yang artinya: (Allah) pencipta langit dan bumi. (QS. Al-Baqarah 117)
Adapun bid'ah secara syar'i sebagaimana diungkapkan oleh Imam As-Syathiby rahimahullah di dalam kitabnya Al-I'tishom yaitu: "Suatu jalan atau perkara baru yang terdapat di dalam agama yang menyerupai syari'at Islam yang bertujuan untuk berlebih-lebihan dalam ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'aala".
Defenisi ini mencakup segala hal yang dibuat-buat di dalam agama yang tidak mempunyai landasan syar'i. Adapun yang mempunyai landasan syar'i maka tidaklah dinamakan sebagai bid'ah secara syar'i , walaupun secara bahasa bisa dikatakan sebagai bid'ah.
Inilah makna dari perkataan sebagian salaf terhadap beberapa bentuk ibadah "ni'matil bid'atu hadzihi" artinya: ini adalah bid'ah yang baik, seperti perkataan Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu ketika beliau mengumpulkan manusia di masjid untuk shalat malam pada waktu bulan Ramadhan dengan diimami seorang imam, dan beliaupun keluar dan melihat mereka sedang melaksanakan shalat, maka beliaupun berkata: "ni'matil bid'atu hadzihi" artinya ini adalah bid'ah yang baik. Karena shalat tarawih berjama'ah pada bulan Ramadhan ada landasannya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengimami para shahabat pada bulan Ramadhan selama dua atau tiga malam, akan tetapi kemudian beliau meninggalkan hal tersebut karena khawatir hal itu akan diwajibkan atas umatnya sedangkan mereka tidak mampu untuk melaksanakannya.
Hal ini juga karena perbuatan Umar bin Khattab dan para khulafa' ar-raasyidun semuanya adalah merupakan sunnah sebagaimana ditetapkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi dari hadits 'Irbadh bin Sariah yang di dalamnya terdapat sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada para shahabatnya: "karena sesungguhnya siapa di antara kalian yang masih hidup sesudahku, maka dia akan melihat pertentangan yang sangat banyak sekali, maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan juga sunnah para khulafaaur raasyidin al-mahdiyyin". Hadits ini dengan jelas menerangkan bahwa amal perbuatan mereka adalah merupakan sunnah dan bukan merupakan suatu bid'ah.
Pembagian bid'ah kepada bid'ah haqiqiyyah dan bid'ah idhofiyyah.
Adapun yang dimaksud dengan bid'ah haqiqiyyah adalah segala macam bentuk perkara bid'ah yang tidak mempunyai landasan syar'i, baik dalil dari Al-Quran, As-Sunnah ataupun Ijma'.
Contohnya adalah: mengharamkan sesuatu yang halal, berlandaskan kepada sebuah syubhat tanpa adanya 'udzur syar'i, atau tujuan yang benar. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari rahimahullah di dalam kitab shahihnya dari Qais bin Abi Hazim bahwa dia berkata: Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu masuk menemui seorang wanita dari Ahmas yang bernama Zainab, dan dia melihatnya tidak mau berbicara, lantas ia pun berkata: kenapa ia tidak mau bicara? Kemudian mereka pun mengatakan bahwa ia melakukan haji tanpa bicara sedikit pun. Maka kemudian beliaupun (Abu Bakar) berkata: Bicaralah! Sesungguhnya hal ini tidak diperbolehkan, ini adalah merupakan bentuk perbuatan jahiliyah. Maka wanita itu pun bicara dan kemudian berkata: Siapa anda? Abu Bakar berkata: Salah seorang dari kaum Muhajirin.
Dan di antara contoh yang lain adalah membuat suatu ibadah yang tidak pernah diajarkan dan diturunkan oleh Allah Ta'ala, seperti melakukan shalat Dzuhur dengan dua kali ruku' di dalam setiap raka'at, atau shalat Dzuhur tanpa thaharah, atau mengingkari sunnah, atau mengedepankan akal fikiran dari pada dalil-dalil naqli serta menjadikannya sebagai pokok landasan dan menjadikan dalil naqli sebagai cabang.
Adapun bid'ah idhofiyyah, dia memiliki dua sisi: sisi yang masyru', akan tetapi seorang mubtadi' (yang membuat suatu bid'ah) memasukkan kedalam sisi yang masyru' ini suatu perkara yang dia buat sendiri sehingga dia menjadikan sesuatu yang pada dasarnya masyru' menjadi tidak masyru' dengan perbuatannya ini, dan kebanyakan jenis-jenis bid'ah yang tersebar di kalangan masyarakat adalah dari golongan ini.
Contohnya adalah: puasa, dzikir, thaharah menyempurnakan wudhu' dalam kondisi susah sekalipun, serta shalat. Semua ini adalah merupakan bentuk ibadah yang disyari'atkan, akan tetapi jika ada orang yang mengatakan saya ingin puasa dengan berdiri tanpa duduk, atau di bawah matahari tanpa berteduh. Atau di dalam berdzikir ada yang mengatakan kami di dalam berdzikir harus menggunakan posisi dan keadaan tertentu, seperti berdzikir bersama dengan suatu suara. Atau beribadah khusus pada waktu tertentu -sedangkan pengkhususan tersebut tidak pernah dijelaskan oleh syari'at- seperti melazimkan puasa pada nisfu sya'ban.
Dan diantara contoh yang lain adalah bid'ah Maulid Nabi, karena sesungguhnya mencintai Nabi adalah perkara yang wajib hukumnya atas setiap individu muslim, dan tidaklah sempurna keimanan seseorang sampai dia mencintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melebihi dari cintanya kepada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya, bahkan manusia secara keseluruhan, akan tetapi kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah mentaati segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Inilah bentuk dari kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang sebenarnya bukan seperti apa yang dilakukan sebagian manusia dengan memperingati maulid nabi, karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, juga tidak pernah dilakukan oleh para Khalifah ar-Rasyidin, dan juga tidak pernah dilakukan oleh ‘Ulama Ahlussunnah. Akan tetapi bid'ah maulid pertama kali dilakukan oleh orang-orang Fathimiyyun al-'ubaidiyyun yaitu orang-orang syi'ah Rafidhoh, yang asal usul pemikiran mereka adalah dari orang-orang Yahudi yang ingin menghancurkan umat Islam dengan menjauhkan kaum muslimin dari ajaran sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Pembagian bid'ah kepada bid'ah mukaffiroh dan ghoiru mukaffiroh.
Sebagaimana amal sholeh mempunyai tingkatan-tingkatan, begitu juga dengan perbuatan maksiat dan bid'ah juga mempunyai tingkatan-tingkatan tersendiri, diantara perbuatan bid'ah ada yang disebut dengan bid'ah mukaffiroh yaitu semua bid'ah yang dapat menjadikan seseorang keluar dari agama Islam.
Adapun batasan-batasan bid'ah mukaffiroh adalah siapa yang mengingkari suatu perkara yang sudah disepakati oleh kaum muslimin, yang merupakan perkara yang mutawaatir ditinjau dari sisi syar'I, yang diketahui secara pasti dari agama ini. Seperti mengingkari suatu hal yang diwajibkan, atau mewajibkan sesuatu yang tidak wajib, atau menghalalkan sesuatu yang diharamkan dan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan, atau meyakini apa yang tidak pantas bagi Allah ‘Azza wa Jalla begitu juga bagi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam serta Kitab Allah ‘Azza wa Jalla, karena hal tersebut adalah pendustaan terhadap al-Qurân dan apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seperti bid'ahnya kelompok Jahmiyah yang mengingkari adanya sifat-sifat Allah Tabaaraka wa Ta'aala dan mengatakan bahwa al-Qurân adalah makhluk atau mengatakan bahwa semua sifat Allah Subhanahu wa Ta'aala adalah makhluk (Maha Suci Allah Ta'ala dari apa yang mereka katakan).
Akan tetapi perlu kita ingat bahwa walaupun perbuatan bid'ah tersebut adalah mukaffiroh tetapi kita tidak boleh langsung menghukumi pelaku bid'ah tersebut sebagai orang kafir dan tidak semua orang bisa memberikan putusan tersebut, karena untuk menghukumi seseorang menjadi kafir ada syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga dia bisa dihukumi sebagai orang kafir sebagaimana dijelaskan oleh para ulama di dalam kitab-kitab 'aqidah atau kitab-kitab yang lainnya.
Adapun bid'ah ghairu mukaffiroh adalah bid'ah yang tidak sampai menjadikan seseorang kafir dan keluar dari agama Islam.
Adapun batasan dari bid'ah ghairu mukaffiroh ini adalah segala macam bid'ah yang tidak melazimkan pendustaan terhadap Al-Quran atau apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan tetapi bid'ah ini adalah merupakan hasil dari takwil yang mengikuti hawa nafsu.
Bid'ah ghairu mukaffiroh ini bermacam-macam tingkatannya. Imam As-Syathiby rahimahullah di dalam kitabnya Al-I'tishom menyebutkan bahwa bid'ah ditinjau dari segi tingkatannya terbagi kepada: kabaair (besar) dan shaghaair (kecil), dan beliau rahimahullah menyebutkan bahwa batasan untuk menentukan apakah bid'ah tersebut termasuk kedalam kabaair atau shaghaair adalah apabila perbuatan bid'ah tersebut berkaitan dengan agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta maka dia termasuk kedalam golongan kabaair, kalau tidak berkaitan dengan hal tersebut maka dia termasuk kedalam golongan shaghaair.
Saudaraku -semoga Allah Subhanahu wa Ta'aala menunjuki kita semua kepada jalan yang lurus- perbuatan bid'ah -tanpa terkecuali-, apakah itu haqiqiyah atau idhofiyah, mukaffiroh atau ghairu mukaffiroh, kabiiroh atau shaghiroh adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah Ta'ala dan Rasul-Nya. Seorang mubtadi' atau mereka yang mengajak orang untuk melakukan suatu bid'ah atau melindungi dan membela seorang ahli bid'ah, mereka semua sama-sama akan mendapatkan dosa dari apa yang mereka lakukan, karena hal tersebut merupakan bentuk tolong-menolong dalam kemaksiatan. Allah Subhanahu wa Ta'aala telah melarang kita untuk saling tolong-menolong dalam kemaksiatan sebagaimana Allah Tabaaraka wa Ta'aala berfirman di dalam al-Qurân:
"dan Jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan" (QS. Al-Maidah: 2).
Mereka yang membuat suatu perkara bid'ah, maka secara tidak langsung ia telah mengatakan bahwa sesungguhnya agama ini masih kurang dan belum sempurna, dan ini secara tidak lansung adalah merupakan pendustaan terhadap al-Qurân karena Allah Tabaaraka wa Ta'aala telah berfirman:
"pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu". (QS. Al-Maidah: 3)
Atau secara tidak langsung mereka telah mengatakan bahwa syari'at ini sudah sempurna, akan tetapi ada sesuatu yang belum disampaikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan ini adalah merupakan tuduhan atas Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan tuduhan ini pun telah dibantah oleh Ummul Mukminin 'Aisyah Radhiyallahu ‘anhaa ketika beliau berkata kepada salah seorang tabi'in yang bernama Masruq: "barang siapa yang mengira bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyembunyikan sesuatu yang Allah Subhanahu wa Ta'aala turunkan kepadanya, maka sungguh dia sudah membuat suatu kebohongan yang sangat besar terhadap Allah ‘Azza wa Jalla, sedangkan Allah Ta'ala mengatakan:
"Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Rabbmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya". (QS. Al-Maidah 67).
Ibnu Majisyun rahimahullah berkata :"Aku mendengar Imam Malik rahimahullah berkata: "barang siapa yang membuat suatu perkara bid'ah di dalam agama Islam karena dia menganggapnya suatu perkara yang baik, maka sungguh dia telah menganggap bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengkhianati risalah (yang Allah amanatkan kepadanya) karena Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:
"pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu". (QS. Al-Maidah: 3). Maka apa yang tidak termasuk agama pada hari itu maka pada hari ini pun tidaklah merupakan agama.
Saudaraku, -semoga Allah Ta'ala memberikan rahmat kepada kita semua- mudah-mudahan pembahasan singkat ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi kaum muslimin pada umumnya. Wallaahu a'lamu, Wa shallallaahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Sumber : DarEl Iman
Definisi Bid'ah
Bid'ah secara bahasa adalah membuat suatu hal yang belum pernah ada. Seperti firman Allah Ta'ala:
badii'ussamaawaati wal ardhi. Yang artinya: (Allah) pencipta langit dan bumi. (QS. Al-Baqarah 117)
Adapun bid'ah secara syar'i sebagaimana diungkapkan oleh Imam As-Syathiby rahimahullah di dalam kitabnya Al-I'tishom yaitu: "Suatu jalan atau perkara baru yang terdapat di dalam agama yang menyerupai syari'at Islam yang bertujuan untuk berlebih-lebihan dalam ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'aala".
Defenisi ini mencakup segala hal yang dibuat-buat di dalam agama yang tidak mempunyai landasan syar'i. Adapun yang mempunyai landasan syar'i maka tidaklah dinamakan sebagai bid'ah secara syar'i , walaupun secara bahasa bisa dikatakan sebagai bid'ah.
Inilah makna dari perkataan sebagian salaf terhadap beberapa bentuk ibadah "ni'matil bid'atu hadzihi" artinya: ini adalah bid'ah yang baik, seperti perkataan Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu ketika beliau mengumpulkan manusia di masjid untuk shalat malam pada waktu bulan Ramadhan dengan diimami seorang imam, dan beliaupun keluar dan melihat mereka sedang melaksanakan shalat, maka beliaupun berkata: "ni'matil bid'atu hadzihi" artinya ini adalah bid'ah yang baik. Karena shalat tarawih berjama'ah pada bulan Ramadhan ada landasannya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengimami para shahabat pada bulan Ramadhan selama dua atau tiga malam, akan tetapi kemudian beliau meninggalkan hal tersebut karena khawatir hal itu akan diwajibkan atas umatnya sedangkan mereka tidak mampu untuk melaksanakannya.
Hal ini juga karena perbuatan Umar bin Khattab dan para khulafa' ar-raasyidun semuanya adalah merupakan sunnah sebagaimana ditetapkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi dari hadits 'Irbadh bin Sariah yang di dalamnya terdapat sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada para shahabatnya: "karena sesungguhnya siapa di antara kalian yang masih hidup sesudahku, maka dia akan melihat pertentangan yang sangat banyak sekali, maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan juga sunnah para khulafaaur raasyidin al-mahdiyyin". Hadits ini dengan jelas menerangkan bahwa amal perbuatan mereka adalah merupakan sunnah dan bukan merupakan suatu bid'ah.
Pembagian bid'ah kepada bid'ah haqiqiyyah dan bid'ah idhofiyyah.
Adapun yang dimaksud dengan bid'ah haqiqiyyah adalah segala macam bentuk perkara bid'ah yang tidak mempunyai landasan syar'i, baik dalil dari Al-Quran, As-Sunnah ataupun Ijma'.
Contohnya adalah: mengharamkan sesuatu yang halal, berlandaskan kepada sebuah syubhat tanpa adanya 'udzur syar'i, atau tujuan yang benar. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari rahimahullah di dalam kitab shahihnya dari Qais bin Abi Hazim bahwa dia berkata: Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu masuk menemui seorang wanita dari Ahmas yang bernama Zainab, dan dia melihatnya tidak mau berbicara, lantas ia pun berkata: kenapa ia tidak mau bicara? Kemudian mereka pun mengatakan bahwa ia melakukan haji tanpa bicara sedikit pun. Maka kemudian beliaupun (Abu Bakar) berkata: Bicaralah! Sesungguhnya hal ini tidak diperbolehkan, ini adalah merupakan bentuk perbuatan jahiliyah. Maka wanita itu pun bicara dan kemudian berkata: Siapa anda? Abu Bakar berkata: Salah seorang dari kaum Muhajirin.
Dan di antara contoh yang lain adalah membuat suatu ibadah yang tidak pernah diajarkan dan diturunkan oleh Allah Ta'ala, seperti melakukan shalat Dzuhur dengan dua kali ruku' di dalam setiap raka'at, atau shalat Dzuhur tanpa thaharah, atau mengingkari sunnah, atau mengedepankan akal fikiran dari pada dalil-dalil naqli serta menjadikannya sebagai pokok landasan dan menjadikan dalil naqli sebagai cabang.
Adapun bid'ah idhofiyyah, dia memiliki dua sisi: sisi yang masyru', akan tetapi seorang mubtadi' (yang membuat suatu bid'ah) memasukkan kedalam sisi yang masyru' ini suatu perkara yang dia buat sendiri sehingga dia menjadikan sesuatu yang pada dasarnya masyru' menjadi tidak masyru' dengan perbuatannya ini, dan kebanyakan jenis-jenis bid'ah yang tersebar di kalangan masyarakat adalah dari golongan ini.
Contohnya adalah: puasa, dzikir, thaharah menyempurnakan wudhu' dalam kondisi susah sekalipun, serta shalat. Semua ini adalah merupakan bentuk ibadah yang disyari'atkan, akan tetapi jika ada orang yang mengatakan saya ingin puasa dengan berdiri tanpa duduk, atau di bawah matahari tanpa berteduh. Atau di dalam berdzikir ada yang mengatakan kami di dalam berdzikir harus menggunakan posisi dan keadaan tertentu, seperti berdzikir bersama dengan suatu suara. Atau beribadah khusus pada waktu tertentu -sedangkan pengkhususan tersebut tidak pernah dijelaskan oleh syari'at- seperti melazimkan puasa pada nisfu sya'ban.
Dan diantara contoh yang lain adalah bid'ah Maulid Nabi, karena sesungguhnya mencintai Nabi adalah perkara yang wajib hukumnya atas setiap individu muslim, dan tidaklah sempurna keimanan seseorang sampai dia mencintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melebihi dari cintanya kepada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya, bahkan manusia secara keseluruhan, akan tetapi kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah mentaati segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Inilah bentuk dari kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang sebenarnya bukan seperti apa yang dilakukan sebagian manusia dengan memperingati maulid nabi, karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, juga tidak pernah dilakukan oleh para Khalifah ar-Rasyidin, dan juga tidak pernah dilakukan oleh ‘Ulama Ahlussunnah. Akan tetapi bid'ah maulid pertama kali dilakukan oleh orang-orang Fathimiyyun al-'ubaidiyyun yaitu orang-orang syi'ah Rafidhoh, yang asal usul pemikiran mereka adalah dari orang-orang Yahudi yang ingin menghancurkan umat Islam dengan menjauhkan kaum muslimin dari ajaran sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Pembagian bid'ah kepada bid'ah mukaffiroh dan ghoiru mukaffiroh.
Sebagaimana amal sholeh mempunyai tingkatan-tingkatan, begitu juga dengan perbuatan maksiat dan bid'ah juga mempunyai tingkatan-tingkatan tersendiri, diantara perbuatan bid'ah ada yang disebut dengan bid'ah mukaffiroh yaitu semua bid'ah yang dapat menjadikan seseorang keluar dari agama Islam.
Adapun batasan-batasan bid'ah mukaffiroh adalah siapa yang mengingkari suatu perkara yang sudah disepakati oleh kaum muslimin, yang merupakan perkara yang mutawaatir ditinjau dari sisi syar'I, yang diketahui secara pasti dari agama ini. Seperti mengingkari suatu hal yang diwajibkan, atau mewajibkan sesuatu yang tidak wajib, atau menghalalkan sesuatu yang diharamkan dan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan, atau meyakini apa yang tidak pantas bagi Allah ‘Azza wa Jalla begitu juga bagi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam serta Kitab Allah ‘Azza wa Jalla, karena hal tersebut adalah pendustaan terhadap al-Qurân dan apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seperti bid'ahnya kelompok Jahmiyah yang mengingkari adanya sifat-sifat Allah Tabaaraka wa Ta'aala dan mengatakan bahwa al-Qurân adalah makhluk atau mengatakan bahwa semua sifat Allah Subhanahu wa Ta'aala adalah makhluk (Maha Suci Allah Ta'ala dari apa yang mereka katakan).
Akan tetapi perlu kita ingat bahwa walaupun perbuatan bid'ah tersebut adalah mukaffiroh tetapi kita tidak boleh langsung menghukumi pelaku bid'ah tersebut sebagai orang kafir dan tidak semua orang bisa memberikan putusan tersebut, karena untuk menghukumi seseorang menjadi kafir ada syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga dia bisa dihukumi sebagai orang kafir sebagaimana dijelaskan oleh para ulama di dalam kitab-kitab 'aqidah atau kitab-kitab yang lainnya.
Adapun bid'ah ghairu mukaffiroh adalah bid'ah yang tidak sampai menjadikan seseorang kafir dan keluar dari agama Islam.
Adapun batasan dari bid'ah ghairu mukaffiroh ini adalah segala macam bid'ah yang tidak melazimkan pendustaan terhadap Al-Quran atau apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan tetapi bid'ah ini adalah merupakan hasil dari takwil yang mengikuti hawa nafsu.
Bid'ah ghairu mukaffiroh ini bermacam-macam tingkatannya. Imam As-Syathiby rahimahullah di dalam kitabnya Al-I'tishom menyebutkan bahwa bid'ah ditinjau dari segi tingkatannya terbagi kepada: kabaair (besar) dan shaghaair (kecil), dan beliau rahimahullah menyebutkan bahwa batasan untuk menentukan apakah bid'ah tersebut termasuk kedalam kabaair atau shaghaair adalah apabila perbuatan bid'ah tersebut berkaitan dengan agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta maka dia termasuk kedalam golongan kabaair, kalau tidak berkaitan dengan hal tersebut maka dia termasuk kedalam golongan shaghaair.
Saudaraku -semoga Allah Subhanahu wa Ta'aala menunjuki kita semua kepada jalan yang lurus- perbuatan bid'ah -tanpa terkecuali-, apakah itu haqiqiyah atau idhofiyah, mukaffiroh atau ghairu mukaffiroh, kabiiroh atau shaghiroh adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah Ta'ala dan Rasul-Nya. Seorang mubtadi' atau mereka yang mengajak orang untuk melakukan suatu bid'ah atau melindungi dan membela seorang ahli bid'ah, mereka semua sama-sama akan mendapatkan dosa dari apa yang mereka lakukan, karena hal tersebut merupakan bentuk tolong-menolong dalam kemaksiatan. Allah Subhanahu wa Ta'aala telah melarang kita untuk saling tolong-menolong dalam kemaksiatan sebagaimana Allah Tabaaraka wa Ta'aala berfirman di dalam al-Qurân:
"dan Jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan" (QS. Al-Maidah: 2).
Mereka yang membuat suatu perkara bid'ah, maka secara tidak langsung ia telah mengatakan bahwa sesungguhnya agama ini masih kurang dan belum sempurna, dan ini secara tidak lansung adalah merupakan pendustaan terhadap al-Qurân karena Allah Tabaaraka wa Ta'aala telah berfirman:
"pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu". (QS. Al-Maidah: 3)
Atau secara tidak langsung mereka telah mengatakan bahwa syari'at ini sudah sempurna, akan tetapi ada sesuatu yang belum disampaikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan ini adalah merupakan tuduhan atas Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan tuduhan ini pun telah dibantah oleh Ummul Mukminin 'Aisyah Radhiyallahu ‘anhaa ketika beliau berkata kepada salah seorang tabi'in yang bernama Masruq: "barang siapa yang mengira bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyembunyikan sesuatu yang Allah Subhanahu wa Ta'aala turunkan kepadanya, maka sungguh dia sudah membuat suatu kebohongan yang sangat besar terhadap Allah ‘Azza wa Jalla, sedangkan Allah Ta'ala mengatakan:
"Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Rabbmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya". (QS. Al-Maidah 67).
Ibnu Majisyun rahimahullah berkata :"Aku mendengar Imam Malik rahimahullah berkata: "barang siapa yang membuat suatu perkara bid'ah di dalam agama Islam karena dia menganggapnya suatu perkara yang baik, maka sungguh dia telah menganggap bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengkhianati risalah (yang Allah amanatkan kepadanya) karena Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:
"pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu". (QS. Al-Maidah: 3). Maka apa yang tidak termasuk agama pada hari itu maka pada hari ini pun tidaklah merupakan agama.
Saudaraku, -semoga Allah Ta'ala memberikan rahmat kepada kita semua- mudah-mudahan pembahasan singkat ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi kaum muslimin pada umumnya. Wallaahu a'lamu, Wa shallallaahu 'alaa nabiyyinaa Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam
Sumber : DarEl Iman
Pentingnya Menuntut Ilmu
Kenapa kita perlu berbicara tentang ilmu syar'i? Tidak diragukan lagi bahwasanya kebangkitan Islam, dalam bentuk apapun juga, jika tidak berdiri di atas ilmu syar'i yang benar, bersumber dari Al-Quran dan sunnah sesuai dengan pemahaman yang benar, maka akan berakibat kehancuran dan kemusnahan. Karena tanpa ilmu syar'i perbuatan laksana bulu diterpa angin. Terkadang digerakkan ke kanan oleh perasaan hati yang kering dari ilmu syar'i, terkadang pula condong ke kiri oleh semangat membabi buta. sehingga kebangkitan seperti ini berakhir dengan keruntuhan dalam waktu yang sangat singkat.
Berbeda dengan semua itu, apabila seorang pemuda dibina untuk menuntut ilmu syar'i yang sesuai dengan dalil-dalil syar'i dan fenomena Rabbani, lalu mengamalkan isinya dan berpegang teguh dengannya, maka kebangkitan seperti ini akan tumbuh sedikit demi sedikit. Mulai tumbuh dan berkembang hingga mencapai masa matangnya. Setelah itu akan berbuah yang baik dan masak, sebagaimana firman Allah,
"Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya Hanya tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami) bagi orang-orang yang bersyukur." (Al-A'raf: 58)
Adalah penting bagi kita untuk berbicara mengenai motivasi belajar ilmu syar'i mengingat kita tengah berada di zaman yang semangatnya sudah mati, sehingga keingainan belajar ilmu syar'i semakin melemah dan kemauan untuk belajar dan mengajarinya semakin menurun.
Semoga Allah merahmati Ibnu Jarir Ath-Thabrani. Suatu saat ia pernah berkata kepada muridnya, "Apakah kalian siap untuk menulis sejarah?" para murid bertanya, "Berapa lembar?" Ibnu Jarir berkata, "Tiga puluh ribu lembar." Mereka berkata, "Ini suatu yang sulit yang menghabiskan seluruh umat." Ibnu jarir berkata, "la haula wala quwata illa billah, semangat sudah mati." (lihat Tarikh Baghdad, Khatib Al-Baghdady, hal: 2)
Lantas apa sekiranya yang akan dikatakan Ibnu Jarir ketika menjumpai masa kita ini, yang seseorang tidak bisa memaksa dirinya untuk menulis atau menghafal tiga puluh lembar?
Pendapat Ulama Salaf Mengenai Ilmu Syar'i
Imam Ahmad bin Hambal berkata, "Orang-orang lebih butuh kepada ilmu melebihi kebutuhannya akan makanan dan minuman. Yang demikian itu karena seseorang terkadang hanya butuh kepada makan dan minum hanya sekali atau dua kali saja. Sementara kebutuhan dia terhadap ilmu sejumlah detak nafasnya." (lihat Tahdzibu Madarijis Salikin, Ar-Rasyid)
Imam Syafi'i pernah ditanya, "Bagaimana semangat anda untuk ilmu?" Beliau menjawab, "Saya mendengar kalimat yang sebelumnya tidak pernah saya dengar, maka anggota tubuh saya yang lain ingin memiliki pandangan untuk bisa menikmati ilmu tersebut sebagaimana yang dirasakan telinga." Lalu ditanya, "Bagaimana kerakusan anda kepada ilmu?" Beliau menjawab, "Seperti rakusnya orang penimbun harta, yang mencari kepuasan dengan hartanya." "Bagaimana anda mencarinya?" beliau menjawab, "Sebagaimana seorang ibu mencari anaknya yang hilang, yang ia tidak memiliki anak lain, selain dia." (lihat Tawaalit Ta'sis bi Manaqibi Muhammad bin Idris, Ibnu Hajar AL-Asqalani, hlm 106)
Keutamaan Ilmu Syar'i
Ilmu syar'i dimuliakan oleh Allah dengan beberapa kelebihan, dan dikhususkan dengan berbagai kekhususan. Allah tidak memberikan kelebihan dan kekhususan itu pada ibadah-ibadah lainnya. Perhatikanlah wahai saudaraku yang tercinta, tentang kemuliaan ilmu syar'i dan keutamaannya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,:
"Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga." (HR. Muslim)
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ketika mengomentari hadits di atas berkata, "Setiap jalan, baik konkret maupun abstrak yang ditempuh oleh ahlul ilmi sehingga membantunya mendapatkan ilmu, maka ia termasuk ke dalam sabda Nabi, "Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga." (lihat Kitab Fatawa As-Sa'diyah, As-Sa'di, 1/623)
Allah memerintahkan rasul-Nya untuk berdoa dan meminta kepada-Nya agar ditambahkan ilmu yang bermanfaat. Allah berfirman,
Dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (Thaha: 114)
Allah tidak pernah memerintahkan untuk berdoa meminta tambahan terhadap sesuatu kecuali ilmu syar'i. Karena keutamaan, kemuliaan dan kedudukan ilmu itu tinggi di sisi Allah.
Allah memerintahkan manusia untuk kembali kepada orang-orang yang berilmu, bertanya kepada mereka tentang permasalahan agama, dan menjadikan perbuatan itu sebagai kewajiban, sebagaimana firman-Nya,
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An-Nahl:43)
Selanjutnya, karena kemuliaan ilmu, Allah membolehkan kita untuk memakan hasil buruan anjing yang terlatih (untuk berburu) dan mengharamkan memakan buruan anjing yang tidak terlatih. Dalil ini menunjukkan bahwa binatang menjadi mulia karena ilmu, dan diberi kedudukan yang berbeda dengan yang tidak berilmu. Bagaimana dengan anak Adam? Allah Berfirman,
Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. (Al-Maidah: 4)
Bayangkan, seandainya tidak karena keutamaan ilmu, niscaya hasil buruan anjing yang terlatih dan tidak terlatih akan sama.
Ilmu syar'i adalah warisan Nabi. Khatib Al-Bagdadi menyebutkan seorang Arab Badui yang melintas ketika Abdullah bin Mas'ud mengajarkan hadits kepada para muridnya yang berkumpul di sekelingnya. Badui itu berkata, "Untuk apa mereka berkumpul?" Ibnu Mas'ud menjawab, "Mereka bekumpul untuk bagi-bagi warisan Nabi." (lihat Syarafu Ashabil Hadits, Khatib Al-Baghdadi)
Hal ini sejalan dengan sabda Nabi,
"Keutamaan orang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan purnama dibanding semua bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris Nabi. Seorang Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, akan tetapi ia mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak." (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan disahihkan Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami', No 4212)
Adalah hak Beliau untuk dijaga warisannya dari kebinasaan dan kemusnahan. Semua ini tidak bisa dilakukan kecuali mempelajari ilmu syar'i dan meraihnya.
Bukti kemuliaan ilmu di sisi Allah adalah pahala mengajarkan ilmu syar'i akan sampai kepada orang yang mengajarkannya, meskipun dia telah mati dan berada di dalam kuburan. Seakan-akan mengalirnya pahala ilmu itu setelah kematiannya adalah kehidupan kedua baginya. Dari Abu Hurairah, bahwasanya rasulullah bersabda,
"Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan (orang tuanya)." (HR.Bukhari & Muslim)
Hukum Menuntut Ilmu Syar'i
Tidak semua hukum menuntut ilmu dalam setiap keadaan adalah sunnah. Yakni, diberikan pahala bagi pelakunya dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya. Ada beberapa keadaan yang menuntut ilmu menjadi sesuatu yang wajib ‘ain bagi setiap orang, dan ia akan berdosa bila tidak melakukannya, sebagaimana sabda Nabi, "Menuntut ilmu adalah wajib bagi seorang muslim." (HR. Muslim)
Kewajiban dalam hal ini berbeda pada setiap orang sesuai dengan kedudukannya. Kewajiban seorang pemimpin mempelajari ilmu tentang rakyatnya tidak sama dengan kewajiban seorang suami pada keluarga dan tetangganya. Kewajiban pedagang untuk mempelajari ilmu tentang jual beli tidak sama dengan mereka yang bukan pedagang. Intinya adalah harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing.
Seorang muslim wajib mempelajari ilmu terhadap sesuatu pekerjaan yang akan dilakukannya, yang mana tanpa ilmu, bisa menghalanginya dalam melakukan sesuatu tersebut dengan benar. Misalnya, ketika seseorang hendak mengerjakan shalat, maka ia harus mempunyai ilmu tentang shalat, jika tidak maka ketidaktahuannya tentang shalat akan menghalanginya untuk dapat shalat dengan cara yang benar. Apabila ia mempunyai harta yang harus di zakatkan dan sudah terpenuhi persyaratan wajib zakat, maka wajib baginya mengkaji hukum-hukum yang berkaitan dengan zakat. Begitulah seterusnya dalam setiap urusan seperti juga puasa, haji, muamalah dan lainnya.
Dalam keadaan yang lain, menuntut ilmu bisa menjadi fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh umat secara umum. Bila tidak ada yang melakukannya atau untuk bisa mewakilinya, maka semua umat Islam akan berdosa. Dan ada kalanya menuntut ilmu itu hanya dihukum sebagai sunnah saja.
Kriteria Ilmu Syar'i
1. Ilmu syar'i yang benar adalah ilmu yang diambil dari Al-Quran dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Sholafush sholeh (generasi sahabat dan tabi'in serta tabi' tabi'in)
2. Ilmu syar'i adalah ilmu yang mengantarkan pemiliknya untuk taat kepada Allah, merasa diawasi oleh-Nya, takut kepada-Nya, dalam keadaan sendiri ataupun bersama orang lain. Abdullah bin Mas'ud berkata, "Bukanlah ilmu dengan banyaknya riwayat, tetapi ilmu adalah rasa takut (kepada Allah). (lihat al-Fawaid, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)
3. Ilmu syar'i yang harus kita raih adalah ilmu yang mendorong pelakunya untuk beramal dan mempraktekkan ilmunya, bukan sebatas pengetahuan atau penambah wawasan, atau sekedar meraih jabatan dan ijazah. Jangan lupa bahwasanya ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah. Buah ilmu yang sebenarnya adalah mengamalkan ilmu itu.
Sumber : DarEl Iman.
Berbeda dengan semua itu, apabila seorang pemuda dibina untuk menuntut ilmu syar'i yang sesuai dengan dalil-dalil syar'i dan fenomena Rabbani, lalu mengamalkan isinya dan berpegang teguh dengannya, maka kebangkitan seperti ini akan tumbuh sedikit demi sedikit. Mulai tumbuh dan berkembang hingga mencapai masa matangnya. Setelah itu akan berbuah yang baik dan masak, sebagaimana firman Allah,
"Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya Hanya tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami) bagi orang-orang yang bersyukur." (Al-A'raf: 58)
Adalah penting bagi kita untuk berbicara mengenai motivasi belajar ilmu syar'i mengingat kita tengah berada di zaman yang semangatnya sudah mati, sehingga keingainan belajar ilmu syar'i semakin melemah dan kemauan untuk belajar dan mengajarinya semakin menurun.
Semoga Allah merahmati Ibnu Jarir Ath-Thabrani. Suatu saat ia pernah berkata kepada muridnya, "Apakah kalian siap untuk menulis sejarah?" para murid bertanya, "Berapa lembar?" Ibnu Jarir berkata, "Tiga puluh ribu lembar." Mereka berkata, "Ini suatu yang sulit yang menghabiskan seluruh umat." Ibnu jarir berkata, "la haula wala quwata illa billah, semangat sudah mati." (lihat Tarikh Baghdad, Khatib Al-Baghdady, hal: 2)
Lantas apa sekiranya yang akan dikatakan Ibnu Jarir ketika menjumpai masa kita ini, yang seseorang tidak bisa memaksa dirinya untuk menulis atau menghafal tiga puluh lembar?
Pendapat Ulama Salaf Mengenai Ilmu Syar'i
Imam Ahmad bin Hambal berkata, "Orang-orang lebih butuh kepada ilmu melebihi kebutuhannya akan makanan dan minuman. Yang demikian itu karena seseorang terkadang hanya butuh kepada makan dan minum hanya sekali atau dua kali saja. Sementara kebutuhan dia terhadap ilmu sejumlah detak nafasnya." (lihat Tahdzibu Madarijis Salikin, Ar-Rasyid)
Imam Syafi'i pernah ditanya, "Bagaimana semangat anda untuk ilmu?" Beliau menjawab, "Saya mendengar kalimat yang sebelumnya tidak pernah saya dengar, maka anggota tubuh saya yang lain ingin memiliki pandangan untuk bisa menikmati ilmu tersebut sebagaimana yang dirasakan telinga." Lalu ditanya, "Bagaimana kerakusan anda kepada ilmu?" Beliau menjawab, "Seperti rakusnya orang penimbun harta, yang mencari kepuasan dengan hartanya." "Bagaimana anda mencarinya?" beliau menjawab, "Sebagaimana seorang ibu mencari anaknya yang hilang, yang ia tidak memiliki anak lain, selain dia." (lihat Tawaalit Ta'sis bi Manaqibi Muhammad bin Idris, Ibnu Hajar AL-Asqalani, hlm 106)
Keutamaan Ilmu Syar'i
Ilmu syar'i dimuliakan oleh Allah dengan beberapa kelebihan, dan dikhususkan dengan berbagai kekhususan. Allah tidak memberikan kelebihan dan kekhususan itu pada ibadah-ibadah lainnya. Perhatikanlah wahai saudaraku yang tercinta, tentang kemuliaan ilmu syar'i dan keutamaannya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,:
"Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga." (HR. Muslim)
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ketika mengomentari hadits di atas berkata, "Setiap jalan, baik konkret maupun abstrak yang ditempuh oleh ahlul ilmi sehingga membantunya mendapatkan ilmu, maka ia termasuk ke dalam sabda Nabi, "Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga." (lihat Kitab Fatawa As-Sa'diyah, As-Sa'di, 1/623)
Allah memerintahkan rasul-Nya untuk berdoa dan meminta kepada-Nya agar ditambahkan ilmu yang bermanfaat. Allah berfirman,
Dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (Thaha: 114)
Allah tidak pernah memerintahkan untuk berdoa meminta tambahan terhadap sesuatu kecuali ilmu syar'i. Karena keutamaan, kemuliaan dan kedudukan ilmu itu tinggi di sisi Allah.
Allah memerintahkan manusia untuk kembali kepada orang-orang yang berilmu, bertanya kepada mereka tentang permasalahan agama, dan menjadikan perbuatan itu sebagai kewajiban, sebagaimana firman-Nya,
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An-Nahl:43)
Selanjutnya, karena kemuliaan ilmu, Allah membolehkan kita untuk memakan hasil buruan anjing yang terlatih (untuk berburu) dan mengharamkan memakan buruan anjing yang tidak terlatih. Dalil ini menunjukkan bahwa binatang menjadi mulia karena ilmu, dan diberi kedudukan yang berbeda dengan yang tidak berilmu. Bagaimana dengan anak Adam? Allah Berfirman,
Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. (Al-Maidah: 4)
Bayangkan, seandainya tidak karena keutamaan ilmu, niscaya hasil buruan anjing yang terlatih dan tidak terlatih akan sama.
Ilmu syar'i adalah warisan Nabi. Khatib Al-Bagdadi menyebutkan seorang Arab Badui yang melintas ketika Abdullah bin Mas'ud mengajarkan hadits kepada para muridnya yang berkumpul di sekelingnya. Badui itu berkata, "Untuk apa mereka berkumpul?" Ibnu Mas'ud menjawab, "Mereka bekumpul untuk bagi-bagi warisan Nabi." (lihat Syarafu Ashabil Hadits, Khatib Al-Baghdadi)
Hal ini sejalan dengan sabda Nabi,
"Keutamaan orang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan purnama dibanding semua bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris Nabi. Seorang Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, akan tetapi ia mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak." (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan disahihkan Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami', No 4212)
Adalah hak Beliau untuk dijaga warisannya dari kebinasaan dan kemusnahan. Semua ini tidak bisa dilakukan kecuali mempelajari ilmu syar'i dan meraihnya.
Bukti kemuliaan ilmu di sisi Allah adalah pahala mengajarkan ilmu syar'i akan sampai kepada orang yang mengajarkannya, meskipun dia telah mati dan berada di dalam kuburan. Seakan-akan mengalirnya pahala ilmu itu setelah kematiannya adalah kehidupan kedua baginya. Dari Abu Hurairah, bahwasanya rasulullah bersabda,
"Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan (orang tuanya)." (HR.Bukhari & Muslim)
Hukum Menuntut Ilmu Syar'i
Tidak semua hukum menuntut ilmu dalam setiap keadaan adalah sunnah. Yakni, diberikan pahala bagi pelakunya dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya. Ada beberapa keadaan yang menuntut ilmu menjadi sesuatu yang wajib ‘ain bagi setiap orang, dan ia akan berdosa bila tidak melakukannya, sebagaimana sabda Nabi, "Menuntut ilmu adalah wajib bagi seorang muslim." (HR. Muslim)
Kewajiban dalam hal ini berbeda pada setiap orang sesuai dengan kedudukannya. Kewajiban seorang pemimpin mempelajari ilmu tentang rakyatnya tidak sama dengan kewajiban seorang suami pada keluarga dan tetangganya. Kewajiban pedagang untuk mempelajari ilmu tentang jual beli tidak sama dengan mereka yang bukan pedagang. Intinya adalah harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing.
Seorang muslim wajib mempelajari ilmu terhadap sesuatu pekerjaan yang akan dilakukannya, yang mana tanpa ilmu, bisa menghalanginya dalam melakukan sesuatu tersebut dengan benar. Misalnya, ketika seseorang hendak mengerjakan shalat, maka ia harus mempunyai ilmu tentang shalat, jika tidak maka ketidaktahuannya tentang shalat akan menghalanginya untuk dapat shalat dengan cara yang benar. Apabila ia mempunyai harta yang harus di zakatkan dan sudah terpenuhi persyaratan wajib zakat, maka wajib baginya mengkaji hukum-hukum yang berkaitan dengan zakat. Begitulah seterusnya dalam setiap urusan seperti juga puasa, haji, muamalah dan lainnya.
Dalam keadaan yang lain, menuntut ilmu bisa menjadi fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh umat secara umum. Bila tidak ada yang melakukannya atau untuk bisa mewakilinya, maka semua umat Islam akan berdosa. Dan ada kalanya menuntut ilmu itu hanya dihukum sebagai sunnah saja.
Kriteria Ilmu Syar'i
1. Ilmu syar'i yang benar adalah ilmu yang diambil dari Al-Quran dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Sholafush sholeh (generasi sahabat dan tabi'in serta tabi' tabi'in)
2. Ilmu syar'i adalah ilmu yang mengantarkan pemiliknya untuk taat kepada Allah, merasa diawasi oleh-Nya, takut kepada-Nya, dalam keadaan sendiri ataupun bersama orang lain. Abdullah bin Mas'ud berkata, "Bukanlah ilmu dengan banyaknya riwayat, tetapi ilmu adalah rasa takut (kepada Allah). (lihat al-Fawaid, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)
3. Ilmu syar'i yang harus kita raih adalah ilmu yang mendorong pelakunya untuk beramal dan mempraktekkan ilmunya, bukan sebatas pengetahuan atau penambah wawasan, atau sekedar meraih jabatan dan ijazah. Jangan lupa bahwasanya ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah. Buah ilmu yang sebenarnya adalah mengamalkan ilmu itu.
Sumber : DarEl Iman.
Subscribe to:
Posts (Atom)